Samarinda Bermasalah dengan Desain?

503
views

TULISAN ini membahas tentang desain visual yang ada di Samarinda. Terlebih yang ditampilkan di prasarana umum serta fasilitas-fasilitas publik baru, dan secara tidak langsung mewakili selera pemerintah selaku pembelanja anggaran; pembangun; sekaligus pemilik.

Saya sangat setuju, memang masih ada begitu banyak masalah di kota ini yang lebih penting untuk dibahas–meski tak kunjung selesai–ketimbang topik ini. Namun hasrat untuk beropini seakan mendapat bahan bakar baru, begitu melihat rampungnya instalasi tulisan “Taman Samarendah” berukuran tanggung berwarna merah yang menghadap Jalan Awang Long sejak beberapa hari lalu.

Kehadiran (bakal) taman kota yang menutup persimpangan Bhayangkara-Milono-Awang Long-Basuki Rahmad itu saja, sudah bisa membangkitkan rasa penasaran sebagian warga Samarinda untuk segera menikmatinya. Merupakan rahasia umum, masyarakat kota ini begitu gandrung dengan segala sesuatu yang baru. Apalagi dengan kehadiran instalasi tulisan tersebut, bisa dibayangkan banyak orang akan himung berfoto di sana. Minimal untuk dijadikan gambar di profil BlackBerry Messenger (BBM), atau diunggah di Facebook dan sejenisnya.

Tulisan "Taman Samarendah" saat baru terpasang.

Sebagai sesuatu yang baru pertama kali dihadirkan di kota ini, tampilan instalasi tulisan tersebut memang wajar untuk dimaklumi. Namun sayangnya, nanggung. Pemilihan typeface atau bentuk tulisan berupa Arial Black, terlalu kaku untuk bisa disebut instalasi seni. Di sisi lain, struktur tulisan yang bold atau bercetak tebal dan berukuran tidak terlalu tinggi, tak terlalu fungsional jika diketagorikan sebagai penanda maupun ikon fasilitas publik. Malah membuat banyak orang teringat dengan format baku proposal resmi dan akademik, yang lazimnya menggunakan bentuk huruf Arial. Selebihnya, masih untung instalasi tulisan tersebut patuh kerning atau jarak antarkarakter, sehingga tidak sampai membuat orang-orang dengan gejala Obsessive Compulsive Disorder (OCD) bidang tipografi geregetan pengin memperbaiki sendiri.

Walau bagaimanapun juga, akan sangat percuma untuk menyinyiri sesuatu yang kadung jadi. Akan tetapi, jelas tidak ada larangan bagi publik untuk bertanya ihwal penentuan desain dan tetek bengeknya. Beberapa di antaranya seperti mempertanyakan:

  • Apakah bentuk instalasi tulisan tersebut memang sengaja dibuat sebiasa itu?
  • Apakah wali kota selaku inisiator pembangunan taman ini langsung setuju dengan desain tersebut tanpa menambahkan permintaan khusus, minimal terkait dimensi dan bentuknya?
  • Apakah tidak ada praktisi desain visual yang dilibatkan untuk sumbang saran terkait ini?
  • Apakah instalasi tulisan “Taman Samarendah” tersebut bakal dinobatkan sebagai simbol taman itu?

Ya entahlah. Barangkali proses desain, pembuatan, dan pemasangan instalasi tulisan tersebut hanya dianggap sebagai bagian dari paket pengerjaan tahap kesekian taman kota tersebut. Sehingga perlakuannya pun diserahkan penuh kepada kontraktor, yang sesuai gelarnya lebih mumpuni di bidang bangun-membangun ketimbang menambah kesan artistik dari pernik-pernik bangunan. Padahal ada ratusan bahkan ribuan anak muda Samarinda yang jago di bidang desain visual, baik lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV), Desain Produk (Despro), dan sebagainya dengan kemampuan khusus menghasilkan desain memuat pesan yang kuat. Setidaknya, pesan pencitraan bahwa Kota Tepian ini sudah semakin maju, dan untung saja tidak sekalian pakai Comic Sans.

Sementara itu, jauh sebelum instalasi tulisan “Taman Samarendah” rampung terpasang, objek kasus serupa sudah lebih dulu tampil di bagian depan kantor gubernur yang megah itu. Mungkin ada beberapa di antara Anda, yang pernah tersentak begitu membaca jejeran tulisan “Sukseskan Kaltim Green, Visit Kaltim Year 2015” dan seterusnya dengan warna latar hijau tersebut. Tersentak karena warna tulisan maupun latar, lebih-lebih lagi karena typeface-nya. Bahkan ada yang terang-terangan mengejek font tersebut dengan celetukan “dangdut banget” atau bergaya tren rock era 80-an. Dengan demikian, pesan yang disampaikan tulisan itu kalah pamor dibandingkan pembahasan soal tampilannya. Apalagi tahun ini, tulisan angka “2015” di ujung tulisan menggunakan font yang berbeda dan jelas-jelas berupa tambalan. Ngehe berikutnya, huruf “S” di tulisan tersebut diambil dari font berbeda. Lantaran bentuk aslinya lebih mirip goresan petir seperti di logo PLN. Ini berarti, sang perancang asal campur font.

Tulisan di depan kantor gubernur Kaltim.
Ditambal.
Governor residence in Samarinda.
Bagian depan Lamin Etam, aula dalam kompleks rumah dinas gubernur Kaltim.

Bayangkan, Kota Samarinda yang akan terus kedatangan lebih banyak orang dari berbagai penjuru Tanah Air, bahkan dunia. Lalu ketika melintas di depan kantor dan rumah dinas pemimpin tertinggi provinsi ini, mereka dikejutkan dengan tampilan tersebut.

Sekadar informasi, font yang digunakan di depan kantor gubernur tersebut adalah “Die Nasty” ciptaan Ray Larabie. Bentuk tulisannya yang seperti itu terinspirasi dari logo “KISS”, heavy metal band yang berdiri di era 70-an. Dari bentuk dan latar belakang perancangannya, “font” ini jelas lebih condong untuk hiburan, main-main, pop culture. Kita akan mudah menemukan font ini di sampul kaset atau cakram digital album band rock, pop-rock, atau genre alternatif. Pada praktiknya, bentuk tulisan ini terlalu gaul bagi generasi tua, namun terlalu norak bagi generasi muda. Terjebak di masa antah berantah.

Terakhir, izinkan saya–yang bukan seorang desainer grafis ini–mengajak siapa pun yang terkait untuk rehat sejenak, mencari intermeso lewat menikmati beragam bentuk font yang ada. Minimal, bisa dilihat di layar komputer masing-masing dalam program Microsoft Office yang biasa kita gunakan sehari-hari. Kalau tetap bingung harus memilih yang mana, tenang saja, Samarinda tidak kekurangan anak muda dengan selera artistik yang pas dan mampu menjabarkan maksud serta alasan-alasannya. Jadikan Samarinda tidak kalah visually artistic dibandingkan kota-kota lain.

Toh, apabila wawasan dan kemampuan kita masih sebatas meniru, tirulah hasil desain yang sudah baik. Di Bandung dengan tulisan “Braga”, di Makassar dengan tulisan “Pantai Losari”-nya, atau seperti di Amsterdam dengan tulisan “I amsterdam” yang keren itu. Semua bisa dilihat gratis, lewat Internet.

[]

1 COMMENT

  1. Setuju banget ini Ko, hahaha, tiap kali pulang liat tulisan visit kaltim itu mesti bikin gregetan, paham sih, mungkin maksudnya mau mensimulasikan bentukan atap rumah lamin atau nuansa etnik, but it’s ugly, cuma ya itu…saya pikir nobody cares, hahaha, mungkin alesannya form follow function, jika memenuhi fungsinya dengan baik, segala dekor dan ornamen itu useless, sayangnya faham ini udah ketinggalan zaman 40 tahun.

    • Hahahaha… Kalaupun mau menampilkan bentuk mirip atap rumah lamin atau tampilan etnik, ya kenapa ga desain khusus yg serius aja? Ketimbang pakai Die Nasty. Aku juga geregetan Den, sampai akhirnya nulis ini, meskipun ga paham-paham amat soal desain. 😀

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × one =