Sebuah Tujuan

30 May 2014

“KAPAN kamu mau keluar dari comfort zone-mu?”

“Hah? Apaan?”

Entah, lamunan apa yang sedang menguasai pikiranku saat itu. Namun yang pasti, pertanyaan seorang kawan tadi tidak melekat sama sekali, bahkan mungkin tak sempat singgah dalam pikiran. Layaknya anak panah yang ditembakkan menuju pelat baja setebal 5 cm, mentul total.

“Kapan kamu mau keluar dari comfort zone­-mu? Kondisi kamu saat ini. Kenyamanan hidup yang sedang kamu jalani. ”

“Memangnya hidupku sudah nyaman? Kamu tahu dari mana?”

Percakapan itu hampir berakhir dengan singkat. Tanpa banyak argumentasi yang biasanya meruncing menjadi sebuah perdebatan, pertanyaan mengenai zona nyaman dalam hidup seseorang menjadi tidak valid untuk dijawab, lantaran sang penanya mendadak sadar bahwa sikap sok tahu kerap tidak menyenangkan.

“Oke kalau gitu, kapan kamu terakhir pergi jauh? Jauh dari sini, jauh dari apa yang selama ini kamu lakukan sehari-hari, pokoknya jauh. ”

Ehm… Sudah lama. Banget. Mungkin 2008. Tapi maksudnya gimana ya?”

“Jauh, sampai bisa merasa sangat asing. Bukan keterasingan yang bikin takut, waswas, curiga. Tapi yang bisa bikin kamu terasa makin utuh. Redefining Your existence. Kebingungan yang membahagiakan. ”

“…”

Dia tersenyum menunggu jawaban, agar durasi pembicaraan terus berjalan. Sementara aku mendadak terdiam, berpikir keras dalam-dalam. Saking kerasnya, hingga seolah merasa tak punya isi tengkorak untuk dipakai berpikir lagi.

“Selama ini kamu ngapain aja?”

“Ya kerja lah. . . ”

“Kamu senang dengan hasil pekerjaanmu?”

Ehm… Iya… Most likely…”

Komentar “most likely” tadi seakan menyusun sebuah pertanyaan baru, bukan dari orang lain, melainkan dari diri sendiri, dan untuk kembali dicecarkan kepada diri sendiri. Pertanyaan itu masih menanti untuk dijawab, hingga saat ini.

Mundur belasan tahun sebelumnya. Aku masih kelas 2 SMP. Ketika untuk pertama kalinya benar-benar membaca, dan tercerap dalam buku dengan ketebalan lebih dari 200 halaman. “Harry Potter dan Batu Bertuah” judulnya.

Jujur saja, beberapa puluh halaman pertama dari “Harry Potter dan Batu Bertuah” benar-benar memusingkan. Mungkin lantaran baru pertama kali membaca buku yang melulu berisi kata-kata, itupun dengan jarak tulisan yang lumayan rapat, tanpa gambar, dan menyerap perhatian seorang pelajar SMP di pinggiran Kota Samarinda, yang membaca buku pelajaran saja luar biasa malasnya.

Efek samping tidak menyenangkan itu berubah secara perlahan, terlebih ketika Harry Potter yang sudah tiba di Stasiun King’s Cross, kebingungan mencari peron 9¾. Rasa takjub saat Harry Potter berlari menembus tembok dalam perasaan takut, tidak kalah kuat ketimbang efek imajinatif atas deskripsi-deskripsi sebelumnya; saat ia dibawa ke Diagon Alley lewat Leaky Cauldron, ke bank Gringgot, bertemu para Goblin, mencari tongkat sihir (dipilih, lebih tepatnya), membeli perlengkapan belajar murid tahun pertama Hogwarts dan sebagainya.

Sejak saat itu, nama Stasiun King’s Cross melekat kuat dalam ingatan. Hanya sekadar nama, karena memang belum pernah melihat gambarnya. Sejak saat itu pula, nama Kota London terasa begitu istimewa, tanpa tahu apa alasan tepatnya.

Pada awalnya, hanya mengenal nama London sebagai ibu kota Inggris. Salah satu dari beberapa nama ibu kota negara yang mesti dihafal untuk ulangan caturwulan IPS. Setelah itu, pengetahuan kedua mengenai London adalah soal Big Ben, yang gambarnya terpampang di kaleng satu merk biskuit, dan selalu dilihat setiap kali makan pagi. Saking seringnya dilihat, sampai memunculkan pertanyaan lumayan konyol: “itu jam gede banget, kalau baterainya habis gimana nggantinya ya?” (Gosh! I was that silly back then)

Usia bertambah, perspektif pun berubah. Serial Harry Potter telah tamat dibaca, dan sudah menonton semua filmnya. London tak lagi dianggap sekadar tempatnya cerita Harry Potter direka, atau lokasi berdirinya Big Ben yang ternyata menjadi satu dengan gedung “DPR”-nya Britania Raya. London bukan hanya ibu kota negara kerajaan besar dengan pasukan bertopi bulu warna hitam yang tingginya rada kurang wajar, dan tetap mampu bergeming walau digoda Mr. Bean dengan beraneka kelakar. London pun bukan hanya “sarangnya” klub-klub bola terkenal dunia (yang sampai saat ini terus membuat saya penasaran, kenapa semua orang bisa nge-fans gila-gilaan?). Sampai titik ini, London lebih dari itu semua. Lebih dari sekadar datang ke tempat baru, bergembira ria, kemudian sudah, begitu saja.

Realitas tak terbantahkan. London memang dipenuhi pelbagai objek menakjubkan. Mulai dari ratusan landmark yang menawarkan ribuan detail untuk diamati dan dialami sendiri; tekstur, aroma, dan keindahan visualnya. Termasuk lewat mendengar salah satu aksen yang terkesan paling SMEXY (smart and sexy) di dunia, langsung dari mulut para pengucap asalnya. Selain itu, bisa dibayangkan, mengalami London juga dapat dilakukan dengan bermacam hal sederhana. Misalnya, memilih singgah ke bar yang tidak terlalu besar, kemudian mencicipi satu atau dua gelas besar stout maupun lager lokal. Mungkin dengan masuk ke sebuah kafe, memilih duduk di depan jendela, memesan menu standar seperti secangkir latte ditemani Today’s Pastry sambil mengamati paras para pelalu lalang. Bisa pula dengan hanya berjalan-jalan di taman, area terbuka, atau di mana saja, talking with strangers, menikmati suhu udara serta terkagum-kagum dengan pemandangan musim yang tidak pernah ada di Indonesia. Klise dan terlampau sederhana? Tolong dimaklumkan saja.

Usia jelas bertambah, perspektif pun otomatis berubah. London, Inggris, telah berganti dari sebuah tempat antah berantah, menjadi satu tujuan penghilang resah. Bukan sekadar untuk pelesir penggembira hati, melainkan perjalanan untuk mencari inspirasi. Siapa tahu, perjumpaan dengan London, Inggris, bisa menjadi sarana untuk kembali “bertemu” dan mengenali diri sendiri. It’ll redefine my existence, I believe.

You should come here. It suits You, like A LOT!” Kata seorang kawan asal Malaysia yang melanjutkan studinya di Inggris sana. Di Northumbria University, Newcastle lebih tepatnya. Komentar itu hanya bisa saya respons dengan celetukan singkat, “Yes, I will. Soon! 🙂

[]