RoboCop

16 February 2014
4

PERTAMA kali hadir pada akhir 80-an, aksi robot separuh manusia dalam “RoboCop” langsung menjadi terobosan baru dalam genre sci-fi Hollywood.

Tidak sekadar menampilkan imajinasi tentang teknologi tercanggih pada masa itu, film tersebut juga sarat muatan humor dan satir serius, masuk dalam kategori dewasa, dan tentu saja berhasil meninggalkan kesan khusus layaknya judul-judul sci-fi lain dari era yang sama. Sang polisi robot pun berhasil menjadi salah satu ikon pop-culture terkemuka. Hingga 27 tahun kemudian, tepatnya Rabu (12/2) lalu, “RoboCop” versi anyar mulai diputar.

source: slantmagazine.com

Dengan judul yang sama, film garapan José Padilha itupun menghadapi tiga jenis penonton untuk respons yang berbeda.

Pertama, penonton nostalgia. Yaitu mereka yang sudah pernah menonton “RoboCop” versi 1987 dan sepenuhnya paham dengan adegan-adegan yang ditampilkan Paul Verhoeven, sang sutradara. Bagi penonton kategori ini, “RoboCop” baru tak bisa menggantikan “RoboCop” klasik. Meskipun sebutan reboot tersematkan, namun “RoboCop” baru terkesan terlalu remaja, alias lebih cocok menjadi tontonan ringan semata. Bahkan sang robot pun berbicara dengan intonasi dan nada yang berbeda. Seingat saya, RoboCop klasik (diperankan oleh Peter Weller yang sekilas terlihat mirip Vladimir Putin saat mengenakan penutup kepala robot) memiliki suara khas robot–lewat tren efek audio elektronik pada masa itu–dengan nada yang datar untuk kondisi apapun. Sehingga memberikan kondisi unik pada adegan sedih, atau lucu. Sedangkan RoboCop baru masih bisa menunjukkan perubahan emosi lewat nada bicara dan ekspresi wajah. Bisa jadi, hal ini lantaran modifikasi cerita.

Kedua, penonton generasi 80-90. Yakni mereka yang pertama kali menonton “RoboCop” klasik saat masih anak-anak (lahir antara akhir 80-an hingga pertengahan 90-an), seperti saya.

Kesan yang ditinggalkan “RoboCop” klasik pada penonton kategori ini, didominasi atas ketakjuban anak-anak pada sosok pahlawan super. Sehingga kemunculan “RoboCop” baru dengan sejumlah upgrades-nya, memberikan kegembiraan tersendiri. Pasalnya, “RoboCop” 2014 tampil dengan desain kostum robot yang baru dan lebih keren, teknologi yang lebih canggih, pertarungan yang lebih organis, efek visual yang lebih nyata, serta penggambaran yang lebih kekinian. Meskipun demikian, adegan-adegan kunci dalam “RoboCop” baru tetap tak bisa mengalahkan kerennya adegan serupa pada versi klasiknya. Seperti dalam situasi ketika RoboCop menghadapi penjahat yang sedang menyandera tawanan. Eksekusi yang dilakukan, kalah keren.

Ketiga, penonton baru alias mereka yang–mungkin–baru pertama kali berhadapan dengan figur polisi robot.

Tanpa gambaran tentang “RoboCop” klasik, proses transformasi sosok Detektif Alex Murphy (Joel Kinnaman) yang kemudian dijadikan “manusia hibrida” pun menjadi kunci pembuka ketakjuban mereka. Kemudian, RoboCop pun mereka sandingkan dengan figur-figur serupa lainnya milik Marvel atau DC Comics. Karena itu, bila berkesempatan, coba tonton kembali “RoboCop” versi klasik. Meskipun saya tak yakin, masih ada pemutar kaset Betacam atau Laser Disc yang masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.

Dalam “RoboCop” versi terbaru, ada beberapa detail yang ditampilkan sebagai bentuk homage terhadap “RoboCop” klasik. Seperti bunyi decit mesin yang khas setiap kali RoboCop bergerak. Karena dengan setting tahun 2028, seharusnya teknologi robot sudah minim kebisingan. Serta gambar desain RoboCop klasik yang muncul pada dinding ruang kerja Raymond Sellars (Michael Keaton), sang CEO OmniCorp. Bagian ini muncul di awal cerita, ketika penonton belum bertemu dengan sosok RoboCop yang baru.

Selain itu, Pedro Bromfman menghadirkan musik latar yang tepat untuk menghadirkan suasana (retro-)futuristis. Lantaran kesan yang didapat penonton, adalah throwback ke sci-fi era awal 90-an (setidaknya itu yang saya rasakan). Selebihnya, terlepas dari karya Pedro Bromfman, ada salah satu adegan krusial tentang pembuktian ketangguhan RoboCop, yang diiringi musik rock progresif jadul. Entah apa judulnya, dan apa nama band-nya. Lagu latar tersebut berhasil mendongkrak kekuatan adegan, dan mengajak penonton untuk merasa makin seru saat melihat aksi RoboCop.

Sedangkan untuk urusan efek visual, kita masih ingat bahwa “RoboCop” klasik banyak bermain dengan hasil “kerajinan tangan” manual lantaran keterbatasan teknologi kala itu. Sedangkan “RoboCop” terbaru memang bergantung pada teknologi digital dengan hasil yang luar biasa keren. Walaupun pada akhirnya tetap tidak mampu menggantikan kesan yang berhasil ditinggalkan “RoboCop” klasik, terutama bagi penonton kategori pertama dan kedua. Apalagi RoboCop baru seolah ringkih, karena maintenance yang harus dijalaninya.

Terakhir, harap diingat bahwa “RoboCop” tetap menjadi film yang tidak cocok untuk konsumsi anak-anak. Cukup disayangkan, saat pemutaran perdana di Samarinda, Rabu lalu, masih banyak orangtua yang membawa serta anak-anak mereka, untuk menyaksikan aksi sadis RoboCop.

[]