Sawit: Ya atau Tidak?
TANAMAN itu bernama kelapa sawit (Elaeis), yang awalnya hanya diambil kernel–biji–nya untuk diolah menjadi minyak bernilai ekonomis tinggi, disebut Crude Palm Oil (CPO).
Dulu, saya yang awam ini hanya tahu bahwa minyak olahan biji sawit digunakan untuk memproduksi bahan menggoreng, alias minyak goreng, atau yang kerap disebut “minyak makan” di daerah tempat saya tinggal. Seiring waktu, saya dibuat lumayan takjub dengan banyaknya produk yang ternyata dihasilkan lewat CPO, mulai cokelat sampai batangan lipstik, termasuk sampo dan sabun mandi. Selepas itu, saya makin dibuat melongo ketika mengetahui bahwa banyak komponen buah kelapa sawit yang bisa dijadikan berbagai bahan produk. Bahkan termasuk limbahnya, baik yang berupa padat maupun cair. Konon jumlah produk yang dihasilkan mencapai lebih dari 300 jenis, termasuk bahan pelentur pegas tempat tidur, menghasilkan energi lewat biodiesel pengganti minyak solar (CMIIW), dan listrik. Entah dengan pembangkit model apa, yang jelas Korea Selatan dan Singapura menggandrunginya.
Di sisi lain, saya yang juga awam soal environmental issue dalam urusan perkebunan kelapa sawit kerap membaca tulisan tentang penolakan para aktivis lingkungan terhadap geliat perusahaan perkebunan kelapa sawit. Beberapa latar belakangnya adalah sebagai berikut:
- Perkebunan kelapa sawit membuka lahan, berarti membabat hutan.
- Perkebunan kelapa sawit hanya dijadikan kedok untuk merampas isi hutan.
- Tanaman kelapa sawit akan membuat daerah resapan air hujan hilang, banjir pun makin meluas dan kian parah.
- Tanaman kelapa sawit bukan merupakan tumbuhan yang environmentally sustainable, berbeda dengan pohon di hutan yang menjadi bagian integral dengan ekosistem hayati.
- Minyak goreng dari sawit berpotensi buruk pada kesehatan; kolesterol, lemak jenuh, efek buruk serupa konsumsi Trans Fat,
- Ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit murni kapitalisme, tidak seimbang dengan perkembangan kualitas sumber daya manusia di sekitar areal kebun yang relatif jauh.
- Ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit dengan pembakaran menyebabkan gelombang asap yang parah.
Mungkin semua alasan di atas benar, meskipun tak menutup kemungkinan bahwa tidak semua pengusaha perkebunan kelapa sawit, terutama lokal, punya niatan buruk dalam menjalankan bisnisnya. Sebab di sisi lain, para pengusaha dan Dinas Perkebunan (Disbun) masing-masing daerah, tetap lantang menyuarakan beragam keuntungan dari sektor bisnis ini.
Para pengusaha dan Disbun menyebut bahwa sektor perkebunan kelapa sawit adalah sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa berkesinambungan. Permintaannya pun cenderung stabil dengan siklus-siklus tahunan, dari seluruh dunia. Berdasarkan paparan analisis ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kaltim yang disampaikan Selasa (19/8):
“Konsumsi minyak nabati dunia masih terus bertumbuh, pada tahun 2013 total konsumsi mencapai 163 juta ton yang didominasi CPO.”
“Dari sisi harga, potensi rebound masih sangat terbuka seiring dengan tingginya permintaan.”
“Dari sisi permintaan, konsumsi CPO dunia masih akan terus tumbuh seiring dengan penggunaan biodiesel dan kebutuhan pangan dunia.” (OECD Agricultural Outlook)
Berbeda dengan sektor pertambangan batu bara atau minyak, yang merupakan sumber daya renik dan bisa habis sewaktu-waktu. Meskipun kekurangannya adalah, produksi hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia didominasi CPO, dan berupa bahan produksi hulu. Lalu diekspor ke luar negeri, dan diolah menjadi beragam produk hilir yang ujung-ujungnya diimpor kembali dalam bentuk barang konsumsi seperti yang sudah saya singgung sebelumnya. Tentunya, ketimpangan teknologi ini juga terjadi para sektor minyak, dan seyogianya dibahas terpisah. Kebetulan, Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia, walaupun faktanya, the biggest palm plantation ya ada di Indonesia, namun dengan kapasitas produksi yang belum bisa melampaui negara tetangga. Pernyataan ini disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kaltim, Azmal Ridwan. Di sisi lain, tokoh yang sama juga memperkirakan bahwa 75 persen perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia, bukan milik pengusaha lokal.
Sedangkan dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor perkebunan kelapa sawit dijadikan primadona lantaran selalu membutuhkan pekerja dalam jumlah yang banyak. Seperti disampaikan dalam paparan yang sama.
“Perkebunan sawit Kaltim mampu menyerap 354.605 orang (21,83 persen pekerja Kaltim).”
Efek samping dari penyerapan tenaga kerja, adalah berkembangnya sebuah kampung di tengah hutan. Dari yang awalnya hanya sekadar perkampungan di tengah hutan, kini menjadi kawasan dengan jumlah perputaran uang sebanyak Rp 23 miliar perbulan. Yakni di Muara Wahau, salah satu kecamatan terpencil dari Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
…
Sekelumit fakta dari dua sisi mengenai kelapa sawit ini menyisakan pertanyaan: “dukung atau tolak CPO?”
[]
Disclaimer: Tulisan ini murni pertanyaan, bukan untuk mempromosikan industri perkebunan kelapa sawit maupun penolakan atasnya.