Pacific Rim

256
views

BELAKANGAN ini, kita mungkin sudah dibuat terbiasa dengan konsep “kecil lawan besar” dalam film-film bertema invasi makhluk asing. Yaitu ketika manusia, atau makhluk nonmanusia yang memiliki rupa dan ukuran standar manusia bumi (kecuali Hulk), mampu menang melawan sekumpulan alien dengan ukuran dua hingga tiga kali lebih besar. Masalah angka tersebut diatasi dengan kombinasi kekuatan, perangkat senjata, strategi perlawanan yang cerdik, kerja sama tim, maupun keberuntungan dengan sejumlah dramatisasi.

Lewat pendekatan serupa, sebenarnya Guillermo del Toro menyajikan kombinasi yang sama dalam “Pacific Rim” yang baru dirilis Kamis (11/7) lalu. Hanya saja, salah satu perbedaan paling mencolok yang disuguhkan sebagai ikon dalam film ini adalah ukuran senjata; robot raksasa yang–entah apa alasannya–dinamai menggunakan istilah bahasa Jerman dan dikendalikan dari dalam. Kemudian, para musuh yang dihadapi terkesan sangat Jepang (bahkan dari namanya); berwujud ala monster Tokusatsu yang dengan mudahnya mengingatkan kita pada serial Ultraman, Power Rangers dan sejenisnya.

source: flicksandbits.com

Dengan dua penggambaran awal ini, setidaknya “Pacific Rim” mampu memuaskan penikmat beberapa genre sekaligus. Termasuk para penonton yang masa kecil hingga jelang remajanya berlangsung pada era 80 hingga 90-an akhir, saat penampakan monster dan robot menjadi subkultur terpopuler di dunia. Apalagi, dalam film berdurasi lebih dari dua jam ini, Guillermo del Toro tak tanggung-tanggung menampilkan aksi lima varian robot raksasa dengan karakteristik khas mewakili sejumlah negara, versus setengah lusin monster alien terkategorisasi lengkap dengan nama masing-masing (meskipun tak disebutkan semuanya) yang merupakan kode pengenal unik. Sehingga tidak berlebihan jika diprediksi dalam waktu dekat action figure para robot maupun monster alien “Pacific Rim” bakal sudah menjadi objek koleksi lintas generasi di seluruh dunia.

Secara khusus, Guillermo del Toro menempatkan robot raksasa dan monster alien menjadi sentral dalam “Pacific Rim” dengan fondasi sangat kuat, sekaligus sebagai apresiasi dan wujud penghormatan terhadap karya-karya serupa yang tergolong klasik. Pasalnya, tidak sulit bagi para penonton yang jeli untuk menemukan benang merah antara segudang detail dalam “Pacific Rim” dengan karya-karya yang sudah pernah membuat mereka tercengang beberapa dekade sebelumnya. Sementara bagi generasi yang baru muncul belakangan, “Pacific Rim” bisa menjadi tontonan dengan predikat luar biasa keren lantaran premis, eksekusi dan penyajian yang belum pernah mereka lihat.

Selain terfokus pada kemunculan monster alien dan pertarungannya dengan robot raksasa, “Pacific Rim” tetap memberikan penekanan khusus pada tokoh-tokoh yang berperan menggerakkan alur cerita, maupun pada interaksi antara mereka.

Dari 12 tokoh yang muncul, terbagi menjadi tiga kelompok utama: pilot robot, komandan, dan ilmuwan. Selebihnya, ada figur tambahan yang justru mendapat porsi tampil ekstra pada bagian paling akhir film. Dalam hal ini, Guillermo del Toro mungkin sengaja tidak mengusung nama-nama supertenar dunia untuk bermain dalam filmnya, lantaran dirasa tidak perlu. Toh pada kenyataannya, para pemain bisa tampil maksimal kala beraksi membuat robot “menari”, juga saat menggencarkan emosi. Walaupun tidak dipungkiri, ada beberapa adegan dan line yang dibawakan dengan ala kadarnya. Tapi hal ini bisa dengan mudah dilupakan begitu saja karena memang tidak terlalu penting untuk diperhatikan secara berlebihan. Lagipula, terkesan sia-siap untuk sibuk mencela penampilan pemain, ketika hampir di sepanjang film bisa dibuat terkagum-kagum dengan profil robot raksasa saat dipamerkan dalam hanggar maupun kala beraksi melawan para sepupu Godzilla yang tak kalah kerennya.

Cerdiknya, demi memperkuat jalinan emosi antartokoh dalam cerita dan dikaitkan dengan ukuran robot yang raksasa, Guillermo del Toro pun menyajikan sistem pilot ganda. Ini menjadi komponen penting untuk membuat “Pacific Rim” tetap terasa manusiawi dan kaya ekspresi. Satu unit robot dioperasikan sepasang pilot yang berkoordinasi secara fisik dan terhubung secara mental. Bagian ini memungkinkan para pilot untuk saling bertukar perasaan, ingatan, dan bergerak secara seimbang, serta menjadi salah satu kunci penting bagi perjalanan kisah para tokoh utama.

source: digitaltrends.com

Dimulai dari Raleigh Becket (Charlie Hunnam), a has-been yang meninggalkan robotnya–Gipsy Danger–dengan batin terguncang, dan kembali mendapatkan pilihan untuk melindungi bumi menjelang “kiamat”. Raleigh berhasil diyakinkan oleh komandannya, Stacker Pentecost (Idris Elba) dengan ketegasan. Kemudian muncul Mako Mori (Rinko Kikuchi), seorang gadis Jepang yang memiliki kapabilitas setara Raleigh dalam tugas barunya.

Atas hadirnya sosok Mako dalam cerita, Guillermo del Toro dan Travis Beacham (penulis cerita) pantas mendapatkan apresiasi tersendiri. Melalui latar belakang kuat yang berhasil dibawakan dengan brilian oleh Mako kecil (Mana Ashida), Mako dewasa mampu memperkuat ikatan bersama kedua tokoh utama lain dan menghasilkan kepadatan cerita.

Selain itu ada Newt (Charlie Day) dan Dr Gottlieb (Burn Gorman), duo ilmuwan peneliti perilaku monster alien dengan pendekatan yang saling bertolak belakang dan menimbulkan perseteruan. Sejak kemunculan pertama dalam “Pacific Rim”, hubungan mereka terus berkembang negatif, hingga akhirnya memunculkan titik balik pada plot utama.

Terakhir, Guillermo del Toro menghadirkan sosok Hannibal Chau (Ron Perlman) yang nyentrik. Tokoh yang sebenarnya memiliki peran kurang signifikan ini mampu menjadi figur tambahan yang menarik perhatian, karena gayanya dibuat lebih mencolok dibanding tokoh-tokoh lainnya.

Dari sisi kualitas visual, saya merasa efek 3D yang disajikan “Pacific Rim” nyaris tanpa cela. Nyaris, salah satunya lantaran dalam beberapa adegan pertarungan para raksasa, gimmick tetesan air yang seolah memercik dan menempel pada layar kaca terasa cukup mengganggu “kenikmatan” melihat manuver robot dan terjangan monster, seolah pengin cepat-cepat dilap. Namun selebihnya, this film is awesome. No, it’s super-awesome! No need further descriptions.

source: empireonline.com.au

Tak ketinggalan, desain robot yang beraksi dalam “Pacific Rim” benar-benar memesona. Figur robot dikreasikan sepenuhnya bersesuaian dengan karakteristik negara pemiliknya dan mempunyai keunggulan senjata masing-masing. Misalnya, penampilan eksterior Cherno Alpha milik Rusia terkesan dingin dengan dominasi warna logam saja. Sedangkan perangkat yang ada di dalamnya juga didominasi warna hitam. Bahkan signature gesture-nya serupa gerakan khas pegulat Siberia. Lain lagi dengan desain Crimson Typhoon milik Tiongkok, didominasi warna merah dengan label nama berwarna putih menggunakan tulisan Tionghoa di dada sebelah kirinya serta sejumlah ornamen serupa emblem kepala naga yang tersebar di beberapa titik. Salah satu keistimewaan Crimson Typhoon dibanding “rekan-rekannya” adalah default weapon-nya yang mirip dengan senjata tak lazim dari cerita kungfu, dan sepertinya pemilihan desain ini bukan tanpa alasan.

Di lain sisi, para monster pun hadir dengan beraneka bentuk yang fungsional sebagai salah satu senjata atau metode pertahanan yang digunakan saat mengacaukan bumi. Itu sebabnya mereka memiliki nama unik sebagai kode identifikasi. Salah satunya seperti Knifehead.

Film yang bebas dari adegan ciuman seringan apapun (who needs that?) ini, makin memukau dengan scoring karya Ramin Djawadi. Ketepatan tema adegan dengan lagu latar dan efektivitas jeda membuat pengalaman audiovisual kala menikmati “Pacific Rim” makin berlimpah. Contoh sederhananya, setiap kemunculan Cherno Alpha pasti dibarengi dengan lagu bernuansa mars khas Rusia yang terkesan kelam dan membuat gentar. Membuat penampilan Cherno Alpha makin gagah. Begitupun dalam penampilan ketiga robot lainnya.

“Pacific Rim”; it’s all about size and action, nothing else matters.

[]

6 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 + five =