Pacaran di Jakarta Itu Mahal (?)

Holding hands.
22 July 2018

PACARAN butuh banyak persiapan.

Ya… sebenarnya bukan di Jakarta doang sih. Di mana-mana, yang namanya pacaran itu sudah pasti pakai duit, perlu alokasi dana khusus yang entah bersumber dari uang jajan pemberian orang tua, rekening tabungan, gaji atau penghasilan.

Sesedikit atau sebanyak apa pun jumlahnya, duit tersebut dipakai untuk melakukan beragam aktivitas bersama sang pacar. Termasuk dalam masa-masa PDKT “pra-penembakan”, dan saat disisihkan untuk rencana berikutnya.

Mahal? Relatif sih. Pipis di WC umum juga mesti mbayar kok, dan ketika harus mengeluarkan uang untuk aktivitas yang sejatinya gratis, sekecil apa pun nominalnya, bisa dianggap mahal juga, kan?

Inti dari masalah ini barangkali cuma sikap bawaan (kikir, royal, mata duitan, dermawan, penuh perhitungan, dan sebagainya), sudut pandang (pertimbangan perlu/tidak perlu, bermanfaat/tidak bermanfaat, patut/tidak patut, boros/hemat, cerdik/dungu, dan lain-lain), dan tentu saja kepemilikan. Lagipula, semahal apa pun biaya pacaran di Jakarta, toh tetap banyak yang melakukannya karena beragam alasan maupun latar belakang. Bahkan, ada yang mampu berpacaran dengan dua orang atau lebih sekaligus. Dalam waktu bersamaan. Mampu lho ya, bukan sekadar sanggup atau mau, which means double or even triple expendable resources in requirement.

Walaupun demikian, lantaran lain tempat lain adat, lain insan lain pemikiran, tentu rasanya ada yang berbeda saat menjalani sebuah hubungan pacaran di Jakarta dibanding di kota-kota lainnya. Apa aja? Mungkin dua hal berikut ini.

>> Transportasi

Hubungan pacaran identik dengan kencan, dan lazimnya, sebagai bentuk common courtesy dalam urusan perpacaranan, si cowok menjemput dan mengantar si cewek pulang. Lagian, cewek mana sih yang sebenarnya senang pulang sendirian, apalagi dari sebuah kencan?

Prasyarat umumnya:

  • Ada kendaraan pribadi. Tidak mesti milik sendiri. Pribadi di sini berarti bukan kendaraan umum, sehingga bisa dibawa ke mana pun, dan sampai kapan pun. Lalu terserah, dikendarai sendiri atau dengan juru mudi. Namun kalau nyetir sendiri, besar kemungkinan bisa bertukar kecupan dan cipokan sebelum pulang.
  • Perihal kemesraan sebelum pulang, akan jauh lebih nyaman dilakukan di dalam mobil. Ya, kan? Apabila belum punya, seberapa mau si cewek untuk dibonceng ke mana-mana? Sudah dandan maksimal, hancur begitu saja kena terpaan angin dan debu jalanan.
  • Sebuah hubungan termasuk LDR kalau sudah berbeda kota, provinsi, pulau, dan negara. Akan tetapi ukuran ini getas, lagi-lagi tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Sebagai perbandingan, ketika orang Samarinda berpacaran dengan orang Balikpapan, hubungan itu mereka kategorikan sebagai LDR. Padahal Samarinda dan Balikpapan hanya terpisah sejauh 115,7 km, bisa ditempuh selama 2,5 jam. Jadi 2 jam lebih saja kalau jago nyelip truk dan bus AKDP.
    Lain halnya dengan yang terjadi di lingkar Jadetabek. Selama sang pacar tinggal di area tersebut, belum dianggap LDR. Tapi tetap saja, harus ada kendaraannya, dan semangat rela berkorban untuk jauh-jauh menjemput dan mengantar pulang. Bukan persoalan jarak, tapi waktu tempuh.
    Intinya, kalau bukan LDR, berarti masih dekat.

Kondisi di Jakarta:

  • Demi efisiensi waktu dan tenaga, banyak yang berpendapat bahwa konsep jemput-antar si cewek kurang ideal diterapkan setiap saat. Daripada waktu habis di jalan, lebih baik langsung ketemuan di tengah, di lokasi yang tidak terlalu jauh dari satu dan lainnya. Pertanyaannya, maukah si cewek menggunakan transportasi umum apabila tidak membawa kendaraan sendiri?
  • Meskipun tidak memiliki kendaraan sendiri, si cowok tetap bisa menjemput dan mengantar ceweknya pulang. Pilihannya banyak. Ada Uber (dulu), GrabCar, dan Go-Car yang hampir tiap pekan menabur promo diskon. Terserah, seberapa tahan. Ketika jarak antara dua sejoli, katakanlah, Pluit-Cilandak.
  • Pertimbangan khususnya, Jakarta terus melakukan pembangunan dan pembenahan semua lini transportasi publik baik yang dikelola pemerintah, maupun swasta. Pertanyaannya bisa bergeser menjadi mana yang lebih efisien (baca: murah) dan cukup nyaman, antara punya mobil harian sendiri atau menggunakan Uber, GrabCar-GrabBike, Go-Car-Go-Jek, taksi, TransJakarta, Commuter Line, MRT, sampai LRT nantinya?
Pacaran di tempat umum.
Setelah MRT-nya Jakarta kelar, bisa jadi adegan seperti di kereta bawah tanah NYC ini juga terjadi di sini. Source: slate.com

>> Konsumsi dan Hiburan

Kencan pasti diisi dengan kegiatan makan-makan, dan hiburan. Tanpa itu, ya anyep banget, dan masih berhubungan dengan common courtesy nih. Dalam hal ini, cowok tentu menjadi benefactor-nya, alias yang membayarkan. Di samping itu, ada anggapan yang mengatakan bahwa cowok yang maunya dibayarkan melulu, adalah cowok kurang modal, lebih-lebih matre. Meski sebaliknya, tidak menutup kemungkinan cewek-cewek pun bisa matre, atau malah selalu mau enaknya doang.

Prasyarat umumnya:

  • Sangat wajar apabila sang cowok membayarkan semua-muanya. Kelak, dia akan menjadi kepala rumah tangga, pemberi nafkah keseluruhan. Ketika urusan bayar makan di restoran saja harus split bill, bagaimana ketika sang istri melahirkan? Apakah dipisah antara biaya proses pembuahan dan biaya persalinan?
  • Kencan seyogianya berkesan. Supaya bisa berkesan, maka isi dengan segala sesuatu yang jarang dirasakan, tidak terus-terusan, biar enggak bosan. Ternyata ada bagusnya kencan dilakukan tiap malam hari libur atau akhir pekan. Pintar-pintarlah membangun dan mengisi situasi, tidak ada salahnya untuk menyisihkan sejumlah uang, dan memilih tempat yang cocok serta sesuai kemampuan. Kalau terkendala, lebih baik jujur dan terbuka terhadap pasangan, ketimbang sok-sokan mampu tapi akhirnya terbelit utang. Namanya juga sedang berpacaran, komunikasi dan penyesuaian selalu diperlukan. Ketimbang nanti kaget ketika telanjur bersanding di pelaminan.

Kondisi di Jakarta:

  • Hampir semua ragam pilihan ada di Jakarta, dari yang paling fancy dan mahal, sampai yang murah meriah tapi tetap mengasyikkan. Ada variasi yang bisa dibentuk sesuai keadaan.
  • Konon katanya, Jakarta penuh dengan cewek-cewek berpandangan modern dan seru. Dalam kondisi yang cukup ekstrem (untuk ukuran kebiasaan di Indonesia), mereka malah bisa memilih untuk split bill dalam beberapa situasi kencan. Pun begitu, berkencan belum berarti sudah/mau jadian.
    Dengan mampu membayar sendiri, cewek-cewek tersebut menunjukkan kekuatan dan karakter yang independen. They’re self-sufficient creature, nobody owns them. CMIIW ya. Di sisi lain, ketika sudah berpacaran, mereka bisa saling bergantian mentraktir. Misalnya, cowok bayarin makan, ceweknya bayarin nonton bioskop. Seru, kan? Hanya saja, seberapa banyak cewek yang begini?
Splitting the bill on the first date? Hmm... Foto: mamamia.com.au
Splitting the bill on the first date? Hmm… Source: mamamia.com.au

Cuma dua hal di atas yang dibahas. Cukup. Namanya juga masih dalam keadaan pacaran, belum dirasa perlu untuk membicarakan tentang akomodasi atau tempat tinggal (ya kalau yang satu ini tergantung setiap orang dan pasangannya masing-masing sih, bisa jadi supaya lebih efisien ke kantor, atau sebagainya), pembagian peran dan tugas rumah tangga antara suami-istri, memilih sekolah untuk anak, rencana untuk pindah kota bila diperlukan, serta masalah-masalah seterusnya.

Dari kedua hal tersebut, silakan kamu kira-kira deh; apakah berpacaran di Jakarta memang mahal?

Ah, pacaran di Jakarta itu muahal

Loh! Siapa bilang? Di Jakarta banyak kok cewek yang mandiri, cantik tapi pinter, dan bisa diajak kompromi. Kamu aja yang belum nyari… atau terlalu picky!” kata seorang teman, yang lucu serta menyenangkan, dan sudah jadi pacarnya orang.

#eh

Selebihnya, ini ya masalah ketersediaan, kok. Lagi-lagi, kalau punya cukup uang, semuanya tentu lebih bisa dikondisikan. Kendati takaran “cukup” itu berbeda bagi setiap orang.

[]