“Musiques du Royaume Perdu”: Serunya Sebuah Kolaborasi

13 May 2016

SANGAT susah untuk tidak tersenyum lebar saat mendengar “Sekar Manis” dilantunkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam pergelaran Kamis (5/5) malam pekan lalu. Apalagi setelah Hugues Primard dan Véronique Bourin, tenor-sopran dari kelompok musik tradisional Perancis: Doulce Mémoire ikut menyanyikan syair berbahasa Sunda sebagai latar pengiring Hendrawati Ashworth, sang sinden.

Ku lucu malati
Nu aya di taman taman sari
Hiur seungit nu geulis
Nu geulis putri mantili

Bayangkan saja, lirik tembang bernuansa Cianjuran di atas dinyanyikan indah lewat lidah français dalam acara “Musik dari Negeri yang Tlah Hilang (Musiques du Royaume Perdu); dari Keraton Sunda Sampai ke Kediaman Raja-Raja Perancis”, yang diselenggarakan Institut Français d’Indonésie (IFI) sebagai bagian dari rangkaian Printemps Français 2016.

IMG_0275
Saat membawakan judul-judul kolaboratif, anggota kelompok Doulce Mémoire ikut duduk dan bergabung dengan Maestro Musik Sunda.

Begitupula sebaliknya, saat “Je Vivray Liement” yang berirama riang dibawakan menjelang pengujung penampilan. Primard dan Bourin begitu ekspresif serta bersemangat. Menyebarkan atmosfer menyenangkan dari panggung ke seluruh auditorium, yang bisa dicerap secara gamblang bahkan oleh penonton awam sekalipun.

Dibandingkan 14 judul lainnya, kedua lagu itu seakan menjadi highlight utama dari pertunjukan yang berdurasi 60 menit tersebut. Pasalnya, kolaborasi tak hanya terjadi antarvokalis, namun juga antarkelompok. Selain antara sinden dan tenor-sopran, harmonisasi juga terjadi antara Miguel Henry (lutist: pemetik lute, gambus Eropa yang ujungnya patah mirip gitar Raja Dangdut) dan Dede Suparman (kecapi Sunda), serta antara Denis Raisin Dadre (flutist sekaligus pengarah) dan Yoyon Darsono (suling Sunda) dari kelompok Maestro Musik Sunda. Menyisakan Bruno Caillat pada perkusi dengan tambur dan tamborin bergemerincing.

Perpaduan terjadi di semua lini musik, menghasilkan karya yang ajek dan selaras tanpa peduli perbedaan budaya, ruang dan waktu, serta bahasa. Terlebih keduanya sama-sama diangkat dari seni masa lampau dua bangsa, yang katanya, ibarat mempertemukan era Kerajaan Pajajaran dan Renaisans dari rentang abad ke-14 hingga ke-16.

Sebagai seseorang yang baru pertama kali menyaksikan pertunjukan seperti ini, apalagi tidak paham bahasa Perancis dan Sunda, Musiques du Royaume Perdu cukup berkesan. Meski tetap saja, ada kurva emosi yang fluktuatif di sepanjang acara: pembukaan yang menyenangkan, agak mengarah ke membosankan di pertengahan, seru di pertengahan menjelang akhir, dan ditutup dengan rasa hangat. Dalam hal ini, pengalaman dan kesan setiap orang tentu berbeda.

Bagaimana kebosanan terbangun? Utamanya pada lagu-lagu berbahasa Perancis dan Sunda yang disajikan secara “à la carte”, serta terdengar agak mirip satu sama lain dengan komposisi standar: vokal+alat musik tiup+alat musik petik+perkusi (khusus untuk Doulce Mémoire). Selain itu, suara sinden terdengar agak lemah (bila dibanding sopran). Sehingga terkesan agak tenggelam saat membawakan lagu-lagu non-kolaborasi.

Dari 16 judul dalam playlist, separuhnya merupakan lagu-lagu non-kolaborasi. Beberapa di antaranya seperti “Colinetto”, “Pour Délaisser Tristesse”, “Padjajaran–Sinangging Degung” sebagai pembuka. Ada pula yang dibawakan secara back-to-back, seperti “Extalbo Te Domine” dan “Beauté Parée de Valour”. Selain itu, setidaknya ada lima judul yang dibawakan secara bersama-sama. Dua di antaranya telah disebutkan di atas, serta satu tembang bonus (semacam encore lah): “Es Lilin”.

Yang pasti, terlepas dari rentang segmentasi pendengar yang lumayan terbatas dan beraneka tantangan lain, pergelaran “Musiques du Royaume Perdu” berhasil mencapai tujuannya sebagai sebuah aksi kolaborasi seni. Ketika ragam dua budaya yang berbeda, diolah menjadi kesatuan yang indah.

IMG_0279
The last bow!

…dan akhirnya, bikin kembali terbayang tentang betapa kerennya kalau kolaborasi serupa juga terjadi pada musik Dayak. Atau setidaknya dengan petikan Sampek (alat petik tradisional Dayak) bersama genre lain yang tengah jadi primadona kekinian. EDM, misalnya.

Tak mustahil bisa menyusul keberhasilan YK Band, yang sudah sukses memilin musik tradisional Dayak dengan jazz kontemporer. Juga diiringi apresiasi bagi para kaum muda Samarinda yang selalu antusias bereksperimen dalam kolaborasi.

[]

Penampilan YK Band di Mahakam Jazz Fiesta (MJF) 2013

Salah satu penampilan kolaboratif November 2015 di Samarinda, ketika Sampek Dayak dan Synthesizer dimainkan bersama.