Madre

6 April 2013

CERITA yang menarik seringkali berawal dari sesuatu yang biasa saja. Dewi “Dee” Lestari membuktikannya dalam “Madre”, kumpulan cerita yang dirilis 2011 lalu dan langsung mendapat tempat khusus dalam jajaran karya sastra kontemporer Indonesia.

“Madre” sendiri merupakan cerita utamanya. Mengisahkan hubungan nyaris-absurd antara sebuah bekas toko roti tua Tan de Bakker; seorang pemuda yang memilih untuk hidup dengan filosofi antikemapanan; serta sestoples bahan utama pembuat roti yang diberi nama Madre (dalam bahasa Latin berarti ibu). Dengan gaya khas Dee, bahan roti itupun mendadak berubah menjadi sebuah objek kontemplatif spiritual, sekaligus pusat cerita yang tak bisa dimaknai secara ala kadarnya.

Kemudian, makin banyak pihak yang tersedot dalam pesona sang biang roti, termasuk Benni Setiawan yang dibesut sebagai sutradara “Madre” versi audiovisualnya. Kamis (28/3) lalu, sebagai seorang pembaca sekaligus penggemar cerita “Madre”, tentu saya penasaran, setidaknya ingin tahu seperti apakah bentuk Madre itu sendiri. Namun rasa keingintahuan tersebut tetap harus bersanding dengan kesadaran bahwa pada akhirnya saya harus siap menerima segala konsekuensi atas ekspektasi.

Dengan perlakuan produksi yang sama seperti pada “Rectoverso”, si empunya cerita tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan film “Madre”. Berikutnya, seperti yang bisa diduga, ada sejumlah perbedaan cerita dan pergeseran fokus yang terjadi antara “Madre” versi buku dan versi layar lebarnya. Meskipun demikian, ketidaksamaan ini tetap bisa menjadi nilai lebih, tergantung dari sisi mana Anda melihatnya.

Tansen (Vino G Bastian) yang gimbal, hobi berselancar, dan berdomisili di Bali, mendadak mendapatkan surat wasiat dari seseorang yang tak dikenalnya. Dengan urusan maklumat akhir hayat itu, ia bertolak ke Bandung untuk bertemu dengan segala hal yang asing: kehidupan di tengah kota, makam Tionghoa, bangunan tua bergaya Belanda beserta penjaganya, dan sebuah kunci yang entah berpasangan dengan lubang macam apa.

source: jakartavenue.com

Bangunan tua di Braga itu adalah bekas toko roti legendaris pada zamannya. Bernama Tan de Bakker atau yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai Tan’s Bakery. Di sana, Tansen bertemu dan dipandu satu-satunya penghuni bangunan, Hadi (Didi Petet). Dari pengenalan singkat itu pula, Tansen akhirnya tahu bahwa kunci yang diwariskan kepadanya adalah pembuka tempat penyimpanan adonan Madre, bahan utama seluruh roti yang pernah dan akan dijual di Tan de Bakker. Semua ini bermuara pada satu titah: Tan de Bakker harus kembali dibuka dan dijalankan oleh Tansen.

Dalam bukunya, cerita “Madre” berpusat pada Madre dengan Tansen sebagai lakon utamanya. Pembaca diajak untuk menyelami kegusaran serta mengikuti transformasi batin Tansen, kemisteriusan Madre, dan kebijaksanaan semesta dalam menciptakan keterkondisian. Sedangkan dalam filmnya, “Madre” tampil lebih “lazim”. Mengedepankan romansa penuh pengundang tawa antara Tansen dan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki). Dalam buku, Meilan hadir sebagai pemanis konklusi. Sedangkan dalam film, Meilan-lah yang menjadi konklusi manis. Sedangkan ikon-ikon penting lain, termasuk Madre, terkesan menjadi rambu pemulus jalan asmara Tansen-Meilan.

Di satu sisi, pergeseran ini memang tidak dapat dihindari. Secara komersial, romansa masih menjadi gula bagi para semut sinema. Di sisi lain, “Madre” dengan cerita aslinya yang penuh aura filosofis dan inner-insight bakal terasa cukup berat untuk menjadi tontonan remaja. Pun, belum tentu bisa dipahami sepenuhnya oleh para penonton (tanpa mengurangi rasa hormat). Dengan pergeseran ini juga, film “Madre” memang penuh adegan pemacu tawa maupun haru. Penonton dibuat geregetan dengan tarik ulur asmara Tansen-Meilan. Ini menunjukkan bahwa film “Madre” mampu diterima secara umum. Namun sayangnya harus berakhir dengan kesan yang nyaris biasa-biasa saja. Tipikal untuk cerita asmara.

Sementara itu, karena bisa dinikmati mata dan telinga, film “Madre” unggul dalam hal musik latar dan sisi artistik gambar. Pembaca yang dahulu hanyut dalam imajinasi, akhirnya dipuaskan dengan tampilan bangunan Tan de Bakker maupun rupa adonan Madre dalam stoples berdesain khas. Tak ketinggalan detail-detail kecil yang dihadirkan dengan cukup rapi pada sejumlah adegan krusial versi buku, termasuk urusan etnis yang menjadi salah satu ornamen penting dalam cerita ini.

Dari sisi pemain, Didi Petet dan Laura Basuki menjadi dua pencuri sorot. Aktor senior Didi Petet mampu tampil khas dan berkarakter. Santai, dan mampu menjadi Hadi tanpa terlihat berlebihan. Celetukan bahasa Sunda pun dilontarkannya dengan ringan dan pas. Walaupun tetap ada beberapa hal yang membuat tokoh Hadi versi buku jauh lebih dalam dari sekadar bekas pegawai Tan de Bakker yang jago membuat kopi dan rajin senam Taiji.

source: romantisuperhero.com

Laura Basuki tampil luar biasa manis dan membuat siapa saja jatuh hati. Ia memerankan Meilan dengan penokohan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan Meilan versi buku. Dengan pembawaan dan riasan yang tepat, Laura Basuki benar-benar tampil selayaknya seorang gadis muda Tionghoa Indonesia yang cantik, energik, pintar, dan terikat pada keluarga. Satu-satunya momen ketika saya merasakan interkoneksi antara dua versi tokoh ini, adalah saat Meilan menuturkan cerita tentang Yeye-nya (kakek dari pihak ayah).

Tak dapat dipungkiri, Vino G Bastian memang merupakan aktor yang piawai, termasuk sebagai Tansen dengan semua pernik fisiknya. Hanya saja, tokoh Tansen yang dibawakannya terasa sangat labil. Apakah itu merupakan tuntutan skenario atau tidak, pastinya ada pergeseran tindak tanduk antara Tansen versi buku dan versi film. Meskipun demikian, Vino tetap mampu mencuri hati penonton karena menjadi figur cowok yang hanyut dalam asmara. Dalam hal ini, Vino mampu mengusung romansa dengan baik.

Semua kondisi ini menjadikan “Madre” sebagai film yang menyenangkan untuk ditonton, baik oleh pembaca “Madre” maupun oleh mereka yang belum pernah mengetahui jalan ceritanya. Dengan kondisi ini pula, “Madre” kembali menambah daftar cerita karangan Dee yang sudah dan sukses difilmkan. Sebagai konsekuensinya, saya menduga ada makin banyak orang yang tak sabar menanti kelanjutan Supernova, maupun yang berharap ingin melihat versi layar lebarnya. Manusia memang makhluk yang tak mudah dipuaskan.

[]