Nebeng Imlekan di Negeri Jiran

12 February 2014

KATANYA, there is always a first time (either good or bad). Dan sepertinya, hal itu yang saya alami pada Imlek tahun ini. Saya terpaksa tidak berada di rumah, dan merayakan Tahun Baru Imlek dengan suasana berbeda. Atau bahkan, “tidak perlu repot-repot” merayakannya, karena sedang jauh dari keluarga.

Anyway, tidak merayakan Tahun Baru Imlek, berarti jauh dari kehangatan keluarga yang berkumpul kembali, jauh dari makanan enak dan gratis, jauh dari “pemandangan-pemandangan menyenangkan”, dan jauh dari… angpao dong (malu sama umur sih :P).

Iseng, sehari sebelum berangkat, saya sempat mengabari sejumlah kawan yang tinggal di Kuala Lumpur. Tujuannya, agar kami bisa bertemu untuk merayakan Imlek bersama-sama, setidaknya pada hari kedua tahun baru (Sabtu, 1/2). Sayang, ternyata sebagian besar dari mereka mudik ke kampung halaman masing-masing, tersebar di selatan Selangor sampai Malaka. Dengan kondisi ini, saya pun bersiap-siap untuk melewatkan momen Tahun Baru Imlek sebagai turis, tanpa perayaan apa-apa.

Sebagai kotanya kaum urban, Kuala Lumpur memang kerap ditinggal mudik pada momen Tahun Baru Imlek. Karena sesuai tradisi, perayaan Tahun Baru Imlek selalu terpusat di rumah anggota keluarga yang paling tua. Sehingga jangan heran apabila di sepanjang perjalanan dari Kuala Lumpur menuju luar kota, pelataran rumah-rumah sederhana yang ada di sisi jalan dipenuhi mobil. Kontras. Maklum, generasi tua tetap bertahan di kediaman lama mereka. Sedangkan yang muda, beradu hidup di ibu kota.

Di hari kedua kunjungan kerja—malam pergantian tahun Imlek—kabar baik tiba. Kelar menunaikan hajat agenda, sebuah pesan WhatsApp dari seorang kawan muncul.

What’s Your plan tonight?” tanya Ryan Lee Jin Hwa (30), seorang kawan yang tinggal di Subang Jaya, sekitar 20 menit perjalanan dari Kuala Lumpur.

Maybe I’ll take my CNY (Chinese New Year, Red) eve’s dinner alone,” balas saya.

No! No CNY dinner alone!” hardiknya.

Jin Hwa with his CNY's delicacies.
Jin Hwa with his CNY’s delicacies.

Spontan, Jin Hwa langsung menawarkan untuk bergabung makan malam di kediamannya, walaupun kemudian ia berusaha merendah dengan mengatakan bahwa menu yang disajikan was nothing but simple dish. Sungkan, ajakan itu saya tolak. Karena biasanya, makan malam Imlek khusus untuk anggota keluarga saja, sehingga saya bakal terlihat seperti seorang asing yang numpang makan gratis. Keukeuh, Jin Hwa kembali menyampaikan penawaran, hingga akhirnya undangan saya terima.

Tiba di kediaman Jin Hwa sekitar pukul 21.00 Wita, saya langsung disambut ucapan “Happy New Year” dari Ibunda Jin Hwa dan saudara-saudaranya. Sejurus kemudian, saya dibawa ke ruang makan. Sejumlah menu tersimpan rapi di bawah tudung saji. Sengaja belum dibereskan untuk saya. Padahal mereka telah selesai bersantap sejam sebelumnya.

Ungkapan Jin Hwa yang mengatakan bahwa menu yang disajikan di rumahnya hanyalah masakan sederhana, ternyata berlebihan. Di hadapan saya, ada campuran sayur serupa Shi Cai atau yang umum kita kenal sebagai Capcai, udang dan ayam goreng tepung. Juga disiapkan semangkuk sup tim herbal yang sedap dan sangat bergizi, serta masakan khas Penang yang disebut “Jiu Char” dalam dialek Hokkian.

Jiu Hu Char (魷魚炒)
Jiu Hu Char (魷魚炒)
Yours truly. 😝
Yours truly. 😝

Di antara semua menu tersebut, “Jiu Char” atau lengkapnya “Jiu Hu Char” (魷魚炒) paling menarik perhatian. Bentuknya serupa tumisan wortel, kol, bengkoang, jamur kancing, serta potongan sotong goreng. Cara menyantapnya adalah dengan dijepitkan pada sehelai selada. Manis, gurih, sedikit berair, dan renyah.

This is Penang food. We only make it on celebrations or festivals,” kata Jin Hwa.

Saya cuma manggut-manggut, sambil asyik makan. Enak, soalnya. Hahaha *enggak tahu malu*

Anyway, You guys not going back to Penang?” tanya saja sembari makan.

Oh, this year, all families will come to my house. It’s my mum’s turn (to host),” jawab Jin Hwa.

Jaga image, saya pun segera menyudahi makan malam Imlek di sana untuk kemudian bercengkerama dengan Jin Hwa dan keluarganya.

LIBUR PANJANG, BISNIS TETAP JALAN

Banyak ngobrol dengan Jin Hwa, seorang sopir van yang MBI (Malaysian-born Indian) bernama Ghani, seorang sopir taksi keturunan Bugis yang punya 20 hektare kebun kelapa sawit di Sangatta (Kutai Timur, Kalimantan Timur) bernama Sudirman, serta pramuniaga keturunan Tionghoa di salah satu outlet dalam Pavilion, saya baru tahu bahwa perayaan Tahun Baru Imlek di Malaysia lumayan berbeda dengan di Indonesia, apalagi Samarinda.

Di Malaysia, libur Tahun Baru Imlek berlangsung selama dua hari, yakni Jumat (31/1) dan Sabtu (1/2). Menariknya, karena libur hari kedua jatuh pada Sabtu, maka pemerintah pun memberlakukan penggantian hari, yakni sampai Senin (3/2). Sehingga semua kantor pemerintahan maupun sebagian besar perusahaan swasta baru kembali beroperasi pada Selasa (4/2). Ini menjadi legalitas Harpitnas yang selama ini nyaring berkumandang di Indonesia, hahaha.

Jalan Alor
Jalan Alor

Meskipun demikian, momen libur ini tetap dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku sejumlah sektor usaha. Sebagian besar restoran di Jalan Alor misalnya, tetap buka dan melayani pengunjung pada malam Tahun Baru Imlek dan perayaan hari pertama. Para bos restoran ini mengerahkan para pekerjanya, yang rata-rata didominasi warga negara Myanmar (pantesan, waktu pesan makanan dengan bahasa Tionghoa, sang waitress malah cengo. Baru mudeng waktu pakai bahasa Inggris) untuk tetap mendulang Ringgit. Begitu juga tempat penjualan cenderamata—dengan cicik-cicik pramuniaga berbaju Cheongsam seksi dan agresif menggoda memikat pengunjung—yang berada dekat dengan lokasi wisata, seperti Batu Caves Pewter.

Businesses keep running. It’s big business in CNY. People goes to restaurant, eat their dinner, go to Genting, et cetera. The bosses can go back home, but the restaurant still open. Not everybody celebrates CNY,” celetuk Jin Hwa dalam perjalanan mencari tempat Thai Massage yang masih buka, sekitar pukul 00.30 Wita.

Gambaran ini menunjukkan perbedaan strata antara pemilik usaha dan pekerja. Meskipun sama-sama merayakan Tahun Baru Imlek, namun sang majikan masih bisa pulang untuk makan malam Imlek bersama keluarga. Sedangkan karyawannya, akan mendapatkan kompensasi pengganti momen hari raya yang hilang pada beberapa hari setelahnya. Sedangkan di Indonesia, apalagi Samarinda, para pemilik bisnis akan tetap meliburkan usahanya pada hari pertama Imlek. Untuk kemudian kembali buka dengan durasi singkat pada hari kedua sebagai syarat, atau baru boleh buka secara penuh pada hari keempat Tahun Baru Imlek, Selasa (4/2) lalu. Mitos ini masih berlaku sampai sekarang.

CNY-themed interior in Pavilion, Kuala Lumpur.
CNY-themed interior in Pavilion.

Situasi serupa juga terlihat di pusat-pusat keramaian. Di Pavilion yang selalu dipenuhi pengunjung maupun turis, Fahrenheit 88, Suria KLCC di bawah menara kembar Petronas, area bermain Sunway Lagoon, termasuk Genting Highlands yang terkenal dengan kasinonya. Kepadatan pengunjung juga dari warga Tionghoa. Bahkan pada hari pertama Tahun Baru Imlek (Jumat, 31/1), antrean SkyTrain atau kereta udara menuju Genting Highlands memaksa rombongan kami berdiri mengantre selama sekitar 45 menit. Padahal di jejeran pengunjung, sebagiannya adalah warga Tionghoa dengan beragam motivasi dan asal negara, termasuk Indonesia. Ada yang ingin bermain judi, tapi tak sedikit juga yang pergi bersama seluruh anggota keluarga. Mereka pun merayakan Tahun Baru Imlek di sana.

Queue to Genting SkyTrain.
Queue to Genting SkyTrain.

Bukan mustahil, pola perayaan Tahun Baru Imlek seperti ini juga akan dialami warga Samarinda. Pasalnya, saya menemukan setidaknya ada empat keluarga asal Kota Tepian Samarinda yang Imlekan di Negeri Jiran. Rata-rata tujuan mereka ke Malaysia adalah melewatkan momen libur panjang Tahun Baru Imlek dalam perayaan yang tidak biasanya. Makan malam Tahun Baru Imlek di restoran, lalu hari pertama Imlek dihabiskan di pusat keramaian maupun berbelanja, dan sebagainya. Karena itu, mereka pun berangkat sekeluarga.

“Ya habis gimana, keluargaku (yang di Samarinda, Red) pada ke Surabaya semua. Daripada sendirian, ya ke Malaysia sekeluarga,” kata Ricky, seorang kawan. Warga Samarinda yang tak sengaja bertemu di LCCT menuju pesawat yang sama, Minggu (2/2) lalu.

Di sisi lain, Tahun Baru Imlek memang hanya merupakan hari raya keagamaan bagi penganut Khonghucu. Selebihnya, momen ini menjadi hari raya sosial bagi warga Tionghoa pada umumnya. Sehingga, memang tidak ada aturan khusus untuk merayakannya, selama bersama keluarga.

Eventually, my first CNY abroad, wasn’t that bad after all. 🙂

新年快樂!

[]