Umat Buddha Samarinda: Sebuah Napak Tilas

26 July 2013

PADA awalnya, tidak banyak yang tahu tentang Buddha Sasana (Agama Buddha) di Samarinda. Warga hanya mengenal kepercayaan tradisional Tionghoa, dan bersembahyang di Kelenteng–yang kemudian menjadi Tempat Ibadah Tri Dharma–Tian Yi Gong/Thian Gie Kiong/Thien Ie Kong (天儀宮) yang sudah berdiri sejak lebih dari seratus tahun silam. Sampai akhirnya pada 6 Juni 1962, Ang Thin Siang datang. Ia adalah pemuda asal Tenggarong (kini adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara) yang menempuh pendidikan di Jakarta dan berusaha untuk mengembangkan Buddha Sasana di Kota Tepian.

Cara pertama yang ia lakukan adalah mencari dukungan dan rekan sepemahaman. So Kim Leng adalah orang pertama yang menunjukkan antusiasme. Ia menyambut baik kehadiran Ang Thin Siang dan mulai bersama-sama menumbuhkan semangat Dhamma dengan kerap melakukan puja bhakti.

Lantaran Samarinda belum memiliki cetiya (tempat puja bhakti, atau penghormatan) maupun vihara pada saat itu, puja bhakti pun terpaksa mereka lakukan dengan meminjam salah satu ruang di kelenteng. Namun puja bhakti tetap dijalankan dengan semangat, dan mampu mengundang lebih banyak orang untuk bergabung. Beberapa di antaranya adalah Goey Eng Tjiang, Thio Djin Tie, Ho Tjin Sin, Lie Gwan Hoey, Lim Pun Ho, Tan Sin Tjai, dan para sesepuh lainnya.

Tidak hanya kerap menggelar puja bhakti, mereka juga makin menguatkan posisi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya organisasi Buddhis pertama di Samarinda; Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudi), yang kemudian berganti nama menjadi Persaudaraan Upasaka-Upasika1 Indonesia (PUUI).

Akhirnya mereka pun menghadapi kendala pertama. Karena kesibukan aktivitas dan keterbatasan tempat di kelenteng, maka puja bhakti pun tidak bisa lagi diselenggarakan di sana. Menghadapi hal ini, So Kim Leng berinisiatif untuk meminjamkan kediamannya di Jalan Panglima Batur nomor 108 sebagai lokasi puja bhakti. Namun situasi ini tak berlangsung lama, hanya kurang dari setahun. Pasalnya, banyak umat yang mengeluhkan jauhnya lokasi kediaman So Kim Leng, mengingat konsentrasi penduduk kota Samarinda yang masih sangat kecil dan keterbatasan sarana transportasi kala itu.

Menghadapi masalah ini, Tan Sin Tjai pun menawarkan kediamannya, yang sebenarnya juga ada di Jalan Panglima Batur dan kini telah menjadi Jalan Mulawarman untuk menjadi cetiya. Sejak 1964, puja bhakti pun mulai aktif digelar di sana. Hingga kini, kediaman (almarhum) Tan Sin Tjai masih tetap berada di lokasi awalnya.

Perkembangan Buddha Sasana di Samarinda terus menunjukkan peningkatan. Apalagi dengan kedatangan tiga rohaniawan senior Agama Buddha di Indonesia, yaitu Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Bhikkhu Jinapiya, serta Samanera Jinagiri. Kunjungan mereka di Samarinda meninggalkan “kenang-kenangan”, berupa visudhi atau pengangkatan upasaka-upasika pertama kalinya di Samarinda kepada tiga orang: Lie Gwan Hoey dengan nama Buddhis “Kumuda Surya”, So Kim Leng dengan nama Buddhis “Kumuda Loka”, dan Oei Sum Eng dengan nama Buddhis “Kumuda Surya”. Ketiganya memiliki nama Buddhis dengan bahasa Sansekerta. Setelah peristiwa tersebut, tercatat makin banyak pemuda Samarinda yang bergabung dan aktif dalam kegiatan di cetiya. Beberapa di antaranya, seperti Lie Han Yang (Viriya Somanatta Surya), Ho Tong Min, Ang Po Liang (Pradjamukti Terang), Lie Sin Bin (Surya Putra), I Wayan Senata, dan Edy Fong.

Setelah itu, impian para pemuda Buddhis Samarinda untuk memiliki vihara sendiri pun akhirnya terwujud. Pada 1967, seorang pengusaha bernama Tan Tjong Tjim menyumbangkan tanah kolam (rawa) seluas 600 meter persegi. Lahan yang sebelumnya merupakan tempat pencucian rotan ini berada di Jalan Yos Sudarso Gang 2 atau kini menjadi Jalan Mulawarman Gang 1.

Tantangan pertama dalam rencana pembangunan vihara ini adalah penimbunan atau penutupan kolam di lahan tersebut, yang memerlukan volume tanah dalam jumlah besar. Untungnya, pada saat itu pemerintah sedang melakukan pembangunan parit besar-besaran di beberapa penjuru kota Samarinda, termasuk Jalan Panglima Batur kala itu, serta sejumlah daerah baru. Umat Buddha dipersilakan untuk memanfaatkan tanah galian itu guna menutup kolam.

Ada sejumlah nama yang tercatat ikut bergotong royong membantu proses pembangunan calon vihara pertama di Samarinda itu. Mereka di antaranya adalah Lukman, Sie Khun Lun beserta istri, pemilik toko Delfina, Go Swan Kim, Ibu Oma, Tan Siang Liang, Tan Siang Kui, Hamdi Winto, Go Kiang Lie, Lie Han Tiong, Lie Siu Lan, Lim Hui Bun, Wen Fu, Wen Sim, dan Frieda Lielawaty.

Setelah tanah berhasil diuruk dan kolam berhasil tertutup, lahan itu diberkahi oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita beserta Romo S Endro (kini Bhikkhu Jayamedho) disaksikan para pengurus dan umat. Setelah prosesi pemberkahan tersebut, dilanjutkan dengan visuddhi upasaka-upasika kepada lebih banyak aktivis dan umat Samarinda.

Para umat Buddha Samarinda, Buddhist in Samarinda taking a group picture.
Pemberkahan lahan calon Vihara Ekayana setelah rampung diuruk. (1967)

Setelah lahan siap digunakan untuk pembangunan, umat Buddha Samarinda menghadapi tantangan berikutnya, yaitu pengumpulan dana pembangunan. Untuk itu, sejumlah cara dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggelar bazar makanan dan minuman setiap minggu di kediaman Tan Sin Tjai. Pelaksanaan bazar dibantu oleh Thio Sui Kim (istri Tan Sin Tjai) dan para anak-anaknya. Dukungan juga ditunjukkan oleh kaum ibu, termasuk oleh Kumuda Ratna yang menyiapkan masakan vegetarian. Semua tampak bersemangat demi terbangunnya vihara pertama idaman mereka.

Dengan So Kim Leng sebagai pengawas sekaligus kontraktor, calon vihara pertama di Samarinda dibuat semipermanen dengan bahan kayu dan berlantai dua. Tahap demi tahap pembangunannya terus dijalani dengan sabar dan tekun. Penggalangan dana terus berlangsung, dan panitia pembangunan vihara pun menerima sumbangan bahan bangunan dari banyak pihak. Hingga akhirnya vihara selesai terbangun pada 1969, dan diberi nama “Ekayana” oleh Bhikkhu Girirakkhito yang berkunjung ke Samarinda. Nama “Ekayana” dipilih karena memiliki makna “Yang Nomor Satu” atau “Yang Pertama”.

Proses pembangunan Vihara Ekayana. (1967)
Bangunan utama Vihara Ekayana mulai terbangun. (1968)

Dengan berdirinya Vihara Ekayana, semua kegiatan terkait pengembangan Buddha Sasana di Samarinda pun makin fokus dan maju. Puja bhakti umum mampu diikuti lebih banyak orang. Kegiatan yang dilakukan pun bertambah banyak, termasuk pembinaan umat yang kian intensif hingga menyentuh anak-anak usia dini lewat Sekolah Minggu.

Umat Buddha Samarinda doing worship congregation.
Aktivitas puja bhakti di Vihara Ekayana.

Pada masa-masa awal berdirinya Vihara Ekayana, umat Samarinda kedatangan Kho Kheng Gwan (Silamukti) dari Jakarta. Bersama Paul Jamin dan Wira Jaya, mereka berdiam dan menjaga vihara sekaligus menciptakan beberapa lagu Buddhis.

Setelah itu, pada 1970, Samarinda juga kedatangan Bhikkhu Jinarattana yang pernah berdiam di Bangkok, Thailand untuk belajar dan memperdalam pemahaman atas Abhidhamma. Melihat kondisi umat di Samarinda, Bhikkhu Jinarattana sering menghabiskan masa vassa2-nya di Vihara Ekayana, membabarkan Dhamma dengan intensif dalam Kelas Dhamma (Dhamma Class), melakukan visuddhi upasaka-upasika, serta membantu pengembangan Buddha Sasana ke wilayah lain, seperti di Palaran dan Pulau Atas oleh sesepuh warga setempat, Sastro.

Aktivitas puja bhakti di Vihara Ekayana tak hanya oleh umat Tionghoa.

Perkembangan demi perkembangan umat Buddha di Samarinda terus terjadi. Pada 1972, Frieda Lielawaty berangkat ke Thailand untuk menjadi rohaniawati guna memperdalam pemahaman Dhamma dan Abhidhamma, serta makin banyak umat yang bergabung. Beberapa di antaranya, Widya Kusuma, Go Po Lian, Go Po Swan, Ching Mei, Thjin Sin.

Pada 22 November 1981, terbentuklah organisasi baru bernama Organisasi Pemuda Pemudi Buddhis Vihara Ekayana (OPPVE). Organisasi ini bertujuan untuk mempersiapkan generasi penerus sekaligus menghimpun kebersamaan di kalangan kaum muda. Sejumlah nama yang menjadi pengurusnya adalah Tommy DS, William Oey, Jenny Lo. OPPVE memiliki lingkup tugas dalam penyelenggaraan hari-hari besar Agama Buddha, bimbingan Sekolah Minggu, serta pembinaan bidang seni dan olahraga.

Perkembangan Buddha Sasana terus bergulir dalam ranah formal. Pada 1983, mata pelajaran Agama Buddha mulai diajarkan di sekolah. Frieda Lielawaty bertugas mengajar jenjang SMA, Ratna Chandra di jenjang SMP, serta Tan Siang Lie di jenjang SD. Dalam perjalanannya, para pengajar diwajibkan oleh Departemen Pendidikan untuk mengikuti kursus dan ujian persamaan yang digelar Departemen Agama Kaltim, agar memiliki sertifikat pengajar Agama Buddha dari Direktorat Jenderal Hindu-Buddha. Tercatat ada lima orang umat Buddha Samarinda yang mengikuti birokrasi ini, yakni Frieda Lielawaty, Lely Widyapadma, Tommy DS, Meiseni, dan Nely Nata. Kondisi ini makin memantapkan posisi Buddha Dhamma di Kota Tepian.

Tak hanya berkiprah dalam pengembangan Buddha Sasana di Samarinda dan Kaltim pada umumnya, umat Buddha Samarinda juga menorehkan sejarah dalam perkembangan Buddha Sasana nasional. Pada 1984, Bhikkhu Girirakkhito mendirikan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) pertama dengan So Kim Leng (Pandita Kumuda Loka Sogata) menjadi ketua. Kala itu, Walubi menjadi satu-satunya organisasi yang mewadahi umat Buddha di seluruh Indonesia, dan memiliki posisi sejajar dengan organisasi-organisasi umat agama lain di level nasional.

Pada era 90-an, dinamika umat Buddha Samarinda makin beragam. Kehadiran dua guru Agama Buddha asal luar Kalimantan, yaitu Padma Dhyana dari Cilacap, Jawa Tengah, dan I Putu Maryani dari Bali memberikan sumbangsih yang tak bisa disepelekan. Bersama para pengurus-pengurus yang sudah aktif sebelumnya, mereka makin membesarkan Buddha Sasana. Sampai akhirnya, Vihara Ekayana sudah dirasa kurang memadai untuk mengakomodasi semua aktivitas umat. Rencana untuk memiliki vihara baru yang lebih representatif pun dimunculkan.

Atong Wiweko, salah satu umat yang menawarkan lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi untuk menjadi lokasi berdirinya vihara baru yang lebih besar. Bhikkhu Uttamo pun memberikan respons positif terkait hal ini. Dengan sponsor utama Hero Widjaya dan didukung Agus Sulisthio, pada 1 Juni 1992 pun dilakukan peletakan batu pertama pembangunan vihara baru yang akan diberi nama Vihara Muladharma. Peletakan batu pertama berlangsung tepat pukul 08.08 dan 8 detik.

Setahun kemudian, pada 1 Juni 1993, Vihara Muladharma yang telah rampung pun diresmikan oleh Gubernur Kaltim, HM Ardans, dan disaksikan para anggota Bhikkhu Sangha Theravada Indonesia (STI). Pada saat itu, umat Buddha Samarinda tidak sekadar memiliki vihara baru saja, namun juga telah memiliki dua Pandita Muda asal Samarinda di bawah Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi) yang kini telah menjadi Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Mereka adalah Viriya Somanatta Surya dan Tommy DS.

[]

Keterangan:

1. Upasaka adalah sebutan untuk umat Buddha yang menyatakan tekad belajar dengan sungguh-sungguh.

2. Masa Vassa adalah waktu selama tiga bulan antara pertengahan Juli hingga pertengahan Oktober ketika India sedang mengalami musim hujan dan para Bhikkhu diharuskan menetap di satu tempat guna memberikan pengajaran atau melatih meditasi.

3. Bangunan Vihara Ekayana yang pertama telah diruntuhkan, dan diganti dengan bangunan permanen di lokasi yang sama sebagai Sekolah Budi Bakti dan Vihara Ekayana.