Paganisme Tradisional Tionghoa & Kearifan Lokal Nusantara

685
views

SELAIN peristiwa Bani Israil melebur perhiasan emas lalu dijadikan berhala anak lembu betina~~~ setelah dibawa Nabi Musa menyeberangi Laut Merah menghindari kejaran Firaun, tampaknya bangsa Tionghoa sudah default sebagai salah satu pelaku animisme paling fleksibel dalam peradaban dunia sampai saat ini. Paling luwes, dan paling sinkretis dalam perspektif budaya. Di mana pun mereka berada, termasuk di Indonesia.

Ada kepercayaan tradisional tentang Dewa Bumi sebagai danyang teritorial. Semacam penjaga atau penguasa lokasi setempat. Bukan penunggu, karena derajatnya tidak sama dengan hantu. Tiap kali ngapa-ngapain, harus diberi tahu dan dikasih jatah. Seperti ketika ingin membangun rumah, pindah kediaman, membuka toko atau tempat usaha, sampai penjaga makam, dan sebagainya.

Dewa Bumi ini populer dengan banyak nama. Kerap dianggap berbeda dengan Fu De Zheng Shen (福德正神) atau Hok Tek Ceng Sin dalam dialek Hokkian, Toapekong (大伯公), maupun Tudigong (土地公) yang secara harfiah merujuk pada sesosok kakek. Padahal sama saja.

Salah satu ciri khasnya adalah altar yang tidak menggunakan meja, melainkan menapak tanah. Sangat mudah dikenali di rumah, toko, atau restoran milik warga Tionghoa.

Salah satu altar Dewa Bumi di sekitar kawasan Petak Sembilan, tepat di pinggir jalan samping sebuah gang.

Dibawa “merantau” ke Indonesia, figur Dewa Bumi pun akhirnya digeser. Tidak berganti, melainkan disejajarkan. Sesuai pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Dari yang awalnya digelari Dewa Bumi Lima Arah Lima Jalan (五方五路土地公), akhirnya mulai bisa dipanggil “Datuk”. Sajennya pun lebih me-Nusantara berupa kopi hitam, dan rokok kretek. Di Cina sana mana pake yang begituan.

Nah, lagi-lagi karena kearifan lokal, segelas kopi hitam, rokok kretek, dan/atau segelas air kembang selalu dipersiapkan setiap Kamis malam. Kenapa malam Jumat? Kemungkinan besar sejalan dengan kepercayaan khas di Indonesia yang sudah lebih dulu ada. Bagi keluarga yang memiliki altar Dewa Bumi, sesajen tersebut akan ditempatkan dalam nampan dan diletakkan di depannya. Apabila tidak punya, nampan cukup diletakkan di tengah atau salah satu sudut ruang tamu. Dalam beberapa kasus, kadang juga disiapkan kemenyan khas Jawa di nampan tersebut. Sama-sama dupa, tetapi beda rupa.

Keesokan harinya, pada Jumat pagi, air kembang tadi kemudian disiramkan di depan rumah. Entah apa maksudnya, ataukah kebiasaan yang telah turun temurun saja. Di sisi lain, masih di Samarinda, kadang ditemukan kembang serupa sengaja dihamburkan di persimpangan jalan, terutama daerah padat kendaraan dan rawan kecelakaan.

Seperti ini. Barangkali bisa disebut bentuk paganisme dengan kearifan lokal. Setidaknya yang terjadi, dan terus dilakukan dalam lingkungan keluarga saya maupun orang-orang Tionghoa di Samarinda.

Dari salah satu contoh ini, sinkretisme religius budaya Tionghoa terlihat begitu cair. Ketika ritual yang dibawa dari tanah nenek moyang berubah bentuk, dilokalkan. Kebiasaan menyiapkan air kembang bungkus pada malam-malam tertentu jelas merupakan peniruan, dan akhirnya terus dilakukan warga Tionghoa dengan logika sederhana; “kayaknya bener juga ya…” atau “sudah dilakukan dari dulu-dulu, jangan sembarangan nanti kualat!”

Punya penjelasan tentang kebiasaan malam Jumat seperti ini, boleh dibagi di kolom komentar ya. I would love to know!

Apakah sinkretisme ini hanya terjadi di Indonesia? Kayaknya tidak. Ada satu Mandir atau kuil Hindu India di Singapura yang bahkan menyediakan hiolo atau tempat menancapkan hio di depan pintu utamanya. Seperti yang sempat saya lihat pada 2008 lalu. Warga Tionghoa setempat pun bisa melakukan penghormatan dengan gaya yang sama seperti di kelenteng. Yakni dengan cara “Cung-Cung-Cep” atau “Acung-Acung-Tancep”.

Dewanya dewa Hindu, ritualnya gaya Cina. Beda rupa, tapi mungkin maksudnya sama.

Begitulah budaya religius Tionghoa, selalu bisa merasuk dengan kearifan lokal di mana berada.

[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

twenty − ten =