Life of Pi

2 December 2012
4

“Faith is a house with many rooms.”

KUTIPAN ini adalah salah satu quote favorit saya dalam “Life of Pi”, film garapan Ang Lee yang diangkat dari novel berjudul sama.

Rasanya, tak berlebihan bila “Life of Pi” disebut sebagai film paling spiritual sepanjang 2012. Pasalnya, dengan taburan quote meditatif seperti di atas dan gambar-gambar yang indahnya tak bercela, “Life of Pi” menjadi film yang sangat memikat, memesona dan mengajak penontonnya merenung secara audiovisual tentang… Tuhan.

Meskipun demikian, sebenarnya “Life of Pi” hanya mengisahkan cerita sederhana tentang seorang bocah India bernama Piscine Molitor Patel (Suraj Sharma) yang menyebut dirinya, “Pi”.

Dalam perjalanan laut menuju Kanada, kapal yang ditumpangi Pi sekeluarga karam dihantam badai. Hanya Pi yang berhasil menyelamatkan diri ke perahu sekoci. Namun ternyata ia tak sendirian, karena harus berbagi perahu dengan seekor harimau dewasa dari kapal yang sama. Richard Parker, namanya.

source: guardian.co.uk
source: guardian.co.uk

Selama ratusan hari terombang-ambing di area penuh misteri, Pi menghadapi dua masalah besar dalam hidupnya; berusaha bertahan hidup di atas samudera, dan berusaha bertahan hidup dari sang harimau. Kisah ini, diceritakan ulang oleh Pi dewasa (Irfan Khan) dalam bentuk flashback.

“Life of Pi” yang dirilis sejak 29 November, baru tayang di Samarinda mulai Jumat (30/11) lalu. Sayangnya, tidak dalam format 3D. Padahal, bagian-bagian fantastis dari cerita Pi yang terapung di Samudera Pasifik disajikan dengan sentuhan teknologi yang luar biasa mencengangkan. Uniknya, efek visual yang disuguhkan terasa bukan sekadar untuk memanjakan mata, melainkan mampu memberikan kedalaman khusus dalam penghayatan ceritanya.

source: nerdreactor.com
source: nerdreactor.com

Keunikan lain dalam film berbiaya USD120 juta ini ada pada ekshibisi spiritualitas khas India yang menjujung tinggi keberagaman namun bebas dari penghakiman. Hal itu terlihat dari bagaimana Pi yang masih anak-anak, bebas bergelut dengan beragam “-isme” yang ditemuinya. Kemudian menerjemahkannya dengan gaya yang komikal. Sampai akhirnya ia harus berkonfrontasi dengan logika rasional nan skeptis dari sang ayah yang kebetulan memiliki pengalaman buruk dengan agama dan pernik-perniknya. Pertentangan itupun mengerucut kala Pi terjebak di lautan. Setiap gerak geriknya mampu diartikan sebagai wujud perenungan, melalui metafora.

Secara gamblang, ekspose spiritualitas tersebut memang menghasilkan adegan yang mengundang tawa, tapi berpotensi agak mengganggu kelompok penonton yang risi dengan spiritualitas yang moderat. Sebaliknya, poin ini justru akan terasa sangat menyenangkan batin kelompok penonton lain, yaitu mereka akrab dengan keluwesan spiritual semodel milik Rabindranath Tagore, Anthony de Mello, Osho, atau Anand Krishna yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, Ang Lee lagi-lagi menunjukkan dirinya sebagai sutradara kaliber dunia dengan citarasa yang istimewa. Pendongeng ulung.

source: sojo.net
source: sojo.net

Terlepas dari itu semua, kemampuan akting Suraj Sharma memang memiliki porsi yang besar untuk bisa mewujudkan sosok Pi seperti yang diinginkan. Padahal, film ini merupakan debut perdananya.

Film ini sangat direkomendasikan bagi Anda, para pecinta film yang kerap merenungi hal-hal transenden, kritis, maupun bagi para pecinta efek visual yang gila-gilaan. Yang pasti, tidak bakal ada adegan menari dan menyanyi penuh drama, seperti film India lainnya.

[]