Oz the Great and Powerful

10 March 2013
source: skepticdad.files.wordpress.com

SAYA tak ingat persis, kapan pertama kali menonton “Return to Oz”, film yang dirilis sebelum saya lahir dan mulai ditayangkan televisi swasta nasional pada pertengahan era 90-an. Namun setelah itu, kata “Oz” langsung identik dengan hal-hal imajinatif, ajaib, misterius, sekaligus menegangkan.

Beberapa tahun setelahnya, baru tahu bahwa film itu ternyata merupakan kelanjutan cerita dari “The Wizard of Oz”, film klasik yang berusia jauh lebih tua lantaran dirilis pada 1939. Diangkat dari serial novel Frank Baum: “The Wonderful Wizard of Oz”, keluaran 39 tahun sebelumnya.

Keajaiban “Oz” secara audiovisual tidak hanya terbatas pada dua film tersebut. Ada beragam karya gubahan yang selalu dimunculkan, seolah menjadi puzzle besar yang selalu siap ditambahkan. Termasuk “Oz the Great and Powerful” yang tayang di Samarinda mulai Jumat (8/3) lalu. Apalagi dengan format 3D.

Film besutan Sam Raimi ini mengisahkan tentang Oscar (James Franco), seorang tukang sulap mata keranjang dengan senjata gombalan yang itu-itu saja, serta memiliki sedikit pengetahuan tentang fisika dan kimia. Ia tergabung dalam rombongan karnaval keliling dengan asistennya, Frank (Zach Braff).

Tindakannya yang doyan membodohi wanita membuat Oscar menghadapi masalah. Ia dikejar-kejar Vlad (Tom Holmes), salah satu penampil di karnaval keliling yang sama hingga ia terpaksa melarikan diri dengan menggunakan balon udara. Setelah sukses menerbangkan diri, ia dihadang puting beliung hingga akhirnya terhempas ke tempat antah berantah dengan beragam keajaibannya. Setelah ia bertemu dengan Theodora (Mila Kunis) dan Finley (suara: Zach Braff), petualangannya pun dimulai.

Sebagai sebuah film 3D, “Oz the Great and Powerful” benar-benar menyuguhkan segudang tayangan yang luar biasa. Salah satunya, lewat efek pop-up yang tepat, penonton bisa merasa seolah sedang berada dalam wahana roller coaster berkecepatan tinggi plus sensasi guncangan isi perut.

source: w3rkshop.com

Sebelumnya, kita memang sudah mengenal gaya Sam Raimi lewat trilogi Spider-Man (Tobey Maguire). Namun dalam “Oz the Great and Powerful” yang menelan USD 200 juta ini, kreativitas Sam Raimi kembali mengundang kagum. Pasalnya, ia menyajikan belasan menit awal cerita dengan tampilan monokrom alias hitam putih. Itupun dengan resolusi 4:3, layar berukuran kecil yang digunakan untuk film-film pada beberapa dekade sebelum kemerdekaan Indonesia. Ditandai dengan gambar tayangan yang tidak memenuhi seluruh layar bioskop.

Kemudian penonton dibuat takjub dengan transisi dari adegan berresolusi 4:3 yang hitam putih menjadi 16:9 (ukuran layar lebar masa kini) ketika kepingan serupa snowflake mampu terbang melewati batas bingkai adegan. Mencerap lewat takjub.

Selain itu, bagi Anda yang sudah pernah menonton “The Wizard of Oz” atau bahkan membaca novel asalnya, pasti menduga bahwa “Oz the Great and Powerful” menghadirkan kisah pendahulunya (prequel). Pasalnya, terjadi pergeseran posisi protagonis utama dari Dorothy Gale, sang gadis Kansas, menjadi Oscar (Oz), sang pesulap karnaval keliling yang juga berasal dari Kansas. Lalu Oz dalam “The Wizard of Oz” maupun “Oz the Great and Powerful” juga memiliki karakteristik serupa, pun melekat pada ikon yang sama. Ditambah dengan kemunculan dua tokoh: Theodora dan Evanora, dan bagaimana mereka bertransformasi sepanjang cerita.

Dari sisi pemain, saya menempatkan Rachel Weisz dan Michelle Williams di atas James Franco maupun Mila Kunis. Sang bintang utama, James Franco, menampilkan akting yang tidak unik jika dibandingkan dengan peran-peran sebelumnya. Alih-alih melihat Oscar yang diperankan oleh James, kita hanya akan melihat James yang berkostum pesulap lengkap dengan tas tangannya.

Begitupun dengan Mila Kunis. Hingga pertengahan cerita, ia memang tampil cantik, seksi, dan menawan seperti biasanya. Ia menunjukkan seorang Theodora yang manis dan naif, ditambah dengan busana yang elegan. Namun setelah melewati sebuah puncak plot dan berubah peran, Mila terkesan tidak nyaman dengan lakon tersebut. Bahkan teriakannya pun terdengar seperti peserta audisi ajang pencarian bakat yang kesulitan mencapai nada tinggi.

Berbeda dengan kedua bintang tersebut, Rachel dan Michelle benar-benar tampil nyaman dalam perannya. Sebagai Evadora, Rachel mampu tampil maksimal. Penonton bisa merasakan kekuatan dari mimiknya. Begitupun pada Michelle sebagai Glinda yang tampil lembut, mengingatkan penonton terhadap sosok ibu mbak peri.

Meskipun demikian, ada satu hal yang patut disayangkan, yakni twist yang muncul dengan eksekusi prematur. Terkesan kurang gereget serta dimunculkan begitu saja. Sehingga penonton yang sudah bersiap untuk menghadapi kejutan, merasa antisipasi mereka terlampau berlebihan.

Tak perlu ditanya soal CGI. Ada banyak hal memukau yang berhasil dihadirkan dalam film ini. Seperti sosok Finley, atau gadis dari China Town (china, literally). Tak ketinggalan, quote-quote bijak yang bertebaran di paruh akhir cerita. Semua ini menjadi potongan-potongan besar puzzle  tentang sebuah dunia ajaib bernama “Oz”.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.