Kultus Berlebihan Pada Bahasa/Bentuk Tulisan

9 July 2017
1

BARU beberapa menit yang lalu sebelum bikin tulisan ini, sempat ngetwit beberapa hal tentang kultus berlebihan pada bahasa dan bentuk-bentuk tulisan. Ketika banyak dari kita mengagungkan satu atau dua macam bahasa beserta tulisannya atas dasar keyakinan pribadi, jauh lebih tinggi daripada fungsi asalnya. Dari seperangkat media komunikasi hasil peradaban, menjadi simbol-simbol yang keramat dan berdaya supranatural.

Akibat terlampau mengagungkan bahasa dan bentuk-bentuk tulisannya tersebut, maka kita pun cenderung menempatkan bahasa dan bentuk-bentuk tulisan yang lain lebih rendah… dan secara disadari atau tidak, memengaruhi sikap sosial dan paradigma kita saat menjalani kehidupan.

Pembahasan mengenai hal ini tentu saja akan lebih sahih apabila disampaikan secara formal oleh praktisi dan akademisi di bidang Antropologi, Sosiologi Budaya, Linguistik, Teologi Umum, kajian-kajian agama dan tafsir kitab suci, serta beberapa bidang ilmu sosial lainnya. Barangkali setelah di-posting di sini, dari platform micro-blogging ke blogging, nanti ada yang bersedia berbagi referensi tentang diskursus ini.

Dimulai dari tweet ini.

Utas atau thread Moments di Twitter bisa dibaca di sini. Juga saya salin dalam posting-an ini supaya gampang dibaca.

  1. Waktu kecil, kira-kira kelas SD, dan pertama kalinya terpapar dengan tulisan Cina, pernah banget merasa kalau tulisan Cina itu “keramat”.
  2. Namanya juga bocah ya, “keramat” di sini mungkin bisa disamakan dengan perasaan kagum/takjub berlebihan tanpa landasan alasan yang kuat.
  3. Beberapa alasan kenapa menganggap tulisan Cina itu “keramat” kurang lebih karena:
    1. Bentuk tulisannya
    2. Cara menulisnya
    3. Komposisi
  4. Gara-gara perasaan “keramat” itu, jangankan waktu melihat lembaran kertas hu yang biasanya kayak di film vampir-vampir Sabtu siang…
  5. …waktu melihat pamflet obat Cina yang full tulisan saja berasanya sudah “whoa!” banget. Akhirnya pamflet disimpan, terus dikumpulkan.
  6. Makin banyak tahu ada berbagai jenis obat Cina, makin banyak juga pamflet yang disimpan. Berasanya kayak mengkoleksi pusaka. 😅
  7. Lucunya, alih-alih memahami apa yang tertulis, tulisan-tulisan Cina itu tetap diperlakukan macam koleksi berharga. Padahal isinya…
  8. …seperti petunjuk penggunaan, jenis gangguan kesehatan yang bisa ditangani pakai obat itu, kandungan, sampai nama produsen dan alamatnya.
  9. Misalnya obat gosok ini. Lengkap dengan “syair ganda”. Padahal mah artinya…
  10. Kanan: “Luka teriris, kena air panas, menghentikan pendarahan, mengurangi sakit.” Kiri: “Terkilir, (enggak paham apa), lebam, masuk angin.” 😂😂😂
  11. Setelah fase mengkoleksi leaflet obat Cina, berlanjut ke fase suka coret-coret menduplikasi bentuk tulisannya. Ada yang dimengerti, ada yang tidak.
  12. Sampai sekarang masih jadi kebiasaan, untuk menyibukkan tangan dan sambil mikir. Padahal mah kalau ngomong bahasanya, masih cetek. 😅
  13. Nah, entah benar atau keliru, fase-fase “mengkeramatkan” tulisan dan bahasa juga banyak terjadi pada orang-orang dewasa. Karena agama.
  14. Mohon diralat ya. Misal seperti beberapa ordo Katolik dengan bahasa Latin, Islam dengan bahasa dan tulisan Arab, Taoisme dengan Hanzi (漢字, tulisan Cina).
  15. “Pengkeramatan” bahasa dan tulisan seperti ini biasanya dilatarbelakangi perspektif tunggal; ada satu bahasa/tulisan yang terpilih/terunggul/termulia.
  16. …dan lagi-lagi, alih-alih memahami bahasa secara kontekstual dan memperlakukan tulisan sebagai pengganti bunyi, banyak yang mengkultuskan.
  17. Pandangan saya, mau pernah dituturkan oleh nabi/buddha/messiah/orang suci siapa pun, bahasa tetaplah produk budaya manusia. Berbatas konteks.
  18. Toh pada beberapa peristiwa ilahiah dalam tradisi agama-agama Samawi/Abrahamic, suara tuhan berbicara dengan bahasa pada masa itu.
  19. Buku-buku kumpulan sabda/firman yang bisa dikategorikan kitab suci pun disusun dengan bahasa pada periode tersebut. Oleh ahli kitab, manusia.
  20. Bayangkan saja, misalnya ada kitab suci dalam bahasa Xhosa, bakal banyak bunyi ketukan lidah, berdecak, dan lain-lain. Tetap saja itu bahasa Xhosa.
  21. Bukan berarti bahasa Xhosa adalah bahasa paling suci atau paling ilahiah di bumi. Seluruh penganutnya bertutur “tok” dan “ckck” saat ibadah.
  22. Jadi, saya agak merasa lucu kalau baca pernyataan seperti dalam tweet-war  ini.
    https://twitter.com/InfoTwitwor/status/882082487119237121
  23. Bagi agama Khonghucu, nama tuhannya adalah 天, dalam agama Hindu direpresentasikan dengan ॐ, dalam Islam yaitu الله, dalam Yahudi: יהוה.
  24. Dari 天, ॐ, الله ,יהוה. Keempatnya adalah tulisan suci bagi masing-masing agama, tapi pada hakikatnya, tetap tulisan. Bisa ditransliterasi. Bukan diterjemahkan ya, tapi dialihbahasakan.
  25. 天 – Tian (dibaca thien), ॐ – Oṃ, الله – Allah (dibaca aw-lah), יהוה – YHWH (Yahweh). Dikeramatkan sedemikian rupa pun, tetap saja semua itu adalah pembunyi.
  26. …dan dengan sikap “mengkeramatkan” bahasa dan tulisan ini, ya menurut saya enggak jauh beda dengan sikap takjub berlebihan pada anak-anak saat mendapati sesuatu yang sangat menarik. Silakan merujuk para prinsip “Mysterium tremendum et Fascinosum” dalam kajian ilmu agama.
  27. …dan karena saya ngetwit kayak begini, dan beberapa di antaranya menampilkan tulisan Allah dalam bahasa Arab, bisa saja ada yang tersinggung.
  28. Alasan tersinggung paling lazim adalah: memperlakukan tulisan pembunyi nama tuhan tersebut dengan tidak sepatutnya, alias penistaan. Hmm…
  29. Padahal, kembali lagi ke kajian teologi umum. Tuhan tidak perlu nama, manusia perlu nama tuhan dalam aktivitas religiusnya, begitu intinya.
  30. …dan sekali lagi, bahasa maupun tulisan adalah media untuk “membekukan” ide. Dari yang lisan menjadi tertulis, bisa dibaca lagi, bisa dipelajari, bisa dipahami.
  31. Bahasa dan tulisan sifatnya netral. Tidak tinggi-tinggi sekali, tapi juga tidak rendah secara alamiah. Saat dijadikan simbol, yo wes, bias.
  32. Coba deh, bagaimana jika di agama kalian masing-masing, nama tuhannya bukan seperti yang sekarang? Bisa berpikir seperti ini, karena… ya berpikir.
  33. Katakanlah, sosok guru dalam Buddhisme bukan disebut Buddha (ini bukan nama, tapi gelar), tapi “Anu”. Ya semua syair Buddhisme akan pakai “Anu”.
  34. Terus, dalam bahasa Indonesia, kata anu identik dengan “anu”, sampai genital sekalipun. Lalu, apakah Buddhis mesti ngamuk merasa terhina?
  35. Pasti ada saja Buddhis yang merasa risi dan terhina, tapi pada dasarnya, “Anu” dalam Buddhisme tadi berbeda dengan anunya Jawa. Hahahaha…
  36. Begitu juga dengan konteks “Cina” dan “Tionghoa”. Awalnya kedua kata itu netral, sampai salah satunya melekat dengan sentimen yang bikin risi dan mengganggu.
  37. Akhirnya, sempat ada gerakan Tionghoaisasi sebutan Cina. Kesannya grandeur gitu ya. Padahal Tionghoa itu dialek Hokkian. Bukan Mandarin, bukan sebutan dalam standar internasional.
  38. Ya pokoknya begitulah. Lebih baik satu syair pendek dipahami, dijalankan, dan memberi manfaat. Daripada seisi buku tanpa mengerti maknanya.
  39. Sebuah twit penutup. Sempat ketemu ini di Path dan Facebook. Harap jangan tersinggung, ini cuma soal bahasa/tulisan.

Kurang lebih demikian.

Sebagai ilustrasi, masih ingat dengan kehebohan penggunaan kata “Allah” dalam Alkitab di Malaysia? Ketika terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu tidak diperkenankan menggunakan sebutan “Allah” meskipun pelafalannya berbeda?

Berikutnya, baik Buddhisme maupun Hindu sama-sama menggunakan sebutan “bhagāva” (kurang lebih berarti; tuanku, junjungan pengabdian, atau Lord) baik kepada Buddha Gotama, maupun kepada figur dewata Hindu. Salah satu kitab suci terkemuka Hindu pun bernama Bhagavad-gītā, berisi syair antara Arjuna dan Krishna.

Kenapa bisa sama? Sebab bahasa adalah produk kebudayaan manusia.

[]