Pindapatta: Renungan dan Pemberian Kesempatan

1385
views
Alms giving to a Buddhist monk by a kid.
Seorang bocah diarahkan untuk memberikan dana (derma) makanan kepada Bhikkhu Subhapañño Mahathera dalam kegiatan Pindapatta massal di Samarinda, 2 Juni 2013. Kegiatan ini diselenggarakan dalam suasana Vesak 2557/2013 sekaligus peringatan dua dekade Vihara Muladharma. (Fotografer: Franky Wijaya)

Kumpulkan Makanan di Sepanjang Jl Mulawarman

SEBAGAI kelompok rohaniwan Buddha yang menjalani kehidupan pertapaan, para Bhikkhu (terutama dari mazhab Theravada) tidak diperkenankan untuk bermata pencarian, termasuk memegang atau memiliki uang serta melakukan jual beli. Selain itu, mereka juga menjalankan praktik puasa tertentu seumur hidupnya, yakni hanya makan pada pagi dan siang hari, sampai batas matahari berada tepat di atas kepala manusia. Dengan kondisi seperti ini, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, para Bhikkhu menjalankan kebiasaan Pindapatta; tradisi mengumpulkan derma makanan dari umat awam, namun bukan dengan cara meminta-minta.

Di negara-negara Buddhis seperti Thailand, Kamboja, Myanmar, Sri Lanka dan lainnya, kebiasaan ini berlangsung setiap hari. Selepas subuh, rombongan Bhikkhu akan berjalan berbaris menuju perkampungan sambil membawa mangkuk kayu (Patta) berpenutup milik mereka masing-masing. Sambil berjalan, mereka akan dihampiri warga yang sudah mempersiapkan derma berupa nasi maupun lauk yang sederhana, buah, dan sajian lainnya. Sesedikit apapun derma yang mereka terima, itulah yang akan mereka konsumsi dengan sejumlah etiket dan tata tertib.

Kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Jumlah Bhikkhu yang kurang dari 150 orang hingga saat ini, tidak memungkinkan untuk praktik Pindapatta setiap hari. Umat akan datang ke vihara dan mempersiapkan derma makanan untuk langsung disedekahkan kepada Bhikkhu yang sedang menetap di sana. Pindapatta di Indonesia hanya dapat dilangsungkan pada momen-momen hari besar agama Buddha, dan makanan yang dikumpulkan pun tak sekadar nasi dan lauk, melainkan bahan makanan, makanan berkemasan, dan makanan yang tak mudah basi. Ini karena derma tersebut tak semata-mata untuk dikonsumsi para Bhikkhu sendiri, melainkan untuk kembali disumbangkan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.

Seperti yang dilangsungkan kemarin (2/6) pagi oleh Dayaka Sabha (pengurus) sekaligus panitia peringatan hari jadi ke-20 Vihara Muladharma, Jl PM Noor, Samarinda. Ada 12 Bhikkhu yang diundang dari beberapa kota besar untuk melakukan aksi Pindapatta massal, dalam rangka peringatan Waisak ke-2557 pada tahun ini, sekaligus hari jadi Vihara Muladharma yang jatuh pada 1 Juni lalu.

“Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, Pindapatta massal sudah digelar seminggu atau dua minggu sebelum Waisak. Tapi di Samarinda, karena sekaligus untuk peringatan ulang tahun vihara, maka kami adakan hari ini (kemarin, Red),” tutur Liliana Tan, panitia peringatan hari jadi ke-20 Vihara Muladharma.

Para Bhikkhu yang diundang untuk mengikuti Pindapatta massal tersebut adalah Subhapañño Mahathera, Suvijano Thera, Adhikusalo Thera, Tejapuñño Thera, Thitayañño Thera (kepala Vihara Muladharma), Khemanando Thera, Siriratano Thera, Tejanando Thera, Gunasilo, Piyadhiro, Thitaviriyo (wakil kepala vihara sekaligus Bhikkhu yang berasal dari Samarinda), serta Nandaviro.

“Sebelumnya, para Bhante (panggilan lain untuk Bhikkhu, Red) juga menghadiri peringatan atau selamatan ulang tahun vihara yang berlangsung tadi malam (Sabtu malam, Red). Dan setelah ini, beberapa di antaranya akan langsung meninggalkan Kaltim,” jelasnya.

Dalam pelaksanaan Pindapatta massal ini, rute yang diambil adalah sepanjang Jl Mulawarman. Sejak pukul 06.10 Wita, ratusan umat sudah berkumpul di sisi kanan jalan utama Kota Tepian tersebut dengan mempersiapkan dermanya masing-masing. Kemudian, para Bhikkhu memulai pengumpulan makanan dari ujung simpang Jl P Suriansyah-Jl Mulawarman, berlanjut hingga simpang Jl P Sebatik dengan penjagaan personel kepolisian. Proses ini memakan waktu lebih dari setengah jam dan sempat menyebabkan kemacetan. Karena pemandangan rombongan Bhikkhu yang berbaris di jalan serta disambut ratusan umat, menarik perhatian para pelintas.

Mengingat banyaknya derma makanan yang dikumpulkan, para Bhikkhu dibantu sejumlah panitia. Metodenya, umat meletakkan derma makanan langsung ke dalam mangkuk Bhikkhu sebagai tanda penerimaan derma. Setelah itu, para panitia akan mengambilnya dan memindahkannya ke dalam beberapa unit mobil boks yang telah disiagakan. Bahan makanan yang telah terkumpul pun kini ditampung di Vihara Muladharma, untuk nantinya dipisahkan dan dijadikan paket-paket baksos.

“Untuk pelaksanaan baksos, nanti akan disiapkan setelah semuanya sudah diseleksi dan dibagi per paket. Sehingga bisa lebih teratur dan rapi,” jelas Liliana.

Dengan antusiasme umat Buddha Samarinda yang cukup tinggi, dipastikan kegiatan Pindapatta massal ini akan diagendakan setiap tahun dalam momen-momen hari besar selain Waisak. Pasalnya, Pindapatta massal ini juga bertujuan untuk membiasakan umat dengan tradisi kuno yang telah berlangsung lebih dari 2.500 tahun silam.

Sementara itu, setelah menggelar Pindapatta massal, rangkaian kegiatan peringatan dua dasawarsa Vihara Muladharma juga ditandai dengan aksi penghijauan di Jl RE Martadinata pada hari yang sama, dan nantinya akan ditutup dengan perayaan hari jadi pada awal Juli mendatang. (lee)

(Artikel ini terbit di harian Samarinda Pos, Senin, 3 Juni 2013)


Sebuah praktik melatih diri agar jauh dari sifat kikir dan lepas dari kemelekatan atas kepemilikan.
Sebuah praktik melatih diri agar jauh dari sifat kikir dan lepas dari kemelekatan atas kepemilikan. (Fotografer: Franky Wijaya)

Lewat pengantar singkat di atas, menunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjalani kehidupan kebhikkhuan. Karena selain tidak diperkenankan bermatapencaharian, mereka juga terkesan bergantung sepenuhnya kepada umat perumah tangga. Meskipun demikian, tata cara hidup seperti ini memang sudah digariskan oleh Buddha Gotama sendiri, dan tanpa melibatkan kegiatan meminta-minta. Tanpa penambahan, maupun pengurangan parameter.

Bagi sebagian orang, bahkan sejak era kehidupan Sang Buddha sendiri, banyak yang menganggap bahwa gaya hidup seperti ini merupakan bentuk kemalasan. Bhikkhu yang tidak bekerja, dan memerlukan sokongan umat, seolah menjadi beban masyarakat. Padahal di sisi lain, ketentuan untuk tidak bekerja termasuk untuk tidak memasak, dan ketentuan untuk menerima pemberian dari umat merupakan bentuk pelatihan batin yang selaras dengan prinsip pertapaan yang dijalankan oleh para Bhikkhu.

Bhikkhu adalah kelompok pelaku ajaran Buddhisme yang berkomitmen untuk mendedikasikan jiwa raganya dalam menjalankan kultivasi. Tidak bekerja, membuatnya tidak terikat dengan penghasilan dan pendapatan, sekaligus menghindarkan diri dari aktivitas yang berpotensi menyebabkan kematian makhluk lain (misal: mencangkul sawah, secara logika berkemungkinan menyebabkan kematian cacing yang terkena besi cangkul, dan seterusnya).

Sedangkan ketentuan untuk menerima pemberian makanan dari umat, melatih diri untuk lepas dari keterikatan terhadap rupa, rasa, dan aroma dari makanan, serta memandang makanan sebagai zat berkandungan nutrisi yang diperlukan untuk tubuh, bukan sekadar digandrungi oleh mata, lidah, dan hidung semata. Sekaligus memberikan kesempatan bagi umat awam, untuk melakukan kebajikan yang besar dengan menyokong kehidupan orang-orang yang berlatih standar moralitas hidup yang lebih tinggi. Berikut penjabarannya, menurut pemahaman saya.

[Aspek Pertama] Seorang Bhikkhu memiliki satu mangkuk Patta. Mangkuk itu digunakan untuk menampung pemberian makanan dalam Pindapatta. Dalam menjalankan Pindapatta, Bhikkhu dilarang menolak, meminta, bahkan berkomentar atas pemberian, maupun si pemberi. Sehingga, apabila dalam sekali Pindapatta Bhikkhu menerima dua sendok nasi, sepotong ayam kari lengkap dengan kuahnya, dua sendok bumbu pecel beserta sayur-sayurannya, segelas susu, segelas kopi, jus apel, potongan mangga, dan kerupuk, maka semua menu tersebut akan bercampur jadi satu.

Bagi umat awam, sajian campur-campur seperti itu pasti terlihat menjijikkan, berbau aneh, dan memiliki rasa yang ganjil, sehingga dengan mudahnya disamakan dengan sampah. Padahal, apabila kita menyantap menu itu secara terpisah, namun pada akhirnya akan bercampur di dalam perut. Menanggapi hal ini, para Bhikkhu tetap harus menyantapnya dengan normal bahkan tanpa menyisakan sebutir nasi pun sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas pemberian. Pasalnya, Bhikkhu diarahkan untuk menyadari hakikat makanan untuk energi menjalani hidup, bukan sekadar untuk pemberi kesenangan indera.

Perenungan seperti ini juga berlaku untuk kondisi tubuh, dan liarnya pikiran. Semua disadari dalam gerak gerik yang meditatif.

Sebuah tindakan untuk menyokong kehidupan orang-orang yang patut dimuliakan.
Sebuah tindakan untuk menyokong kehidupan orang-orang yang patut dimuliakan. (Fotografer: Franky Wijaya)

[Aspek Kedua] Saat memberikan derma makanan kepada para Bhikkhu, umat awam disebut melakukan perbuatan baik kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Manusia memerlukan makanan untuk aktivitasnya, termasuk bagi para Bhikkhu yang menghabiskan hari-hari dalam hidupnya melakukan meditasi, membahas ajaran, dan menjalankan pola hidup yang asketis. Secara analogi, akan lebih bermanfaat bila memberi makan mereka yang benar-benar memerlukan makanan, ketimbang memberi makan mereka yang tidak kelaparan namun hanya kepengin makan. Dalam hal ini, para Bhikkhu adalah murid Buddha yang memiliki kualitas untuk menyampaikan pengajaran, guru, pembimbing spiritual. Dengan mendukung kehidupan mereka, maka juga mendukung keberlangsungkan pengajaran, dan pembimbingan spiritual yang bermanfaat bagi batin orang lain.

Selain itu, dengan memberi, maka umat akan melatih melepaskan keterikatan kepada barang-barang yang telah dimiliki. Secara sederhana dapat disebut sebagai belajar untuk menghindari munculnya sifat serakah. Ini merupakan praktik pelatihan batin pada level umat awam yang tidak melakukan hidup pertapaan. Yang jelas, pemberian pun harus dilakukan dengan dasar pemikiran yang benar, bukan sebagai janji atau nazar khusus, bukan sebagai lelaku untuk mengundang sesuatu, dan sebagainya. Pemberian disamapaikan dengan santun, bukan seperti seorang kaya arogan yang menghadapi pengemis dekil. Itu sebabnya pemberi melepaskan alas kaki dan jaket atau jubah, serta terlebih dahulu ber-anjali (memberi hormat dengan mengatupkan dua telapak tangan seperti gaya orang Thailand), kemudian meletakkan pemberian secara perlahan dengan dua tangan. Ini merupakan etiket, bukan ritual.

Selebihnya, Patta hanya digunakan untuk menerima makanan. Bukan uang, perhiasan, atau beragam benda berharga lainnya yang tidak dapat dikonsumsi sebagai bentuk donasi. Pada sejumlah kasus, karena ketidaktahuan, umat malah memasukkan uang ke dalam Patta. Membuatnya seolah-olah seperti tempat meminta sumbangan. Seperti yang kerap ditemui di luar negeri. Sedangkan kasus yang kerap ditemui di Indonesia, umat menggunakan hongbao/angpao. Jauh lebih sopan.

Lihat perbedaannya?
Source: Facebook

Terakhir, apabila Bhikkhu tidak mendapatkan derma makanan, maka kemungkinannya hanya tiga; tidak makan; makan buah-buahan yang ditemukan dalam kondisi jatuh dari pohonnya, bukan dengan dipetik sendiri (CMIIW); atau melepas jubah dan menjadi umat awam. Kondisi ini memang terkesan menyedihkan, namun itulah ketentuan yang telah digariskan. Bahkan sejarah mencatat, Buddhisme pernah mengalami kemunduran parah di India Selatan lantaran minimnya sokongan jasmani dari umat.

Batasan-batasan di atas, menjadi salah satu poin yang memunculkan perbedaan dalam praktik Buddhisme. Itu sebabnya, sejumlah subsekte dalam Buddhisme Mahayana mempersilakan (bahkan mengharuskan) para Bhikhu untuk bercocok tanam sayur mayur untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Seperti yang digariskan oleh Bhiksu Huaihai (懷海), yang protes keras dengan kelakuan sekelompok Bhiksu yang terlalu bergantung pada sumbangan umat sampai-sampai menimbulkan stigma buruk bahwa Bhiksu adalah kelompok peminta-minta.

Pada intinya, seperti inilah gambaran tentang Pindapatta dan secuplik kecil dari pola hidup kebhikkhuan. Bukan sebagai sebuah ritual untuk mencari pahala maupun semata-mata menimbun kamma baik, namun juga sebagai satu tradisi yang mengandung nilai filosofis tinggi.

[]

Disclaimer: Buah pikiran dalam tulisan ini disarikan dari pemikiran penulis sendiri, dan mungkin tidak sesuai dengan pola pikir Buddhisme yang sebenarnya.

6 COMMENTS

  1. Juga sebagai pelestarian tradisi Para Bhikkhu di Indonesia, khususnya Samarinda.
    Mengingat tradisi seperti ini jarang ditemukan di Indonesia, disebabkan lingkungan yang tidak mengondisikan, dan ketidaktahuan masyarakat akan tradisi tersebut. Ditambah juga kegiatan itu sebagai wujud existensi Ag. Buddha. Dan tentu sebagai promosi untuk Ag Buddha. 😀

    • Betul. Tidak hanya sebagai upaya untuk melestarikan tradisi kebhikkhuan, Pindapatta juga menjadi khazanah sekaligus lahan untuk berdana bagi umat Buddha. Selain itu, karena berlangsung secara publik, Pindapatta juga bisa jadi salah satu pernik bagi keberagaman umat beragama di Indonesia. Meski demikian, akan lebih baik jika sesekali tetap diadakan Pindapatta yg esensial; ketika para Bhikkhu (atau umat yang ikut berlatih dalam Pabbajja), bisa menghadapi objek meditasi Asubha dari makanan yg diberikan umat.

      Terima kasih untuk tanggapannya. 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

one + 1 =