Self-Trapped

176
views

MINGGU (26/8) malam kemarin, sempat baca artikel dari detik.finance (lupa link-nya). Isinya sih tentang betapa sepinya bisnis mobil sewaan di Jakarta tahun ini, lantaran sekelompok masyarakat yang digelari “Kelas Menengah” dan belakangan kerap diperbincangkan, lebih memilih untuk membeli mobil baru. Sepertinya tidak terpengaruh dengan peraturan anyar tentang besaran uang muka yang harus 30 persen dari harga mobil.

Saya tertarik dengan paragraf kedua terakhirnya;

    Seperti diketahui, penjualan mobil di dalam negeri pada Juli 2012 mencapai rekor tertinggi. Penjualan mobil wholesale atau dari distributor ke diler, pada Juli 2012 sebanyak 103.219 unit atau naik 1,4 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 101.743 unit. Sedangkan untuk penjualan ritel sebesar 100.282 unit atau naik 1,7 persen dari Juni 2012 yang hanya 98.557 unit.

Potongan artikel ini memang menggambarkan tentang kondisi di Jakarta saja. Walaupun pada kenyataannya, kecenderungan peningkatan penjualan mobil juga terjadi di Samarinda. Disadari atau tidak, bakal menyebabkan efek domino.

Pertama, perbandingan antara pertumbuhan jumlah kendaraan dan perluasan atau penambahan ruas jalan itu mungkin cocok dengan teori Malthus. Kalau sudah begini, langsung terbayang tweet-tweet para warga Jakarta yang “teriak” gara-gara terjebak dalam kemacetan. Belum lagi yang terpaksa harus ketemu dengan macet featuring lapar, kebelet, kangen, buru-buru, ngantuk, capek, dan sebagainya. Sedangkan di Samarinda, macetnya rata-rata baru sebatas “padat merayap”, tapi itupun seolah sudah melegitimasi banyak orang untuk berkeluh serapah.

Kedua, makin banyak mobil, makin banyak konsumsi bahan bakar. Sayangnya, Indonesia enggak seperti negara-negara Timur Tengah, yang warganya (masih) berhak boros bahan bakar. Belum lagi dengan ketimpangan distribusi, dan rencana pengurangan subsidi. Lagipula, macet pun membuat bahan bakar terbuang sia-sia, karena mesin harus tetap nyala, sementara posisinya bertahan enggak jalan-jalan.

Ketiga, mobil baru kebanyakan dibeli dengan metode kredit. Ini berarti makin banyak jumlah orang yang harus mengalokasikan penghasilan bulanannya selama sekian tahun, untuk membayar cicilan. Bila pembayaran macet, risiko ditanggung sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.

Tiga hal di atas adalah contoh konsekuensi (netral) dari membeli mobil, yang kemudian dianggap sebagai masalah (negatif) karena memberikan perasaan tidak menyenangkan bagi para pemiliknya. Saya pun bisa merasakan kondisi yang sama, kalau nanti pada akhirnya harus jadi pembeli mobil secara kredit (jadi sementara baru bisa menikmati mobilnya orangtua).

Semua orang memang berhak azasi untuk membeli mobil, tidak ada yang berhak melarang seseorang mempergunakan uangnya (kecuali apabila penggunaannya melanggar hukum positif). Yang penting, sebaiknya dipahami bahwa pembelian mobil itu punya dua sisi mata uang; manfaat dan efek samping. Okelah manfaatnya adalah berkendara bebas cuaca, tapi pasti akan lebih banyak makan biaya. Pun, awalnya berpikir bahwa berkendara dengan mobil bisa lebih cepat sampai ke tujuan karena lebih laju daripada motor, tapi akhirnya mesti misuh-misuh karena malah jadi lebih lama di jalan; terjebak macet. Jadi, selain mempersiapkan uang yang cukup, sebaiknya urusan beli mobil juga dibarengi dengan kesadaran penuh atas semua konsekuensi, baik yang positif maupun negatif. Minimal barengi dengan kepribadian yang tenang, dan respons mental yang wajar saat menghadapi hal-hal yang bahkan sebenarnya sudah bisa diprediksi dari awal.

Kalau mental enggak siap, ya sama saja seperti membuat jebakan untuk diri sendiri secara tidak sadar. Entah, apakah hal ini sudah diketahui oleh para pembeli mobil baru, seperti yang ditulis dalam artikel di atas, atau belum.

Pilihannya tiga: menghindari jebakan, merasa terjebak, atau tanpa sadar jatuh dalam jebakan.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × 2 =