Perang Label; "Pusat" vs "Daerah"

10 July 2013
2

SEJAUH ini, Indonesia masih belum lepas dari dikotomi “pusat” versus “daerah”; ketika segala sesuatu yang ada di “pusat” (baca: ibu kota negara dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa) terlihat lebih keren, lebih terkini, lebih mutakhir, dan lebih sophisticated ketimbang yang sedang beredar di “daerah” (di luar pulau Jawa). Karena itu, entah dengan alasan yang kuat atau hanya sekadar ikut-ikutan demi mendongkrak penampilan, orang-orang “daerah” menjadikan “pusat” sebagai kiblat gaya hidup, pola bersikap, maupun dasar untuk mengambil keputusan. Kondisi ini sampai memunculkan anggapan bahwa segala sesuatu yang berasal dan ada di “daerah”, memiliki standar yang lebih rendah, sehingga bisa dinomorsekiankan.

Mungkin asumsi di atas tidak sepenuhnya salah, mengingat banyaknya perbedaan mendasar yang terjadi dalam pola hidup di “pusat” maupun “daerah”. Namun asumsi tersebut tetap saja terkesan menjadi stereotip yang meremehkan, serta berpotensi memperlebar kesenjangan cara pandang orang “daerah” terhadap keadaan di daerah mereka sendiri; mengenai etos kerja, pemakluman atas kelemahan, ataupun stagnasi yang dibiarkan.

Beberapa waktu lalu, salah satu sepupu yang berkuliah di Surabaya menitipkan artikelnya untuk diterbitkan di koran tempat saya bekerja, di Samarinda. Tujuannya, untuk mendapatkan nilai ujian tengah semester salah satu mata kuliahnya.

Sempat terjadi percakapan menarik antara kami.

Aku: “Kamu kan di Surabaya. Kenapa kok malah terbitkan artikel di sini? Di sana kan ada Jawa Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, atau sekurang-kurangnya ada Surya. Kan banyak koran di sana. Kalau kamu yakin, ya sekalian kirim ke Kompas, atau koran di Jakarta,”

Dia: “Wih! Kata dosenku, kalau bisa tembus Kompas atau Jawa Pos, nilainya bisa dapat A++ sampai akhir semester. Tapi kan susah. Temanku banyak yang bilang mending diterbitkan di koran daerah, lebih gampang naiknya. Yang penting bisa terbit,”

Aku: “Ya kalau memang tujuannya untuk membuktikan kemampuan menulis dan hasil tulisan yang bagus, enggak ada salahnya coba kirim ke koran-koran nasional,”

Dia: “Enggak apa-apa deh, yang penting terbit,”

Terlepas dari metode ujian sang dosen, kemampuan menulis sang sepupu, potensi terjadinya kerja sama berbasis nepotisme antara saya dan sang sepupu, dan beberapa aspek teknis lainnya, dikotomi mengenai “pusat” versus “daerah” jelas tergambar dalam percakapan di atas. Ketika sang dosen siap mengganjar nilai terbaik bagi mahasiswa yang mampu menerbitkan tulisannya di koran-koran berlabel nasional, dan ketika manajemen redaksi koran-koran di daerah terkesan lebih mudah diajak “bersahabat”. Padahal tidak sedikit orang Jakarta, bahkan Surabaya sendiri yang merasa bahwa merek “Jawa Pos” saja masih kalah mentereng dibanding merek-merek asal ibu kota.

Sebagai seseorang yang berada di daerah, kalimat “…diterbitkan di koran daerah, lebih gampang naiknya. Yang penting bisa terbit,” bisa menimbulkan sentimen kurang menyenangkan terhadap si empunya pernyataan. Tapi sebagai seorang (yang penginnya) profesional, artikel tersebut tentu akan diterima dengan baik-baik untuk kemudian diteliti, disunting seperlunya dan diputuskan layak terbit atau tidak. Sayangnya, masalah tersebut tidak terhenti sampai terbit atau tidaknya artikel itu. Karena sampai kapanpun, anggapan miring mengenai kondisi di daerah akan berpengaruh terhadap orang-orang yang ada di dalamnya; saat self-esteem orang-orang di daerah mesti terbentur label ruang, saat orang-orang di daerah diklaim belum siap menerima pemberlakuan standar yang ketat demi kualitas, saat orang-orang di daerah dinilai tak sanggup mengikuti pesatnya perubahan. Begitupun juga dengan asumsi bahwa sesuatu yang penting di daerah, belum benar-benar penting sebelum beritanya berhasil dikover media nasional, meskipun hanya masuk dalam segmen yang tayang lewat tengah malam dalam standar waktu Indonesia bagian barat.

Harus diakui, tidak sedikit orang-orang di daerah yang berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan terciptanya iklim saling menghargai antara “pusat” dan “daerah” pada sektor-sektor tertentu. Di Samarinda atau Kaltim sendiri, ada yang secara tak sengaja menjadi penganut Orwellian dengan ancaman pemblokiran jalur lalu lintas batu bara dari Kaltim untuk kebutuhan nasional maupun ekspor. Ataupun ketika empat gubernur se-Kalimantan siap memboikot kebijakan pemerintah pusat dengan alasan yang sama. Kedua contoh tindakan ini, sukses menarik perhatian pemerintah pusat sekaligus media-media nasional. Barulah berujung respons.

Sedangkan dalam dunia pers sindikasi, ada pula ketika wartawan daerah enggan mengunggah-bagi berita-berita daerah ke “pusat” sebagai “balasan” lambannya “pusat” mengunggah-bagi berita-berita nasional yang ditunggu sampai rela memolorkan deadline (perbedaan WIB-WITA-WIT).

Sebaliknya, ada pula kelompok-kelompok di daerah yang bergerak dengan caranya Huxley: promosi gila-gilaan untuk menunjukkan bahwa daerah memiliki segudang prospek dan potensi rekreasional yang mampu membuat orang-orang di pusat terkesima, serta tetap menyertakan embel-embel “eksotisme” sebagai sesuatu yang langka di Jakarta atau Surabaya.

Kedua cara ini, dirasa oleh masing-masing pelakunya sebagai cara untuk mengentaskan kesenjangan. Tidak semuanya benar, namun tak juga salah. Hanya saja, dari jumlah personel yang sedikit itu, tidak banyak yang berhasil. Kalaupun berhasil, mereka kerap kali dimispersepsi sebagai orang pulau Jawa yang sedang bertugas di daerah. Lalu, dari mereka yang gagal, ada yang benar-benar menyerah dan akhirnya malah meninggalkan daerah (mungkin saya, salah satunya. Entalah). Selanjutnya, “pusat” tetap akan menjadi pusat segalanya, sedangkan “daerah” tetap menjadi daerah yang, ya… begitulah.

Semua hanya gara-gara label. Padahal lebih penting untuk membuat “daerah” bisa mengejar kemajuan yang lebih dulu berjalan di “pusat”, ketimbang membiarkannya menggelinding begitu saja.

[]