Sampah Otak

15 August 2012

BUKAN bermaksud untuk sok filosofis, sok bijaksana, atau apalah namanya, tapi yang jelas belakangan ini kembali muncul pemikiran yang sempat menjadi highlight dalam pikiran (mungkin karena sudah jarang lihat bokep belakangan ini, jadi pikiran sempat meliar ke ranah yang antah berantah).

“Hidup itu Apa?”

“Apa Tujuan Hidup?”

Kedua pertanyaan di atas yang sempat, dan kini kembali, menyita 80 persen operasional otak (terutama ketika sedang menikmati kesendirian di dalam toilet; atau ketika sedang galau sendirian).

Barangkali wajar, kalau manusia bisa mempertanyakan kedua hal tersebut dan berusaha untuk mencari jawabannya entah di mana. Pasalnya, manusia diberi otak untuk bepikir dan menjadi penasaran. Walaupun ga sedikit juga yang mengatakan bahwa kedua pertanyaan tersebut adalah Unquestionable-questions alias pertanyaan yang ga bisa dipertanyakan, karena berada di luar jangkauan pemikiran manusia yang paling jenius sekalipun. Kalau sudah begini, mau ga mau sekelompok orang menggunakan pendekatan yang (konon katanya) lebih spiritual, yaitu agama.

“Hidup itu Apa?”

“Hidup adalah pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa”

“Apa Tujuan Hidup”

“Tujuan hidup adalah menyembah-Nya, memuliakan nama-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya agar bisa (dinilai oleh-Nya) sebagai manusia yang baik…”

#KemudianHening (meminjam hashtag yang sedang populer belakangan ini di jagat kicau)

Sejauh ini, jawaban dengan pendekatan spiritual dianggap sebagai jawaban yang paling mumpuni, paling bisa ‘membungkam’ mulut para manusia penanyanya.

Tapi ya sejauh pikiran bisa menjelajah dan menilik jawaban di atas, jadi hidup manusia itu sama sekali ga punya tujuan lain selain menjadi objeknya Tuhan. Entah sebagai objek penghilang rasa sepi dan kesendirian, atau sebagai objek pemuasan ego (jika bisa disebut demikian). Kan ceritanya Tuhan itu tunggal, ia menciptakan segalanya seorang diri dan berusaha untuk menjadikan semua ciptaannya itu memberikan penghormatan dan penyembahan kepada-Nya. Harusnya, tanpa menciptakan segala sesuatu, Tuhan bakalan tetap ada dalam segala bentuk kondisi yang sudah ada bagi-Nya. Ada ga ada semesta, dunia dan manusia, Tuhan ya tetap Tuhan. Yang mungkin malah bisa lebih tenang, sabar, tidak sedih dan tidak emosian karena ga perlu berhadapan dengan kebejatan manusia, kekafiran dan kekufuran manusia, keangkuhan manusia dan aneka ragamnya, yang walau bagaimanapun juga merupakan hasil karya-Nya. Karena kembali ke peraturan pertama: “Tuhan adalah pencipta segalanya”.

Setelah menulis kalimat terakhir di atas, kepala mendadak jadi puyeng. Nanti setelah puyengnya hilang, bakal dilanjut deh.

[]