KBBI vs Kitab Ilmu Tajwid

520
views

KEMARIN (4/8) malam, ketika banyak orang terusik dengan kabar ledakan bom yang terjadi di Vihara Ekayana, Jakarta, timeline mendadak penuh dengan komentar mengenai insiden tersebut. Hampir semuanya berbicara mengenai kecaman, dukungan moral bagi umat vihara maupun umat Buddha Indonesia secara umum, analisis, dan perkembangan kabar. Terselip di antaranya, tweet Ko @Benhan berikut ini.

Komentar Ko @Benhan

Hal ini memang remeh, atau mungkin dianggap remeh. Tapi menarik untuk sedikit diteliti agar tak terus menerus dipandang remeh.

Sejak pewartaan pertama beberapa jam pascakejadian hingga beritanya terbit di koran-koran nasional, sebagian besar menggunakan kata “wihara” untuk mewakili bangunan tempat peristiwa. Karena itu, namanya pun menjadi “Wihara Ekayana”. Padahal, seperti isi tweet Ko Benhan di atas, dan seperti realitas yang ada dari Bireuen sampai Sorong (karena di Sabang dan Merauke tidak ada vihara), umat Buddha sendiri tidak pernah menggunakan kata “wihara”, melainkan “vihara” sebagai identitas tempat ibadah mereka. Meskipun pada dasarnya kata “vihara” tetap dilafalkan dengan “wi-hara” bukan “vi-hara”. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ternyata “wihara” menjadi kata yang baku.

Snippet of KBBI website
“Wihara” menurut KBBI

Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan: siapa yang salah secara kebahasaan?

  • Apakah umat Buddha Indonesia yang salah, karena tetap menggunakan sebutan “vihara” ketimbang “wihara”?
  • Apakah tim penyusun KBBI yang salah karena membakukan “wihara” sebagai kata serapan?

Terkait hal ini, saya mempertanyakan konsistensi tim penyusun KBBI dalam memperlakukan kata bahasa asing untuk diserap dalam bahasa Indonesia. Terlebih untuk kata-kata dalam bidang keagamaan yang kerap dirasa lekat dengan citra sakral, bahkan sejak dalam rupa asalnya.

Pada beberapa contoh, ada sejumlah kata dari bahasa asing bertulisan nonabjad latin yang komposisi hurufnya dimodifikasi (dan seringkali tanpa dikemukakan alasannya kepada publik), untuk kemudian dibakukan ke dalam bahasa Indonesia begitu saja.

Izinkan saya menggunakan istilah-istilah ini sebagai contoh.

Bentuk asli: “فقه”

Komponen: fa+qaaf+haa

Diserap dalam KBBI menjadi: “fikih” (fi-kih)

Pada contoh ini, memang hampir tidak ada perbedaan pelafalan antara kata dalam bentuk aslinya (huruf Hijaiyah) dan pelafalan dalam bahasa Indonesia. Namun bagaimana dengan contoh yang ini?

Bentuk asli: “صلاة”

Komponen: shaa+la+taa

Diserap dalam KBBI menjadi: “salat” (sa-lat)

Dalam bentuk huruf Hijaiyah, pelafalan istilah ini terdengar seperti: “sho-lat” atau “so-lat”, tidak pernah terdengar seperti: “syo-lat”, apalagi “sa-lat”. Lalu, dengan membakukan kata “salat”, apakah tim penyusun KBBI berharap semua pembaca kamus tebal itu adalah orang-orang yang langsung ngeh bahwa bentuk asli dari kata “salat” tersebut adalah “صلاة” untuk bisa melafalkannya dengan tepat? Di sisi lain, walau bagaimanapun juga, sebutan untuk aktivitas bersembahyang dalam tradisi Islam disebut dengan bunyi “sho-lat”, bukan “sa-lat”. Dalam hal ini, tim penyusun KBBI harus siap beradu argumentasi dengan para ahli tajwid.

Terkait dengan metode penyerapan kata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia SMP (atau SMA) dijelaskan bahwa ada empat cara untuk melakukannya: adopsi (contoh: motor-motor), adaptasi (contoh: accent-aksen), penerjemahan (contoh: mindset-pola pikir), dan kreasi (contoh: prototipe-purwarupa). Namun keempat cara itu sekiranya hanya cocok digunakan untuk bahasa asing dengan abjad latin, bukan dengan bahasa asing dengan model tulisan yang berbeda. Pasalnya, menurut saya, penyerapan kata bahasa asing dengan tulisan nonabjad memerlukan proses penerjemahan guna mengetahui makna, serta proses transliterasi, kemudian dilanjutkan dengan penyesuaian latar belakang agar kata serapan bisa lebih spesifik. Terlebih untuk kata-kata bernuansa religius.

Kini, apabila kita kembali ke kata “vihara” versus “wihara”. Saya menduga bahwa tim penyusun KBBI mentok pada tahap penerjemahan saja tanpa mempertimbangkan pendapat dari umat Buddha (terutama yang memahami bahasa Pali dan Sansekerta, dua dialek utama dalam semua literatur Buddhisme) saat membakukannya.

Bentuk asli: “विहार”

Komponen: vi+hā+ra

Diserap dalam KBBI menjadi: “wihara” (wi-hara)

Sebagai referensi. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, yang merupakan dua dialek bahasa India kuno sebagai nenek moyang bahasa Hindi modern saat ini, lafal aksara “व” atau “va” nyaris terdengar sama seperti “wa”. Ingat, nyaris sama, berarti tetap beda. Itu sebabnya nama dewa “Siva” tetap tertulis “Siva” atau “Shiva” meskipun dilafalkan “si-wa”. Karena walau terdengar seperti gabungan suku kata “si-wa”, nama sang dewa dalam bentuk aslinya tetap “शिव”, yang ditransliterasi menjadi “Śiva” dalam latin.

Di sisi lain, karena “va” dalam bahasa India secara umum terdengar seperti “wa”, tim penyusun KBBI bisa beralasan bahwa pembakuan kata “wihara” dilakukan karena penyesuaian bunyi. Jika demikian, mengapa “sho-lat” dibakukan sebagai “salat”? Juga bisa dibandingkan dengan pembakuan kata “tank” yang dilafalkan sebagai “teng”.

Contoh lain yang serupa dengan kasus “vihara”.

Bentuk asli: “भिक्खु”

Komponen: “bhi+k+khu”

Diserap dalam KBBI menjadi: “biksu” (bik-su)

Dalam kasus ini, tim penyusun KBBI sepertinya menganggap bahwa bhikkhu dan bhikṣu adalah figur yang sama: pemimpin spiritual Buddhisme. Padahal bhikkhu dan bhikṣu adalah tokoh yang tak sama, mulai dari penampilan mereka yang bisa dibedakan secara awam, ritual mazhab yang mereka jalani, bahkan sampai detail-detail kecil. Pembakuan ini membuat semua pemimpin umat Buddha yang memenuhi areal Candi Borobudur dalam perayaan Vesakh (yang lagi-lagi malah dibakukan menjadi “Waisak”) dipukul rata dengan sebutan “biksu”.

Setelah membaca tulisan di atas, tim penyusun KBBI atau otoritas pusat bahasa, bahkan siapapun yang non-Buddhis berhak meresponsnya dengan komentar: “apa pentingnya buat saya untuk tahu semua itu?” Pernyataan tersebut memang tidak salah, karena hal-hal keagamaan memang bersifat sangat pribadi dan eksklusif. Tapi ketika sudah dimunculkan sebagai bahan konsumsi publik semisal berita atau pengumuman, mengapa harus dibiarkan dalam bentuk yang tidak tepat?

Di samping itu, spesifikasi seperti ini juga saya anggap mampu menjadi media ringan yang bisa menanamkan semangat toleransi dan saling menghargai. Sekaligus demi tercapainya tujuan komunikasi. Karena percaya atau tidak, ketika kita mampu memerhatikan detail saat berkomunikasi dengan seseorang atau sebuah komunitas mengenai identitas mereka, maka kita pun bisa mendapatkan perhatian yang tak kalah hangatnya.

Lebih baik bukan?

[]

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 − three =