Marriage vs Social Insecurity

230
views

BILA muncul pertanyaan, “Apa tujuan dari pernikahan?” (baca: “Ngapaen nikah?”) Pasti ada beberapa jawaban yang sudah disiapkan.

Mungkin ini bisa disebut generalisasi, tapi ya berhubung rentang alasan (yang logis tentunya) terbatas pada poin-poin tertentu, kemungkinan jawaban yang bisa muncul ya seperti berikut ini,

  1. Sebagai perayaan atas cinta
  2. Sebagai legalitas ikatan cinta
  3. Sebagai legalitas persetubuhan (atau sederhananya, biar boleh ngewe)
  4. Sebagai legalitas berketurunan (karena konsekuensi alamiah dari persetubuhan yang sukses adalah pembuahan)
  5. Supaya keturunan yang dihasilkan menjadi penerus segala hal milik keluarga, secara legal
  6. Sebagai legalitas sosial (biar terbebas dari cibiran tetangga, dan sama seperti keluarga lainnya)
  7. Sebagai pemuasan ego pribadi maupun keluarga
  8. Supaya saat tua nanti ada anak dan cucu yang merawat dan menemani
  9. Membahagiakan orangtua, mumpung mereka masih ada

Hampir semua jawaban di atas dilontarkan dengan kesan insecurity. Hanya jawaban pertama saja, yang secara utopis menunjukkan pernikahan sebagai sebuah pernikahan, institusi penyatuan dua manusia yang saling mencinta, bebas dari rasa takut. Sedangkan jawaban-jawaban di urutan berikutnya muncul untuk mengantisipasi kekhawatiran dan hal-hal tidak menyenangkan atas pernikahan itu sendiri.

(1). Jawaban pertama saya anggap utopia, karena tidak semua orang bisa berpijak pada alasan tersebut dalam melakukan pernikahan. Bisa-bisa para pengusung alasan ini akan dianggap delusional, alias dimabuk cinta buta. Kalaupun ada, kebanyakan hanya menempatakannya sebagai letusan emosi, yang secara alamiah bisa luntur dan menghilang seiring berjalannya usia. Unless, time-proven.

Lalu bagaimana dengan jawaban-jawaban lain?

(2). Pernikahan sebagai legalitas ikatan, menunjukkan kekuatan cinta yang dianggap belum cukup untuk menyatakan kesungguhan hati dari kedua mempelai, sehingga harus dinyatakan sah secara hukum (yang diperoleh dari lembaga negara maupun lembaga keagamaan), dan secara sosial (yang diperoleh dari komentar para undangan resepsi). Dua sejoli merasa cinta dan bersedia saling mengikatkan diri karenanya, tapi masih berasa takut kalau kurang afdol tanpa seremoni, atau setidaknya pengakuan.

Di sisi lain, argumen ini bisa ditinjau dari sudut pandang etika atas gender sebagai sebuah jaring pengaman sosial. Do CMIIW, tapi hingga saat ini, wanita selalu dianggap sebagai kaum yang paling rentan dirugikan (merasa rugi, atau dipaksa merasa rugi oleh masyarakat) dalam hubungan dengan lawan jenis. Kelemahannya ada pada sensitivitas perasaan. Cinta tanpa legalitas ikatan, membuat sang wanita dengan mudahnya bisa ditinggalkan tanpa memiliki kekuatan formal yang cukup untuk menuntut. Dalam hal ini, kita nggak bisa memaksa semua wanita menjadi figur yang kuat dan sanggup untuk ditinggalkan, meskipun kaum pria juga bisa berurusan dengan kelemahan hati, dan ketakberdayaan ketika dicampakkan. Hanya saja, pria tidak akan bisa hamil dan melahirkan.

Ditambah lagi dengan adanya anggapan sosial (yang entah siapapun pencetusnya, namun berhak untuk mendapatkan serapah dari saya), bahwa marginalisasi gender membuat wanita lebih rendah dari pria. Itu menyebabkan wanita yang sudah pernah intim dengan seorang pria, dianggap  “has been used” [my apology for this phrase!]. Saya curiga, anggapan ini juga yang memberi makna khusus pada bagian kecil nan remeh dalam fisiologi alat reproduksi wanita yang dikenal dengan nama … hymen.

Sebaliknya, lawan dari wanita yang dianggap “has been used” tadi adalah pria yang dianggap “has been using”. Para pria ini kerap mendapatkan posisi istimewa di antara pria lainnya. Dianggap ahli; “The Expert”, “Womanizer”, “Sang Penakluk”, dan sebagainya. Kemudian, namanya juga manusia, cenderung melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, bahkan sampai muncul keserakahan, akhirnya pria-pria lain pun berusaha untuk bisa seperti pria yang tercatat “has been using” tadi. Lantaran “usage on progress” itu menyenangkan.

Jadi, pada intinya, penerobosan hymen atas dasar cinta, cenderung tidak akan membuat wanita mendapatkan perlakuan adil, setelah sang pria meninggalkannya.

Source: ih3.redbubble.net

(3). Pernikahan sebagai legalitas persetubuhan, masih terkait dengan argumentasi untuk jawaban sebelumnya. Menunjukkan bahwa manusia ingin melakukan persetubuhan tapi berasa insecure, mau tapi malu. Nggak ingin dianggap sebagai penyimpangan secara agama (sebagai zinah), secara normal sosial, maupun hukum positif (sebagai tindakan perkosaan atau mesum). Padahal cukup rendah, apabila institusi pernikahan yang harusnya berupa ikatan janji sehidup semati, sekadar dijadikan “tiket” untuk boleh menyetubuhi atau disetubuhi. Dalam poin ini, sekali lagi sangat disayangkan apabila entitas pernikahan dan keberadaan tuhan diletakkan tidak jauh dari perihal selangkangan.

(4). Pernikahan sebagai legalitas berketurunan, menunjukkan bahwa persetubuhan yang sukses akan menghasilkan manusia baru. Tapi, manusia baru tersebut baru dianggap memiliki derajat apabila orangtuanya adalah pasangan yang sah. Jika sebaliknya, manusia baru itu terpaksa harus menjalani hidup dengan cap “haram”. Insecurity atas manusia baru dan status yang bakal diembannya.

Rupanya, status orangtua berdasarkan ikatan darah, seringkali kalah kuat tanpa ada surat keterangan. Dokumen (sok) sakti yang bernama Kartu Keluarga itu hanya bisa dikeluarkan apabila dua nama di urutan teratasnya, memiliki Surat Nikah. Surat yang sama juga berkekuatan untuk membuat sang anak memiliki sertifikat kelahiran, yang seolah-olah menunjukkan bahwa apabila orangtua mereka tidak memiliki Surat Nikah, sang anak dianggap belum lulus menjadi seorang manusia baru seutuhnya.

Meskipun demikian, tinjauan mengenai hal ini terlepas dari urusan manajemen kependudukan. Seseorang yang memiliki Akte Kelahiran, nantinya akan memiliki kewarganegaraan. Agar hak-hak mereka sebagai warga negara lebih terjamin.

(5). Pernikahan yang dilakukan agar keturunan yang dihasilkan menjadi penerus segala hal milik keluarga secara legal, jelas memiliki dasar pemikiran yang terkait dengan argumentasi sebelumnya. Selama kematian seseorang meninggalkan warisan, tentu akan diberikan kepada keturunan dari yang bersangkutan. Kenyataan ini bisa dibenarkan sebagai sebuah pemikiran logis, walaupun menunjukkan dua sisi mata uang. Pertama, insecurity atas kondisi harta yang ditinggalkan nanti, yang seharusnya tetap tertera dimiliki oleh sebuah klan maupun keluarga. Kedua, insecurity atas masa depan orang-orang yang disayang. Dengan harta benda yang cukup, setidaknya mendiang bisa merasa tenang.

Khusus untuk poin pertama di atas, menjadi kunci dari praktik-praktik pernikahan transaksional. Dalam artian, pernikahan antara dua orang yang awalnya saling asing dan tanpa ketertarikan emosional, yang dilangsungkan lewat perjodohan demi aneka tujuan. Untuk bisnis, untuk perdamaian antarsuku, untuk perdamaian antarkeluarga, maupun untuk alasan-alasan non-cinta lainnya.

(6). Pernikahan sebagai legalitas sosial, berbeda latar belakang dengan alasan pernikahan nomor 2 (pernikahan sebagai legalitas ikatan), legalitas sosial lebih mengarah pada pengakuan atas keluarga mempelai. Menunjukkan bahwa mempelai dan keluarganya cenderung akan bebas dari cibiran dan lontaran mulut-mulut berbisa orang lain dalam satu lingkungan populasi. Konkritnya, para orangtua acapkali harus berhadapan dengan komentar bahwa mereka belum sukses menjadi orangtua, apabila belum mampu MENIKAHKAN anak-anaknya, sampai bisa menggendong cucu. Seolah-olah, anak-anak mereka wajar untuk diperlakukan layaknya potongan balok-balok Lego abstrak, yang bisa disusun-pasang-bongkar menjadi apapun sesuka hati mereka.

Padahal isi cibiran tersebut hanya bisa bikin kuping panas, untuk kemudian apakah ingin diteruskan ke hati biar meradang, atau dibiarkan menghilang, semuanya terserah kebijaksanaan si empunya telinga saja. Orang-orang yang bisanya cuma mencibir itu tadi, tidak punya hak apa-apa untuk memodifikasi kehidupan kita, kecuali kalau kita persilakan. Ini menunjukkan insecurity atas omongan orang lain.

Pengakuan sosial atas sebuah pernikahan juga menjadi hal penting, juga bila dipasangkan dengan parameter usia. Saya mengira, ini menjadi salah satu penyebab kegelisahan terbesar bagi para bujangan dan dara. Sampai pada akhirnya berujung pada istilah penyebab depresi; “Bujang Lapuk” dan “Perawan Tua”, sampai akhirnya muncul celetuk keterpurukan: “ya sudah deh, yang penting nikah.” Akhirnya pernikahan pun berlangsung hanya demi status, apalagi kalau yang mesti lewat jalur paksaan berupa perjodohan. Mau bagaimana lagi? Menerima perjodohan bikin hati tertekan, tapi menolaknya berarti akan tetap sendiri untuk rentang waktu yang masih menjadi misteri.

Belakangan, istilah “Bujang Lapuk” dan “Perawan Tua” lagi-lagi menunjukkan diskriminasi gender dan stigma sosial tertentu. Ada yang mengatakan [maaf, INI akan terdengar SANGAT TIDAK MENGENAKKAN]: “si itu Perawan Tua? Emangnya masih perawan?”, dan “biarin deh jadi Bujang Lapuk, yang penting punya barang sudah pernah dipergunakan.” Dengan kata lain, ini membuktikan posisi marginal wanita dibanding pria, terkait segitiga “anggapan sosial – urusan selangkangan – institusi pernikahan”.

(7). Pernikahan sebagai pemuasan ego pribadi maupun keluarga ini layaknya saudara kembar tidak identik dengan pernikahan sebagai legalitas sosial. Malah bisa disebut saling bertolak belakang.

Apabila pernikahan sebagai legalitas sosial menunjukkan kebutuhan atas pengakuan dari masyarakat, agar tidak dianggap aneh dan tak lazim, maka pernikahan sebagai pemuasan ego menunjukkan bahwa ada ada kepuasan semu yang dikejar dari pengakuan sosial tersebut. Dalam istilah sederhana, pernikahan agar bisa merasa eksis secara sosial. Atau lebih vulgar lagi, disebut pernikahan pamer dan gaya-gayaan.

Pernikahan dengan alasan seperti ini yang pernah bikin saya geli (dalam “Extravagant Wedding, Why Bother?”), lantaran mempelai dan keluarganya menggelar pernikahan untuk bisa merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Cinta, sebagai pondasi utama sebuah pernikahan, entah disembunyikan di mana. Digantikan dengan alasan “pokoknya aku harus nikah dengan dia! Soalnya dia ganteng, keren, kaya, bloon (?)“, atau “pokoknya aku harus nikah dengan dia, biar bisa terkenal,”, dan aneka alasan lainnya yang kerap dihadikan bagian cerita dalam sinetron Indonesia.

Kesan visual menjadi yang dipertuan dalam pernikahan dengan alasan seperti ini. Silakan dibayangkan, seorang cewek usia pasca-ABG (early 20 up to 25), merasa jadi seorang putri, bermimpi ingin menikah dengan sesosok “Prince Charming on White Horse”; cowok tampan berbodi atletis yang datang dengan “menunggang” mobil sport miliaran rupiah warna putih. Tidak lupa dengan hasil akhir “life happily ever after. The end.” Padahal realitasnya, sang Tuan Putri tadi tetap ingin menjalani hidup dimanja nan hedon, dan pernikahan tadi muncul bukan untuk menjadikan si pangeran sebagai kekasih, apalagi sebagai suami, melainkan sebagai pelengkap gaya hidup tadi. Biar bisa dipamerkan ke orang-orang, dengan harapan bisa bikin iri. Karena memiliki kehidupan yang jadi idaman semua orang, itu sebuah kebanggaan. Eits, jangan lupa, dalam resepsi pernikahan mesti dibuat sespektakuler mungkin, kalau perlu harus mengundang segerombolan orang penting (yang mungkin sebenarnya enggan datang), menghabiskan anggaran sampai sepuluh digit angka, serta tidak ketinggalan diekspose ke semua media.

Makin dipenuhi, kehausan egoistis seperti ini ibarat meminum air laut. Kian diminum, kian mendahagakan.

Kemudian, pertanyaannya, ke manakah sang cinta? Naif memang, tapi itu yang benar-benar dibutuhkan.

(8). Terakhir, pernikahan dilakukan agar keturunan yang dihasilkan bisa menjadi penjaga saat kita tua. Insecurity atas keadaan di masa depan. Takut bila saat tua nanti, kita menjadi sosok yang lemah dan tak berdaya, sehingga memerlukan perawatan dari orang-orang terdekat yang hangat, bukan sekadar dibayar untuk menjadi perawat.

Tapi jika dilihat dengan lebih seksama, banyak hal dalam kehidupan yang terus dilakukan hingga saat ini hanya gara-gara insecurity. Takut akan apa yang terjadi nanti, sampai-sampai melupakan bahwa di saat ini kita masih bisa melakukan yang terbaik.

(9). Ceritanya bisa berbeda, apabila para anak merasa harus menikah, untuk bisa membahagiakan orangtua mereka, mumpung masih ada. Seperti yang saya alami Senin (13/8) lalu, ketika ada seorang kenalan Papa bertamu ke rumah, dan mendadak bertanya: “mana nih temannya (baca: pacar)? Jangan lama-lama sudah, mumpung masih ada orangtua.” Pertanyaan sekaligus pernyataan ini menyayat hati, indeed. Dan saya tidak berani mengkritisinya.

Demikian ocehan saya tentang alasan atas muncul, berlangsung, dan bertahannya institusi pernikahan. Sebuah fase dalam kehidupan yang menguras pikiran, tenaga, sumber daya, dan perasaan. Berbeda dengan pernikahan pada hewan, yang kebanyakan dilakukan lantaran insting untuk bertahan dan bereproduksi. Sehingga kaidah dalam pernikahan dalam kerajaan hewan pun seringkali muncul tanpa alasan (setidaknya alasan yang bisa dimengerti oleh otak manusia). Semuanya terkait dengan insecurity, kekhawatiran atas masa depan, momen misterius yang hanya bisa ditebak-terka oleh manusia.

Disclaimer-nya, sampai saat ini, saya masih tidak tahu pasti bagaimana menjelaskan (sekaligus menerjemahkan) apa itu insecurity? Konsep yang pertama kali menyita perhatian saya ketika pacaran (untuk yang pertama kalinya juga). Tapi sedikit banyaknya semoga tergambar dari secuplik tulisan di atas tentang pernikahan.

Saya belum menikah, dan tidak anti dengan pernikahan. Jadi, bisa saja tulisan saya tentang “Wedding vs Social Insecurity” di atas dianggap bualan pemabuk belaka. Hanya saja, saya merasa bahwa sepertinya semua orang hidup dengan insecurity. Ia muncul dalam semua aspek kehidupan. Sejak mulai bisa menggunakan dan dikendalikan oleh perasaan, serta memiliki kemampuan berpikir dan berasumsi, insecurity menjadi bahan bakar utama kehidupan. Hingga akhirnya memunculkan konstruksi sosial, kultural, dan religius dalam aneka rupa.

Terakhir, saya mohon, jangan anggap tulisan ini dibuat untuk mendorong Anda untuk ragu, atau bahkan memutuskan tidak menikah. Namun perlakukanlah institusi pernikahan dengan baik dan patut, bukan untuk dianggap sekadarnya. Seperti kata seorang teman, bisa jadi setelah sebuah pernikahan dilangsungkan, semua alasan luluh, dan berubah jadi worthy; love.

[]

Tulisan lain yang bicara soal pernikahan:

Pranikah, Pranikah, Pranikah
Extravagant Wedding, Why Bother?

4 COMMENTS

  1. […] Dalam hal ini, seksualitas dan pernikahan jelas merupakan dua entitas berbeda, bahkan kadang-kadang terpisah lumayan jauh. Seksualitas sejatinya tak memerlukan pernikahan, namun pernikahan jelas membutuhkan seksualitas sebagai salah satu bahan bakar utamanya. Oleh sebab itu, terkait film ini, akan jauh lebih menarik membicarakan tentang seksualitas feminin ketimbang soal pernikahan, yang bisa dibaca di artikel ini. […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nineteen − 9 =