Kartini

22 April 2017

APAKAH ‘Kartini’ memang film untuk semua umur?” Pertanyaan itu yang muncul sesaat setelah lampu ruangan studio dihidupkan, Rabu petang lalu.

Tentu tidak ada salahnya bila “Kartini” sekadar dinikmati sebagai sebuah hiburan, atau dijadikan tambahan media pembelajaran sejarah bagi anak-anak. Untuk keperluan tersebut, Hanung Bramantyo dan serombongan orang yang terlibat dalam produksi film ini boleh dibilang cukup sukses. Tinggal nanti dibuktikan dengan total angka penonton sepanjang penayangan. Akan tetapi “Kartini” jelas bukan sekadar itu. Banyak refleksi penting yang tersisa dari film ini, memengaruhi sikap dan opini para penontonnya. Terutama mengenai kemanusiaan melampaui gender. Masih ada ruang untuk terus melakukan penajaman, bukan penggiringan.

Mengisahkan tentang sosok Raden Adjeng Kartini dari sudut pandang yang cukup berbeda dari buku-buku pelajaran dan sumber umum lainnya, film ini enggak cuma mengisahkan tentang sesosok pahlawan nasional wanita asal Jepara. “Kartini” adalah sebuah jendela, sumber konsepsi kemanusiaan yang saking dalamnya sampai-sampai tidak kelar didiskusikan maupun diperdebatkan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kembali ke pertanyaan pembuka tulisan ini, beragam pendapat dan pemikiran langsung berkelebatan dalam pikiran saya sekelarnya menonton “Kartini”.

  • Bagaimana seharusnya perempuan memandang diri sendiri dalam posisinya dalam struktur sosial (keluarga dan masyarakat)?
  • Bagaimana sebaiknya perempuan diperlakukan oleh orang lain, laki-laki maupun sesama perempuan, dalam struktur sosial (keluarga dan masyarakat)?
  • Apakah konsep “Keutamaan Perempuan” (female privileges) yang berjalan saat ini sudah tepat, atau malah rentan disalahgunakan?
  • Bagaimana sebaiknya meninjau konsep “kodrat” pada perempuan? Apa prinsip yang ideal untuk menyusun lingkup batasan mengenai kodrat hidup perempuan?
  • Terlepas kepada tuhan, perempuan sama seperti manusia lainnya yang mesti mempertanggungjawabkan kiprah hidupnya kepada masyarakat. Bagaimana sebaiknya perempuan menyikapi kekakuan maupun perubahan yang terjadi di masyarakat?

Setiap poin di atas memiliki persoalan turuannya masing-masing, yang tentu saja akan dimaknai secara berbeda oleh setiap penonton dari berbagai kalangan usia… yang belum tentu dapat dijawab dengan tepat oleh setiap orang.

Silakan dibayangkan. Ada anak-anak perempuan yang bisa bertanya kepada ibunya, mengapa Kartini dan para saudarinya harus melakukan mlaku dhodok dengan baik dan benar hanya untuk menghadap dan berbicara dengan ayahnya sendiri? Bertanya pula tentang pingitan, pengurungan dalam kamar.

Silakan dibayangkan. Ada remaja-remaja perempuan yang bisa  bertanya kepada ibunya, mengapa di film tersebut ada perempuan yang sudah menikah di usia 12 tahun, dan punya anak di usia 14 tahun? Sementara mereka, di usia yang sama, tengah menjalani kehidupan sebagai siswi sekolah menengah. Diasuh sebagai seorang putri, bukan mengasuh bayi-bayi.

Bisa juga muncul pertanyaan “Memangnya anak cewek boleh enggak menikah ya?” Setelah melihat adegan ketika Kartini (Dian Sastrowardoyo), Roekmini (Acha Septriasa), dan Kardinah (Ayushita) bersenda gurau dan menyatakan dengan gamblang: “Aku ndak mau menikah.” Meski kemudian diikuti dengan alasan tambahan: “Kalau bukan laki-laki yang kucintai, dan kalau sudah punya istri.

Mencoba untuk tidak seksis, anak dan remaja laki-laki pun tentu bisa punya pertanyaan-pertanyaannya sendiri atas apa yang mereka saksikan di layar bioskop. Justru dengan momen inilah, para laki-laki belia tersebut bisa diajarkan tentang posisi antara kedua gender; bagaimana memperlakukan perempuan dengan baik dan tidak berlebihan (secara positif maupun negatif); menyadari peran antara keduanya dalam struktur sosial; mengapa pernikahan itu begitu penting bagi masyarakat maupun si perempuan itu sendiri, termasuk mengapa ada orang-orang yang memilih untuk tidak menikah dan bagaimana sikap kita menghadapi pilihan pribadi tersebut.

Anda juga bisa memanfaatkan momen ini untuk menjelaskan tentang menjalani sebuah hubungan pacaran kepada mereka. Termasuk soal bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap aktivitas berciuman, berpelukan, bahkan yang lebih daripada itu 😅  But I’m serious. You can see the dots, can’t you? Dalam film ini, para priayi digambarkan lumrah beristri tiga dan empat, dan masih menjadi impian sebagian laki-laki untuk bisa seperti itu.

Diperlukan kebijaksanaan, kedewasaan, dan pemahaman yang baik untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan tepat, yang orang dewasa sekalipun seringkali masih kebingungan dibuatnya.

Sesungguhnya, ini menunjukkan begitu kuatnya “Kartini” sebagai sebuah karya. Tak sekadar untuk diiyakan atau ditolak, melainkan untuk dibahas dan menghasilkan kesepahaman yang apik bagi kemanusiaan.

Source: bookmyshow.com

Di sisi lain, kembali sebagai sebuah judul yang diproduksi sedemikian serius dan intens, “Kartini” adalah film yang serius dan menghibur. Serius, karena didasarkan pada sesuatu yang faktual dan memiliki efek signifikan bagi bangsa Indonesia. Menghibur, karena porsi drama, humor, tidak membosankan, dan kekuatan lakon setiap pemainnya benar-benar terkomposisi sempurna. Namun tetap dengan sejumlah hal-hal remeh yang mengganggu di sana sini. Salah satunya adalah, logat nJawani yang kurang pas. Terdengar lucu (that kind of “lucu”) dan aneh. Hahaha!

Dalam “Kartini”, ada banyak pelakon yang saya favoritkan lewat penampilan mereka. Sesuai peringkat, dimulai dari Christine Hakim, Dian Sastrowardoyo, Ayushita, Nova Eliza, Djenar Maesa Ayu, dan Deddy Sutomo. Di luar mereka, sosok Si Mbok yang sepertinya adalah seorang natural entertainer dan Pak Atmo.

Dalam “Kartini” juga, salah satu adegan yang cukup membekas adalah pengajian K.H. Sholeh Darat.

Beberapa hari sebelum menonton filmnya, saya sempat membaca catatan tentang interaksi antara Kartini dan Kiai Sholeh (meskipun tetap perlu dipastikan keabsahannya), dan efeknya sangat luar biasa. Ketika adegan tersebut mulai berputar di layar, tanpa sadar saya menyaksikannya dengan berbinar-binar. Tidak menyangka bagian cerita itu juga ditampilkan, dan menjadi salah satu titik kuat dalam film. ~~~ ah, mungkin subjektifnya saya saja.

Selain plot dan kekuatan cerita, ditambah dengan aspek-aspek produksinya, “Kartini” boleh dibilang merupakan salah satu film yang lebih seru diperbincangkan aftertase-nya. Benar-benar menjadi jendela yang dibuka, dan menunjukkan banyak hal menarik baru. Menyisakan pilihan untuk melangkah lebih jauh atau tidak pada masing-masing pribadi penontonnya.

[]