Jakarta Hati

11 November 2012

BERUPA omnibus berisi film-film pendek yang tak saling berhubungan, “Jakarta Hati” seolah menyajikan cerpen audiovisual yang memikat dan segar. Ada yang ringan dan mudah dicerna seketika, namun ada juga yang mengajak penonton mengambil jeda selama beberapa detik untuk meresapi apa yang baru saja dilihatnya.

Setiap cerita hadir dengan medan magnetnya masing-masing, menyedot perhatian dan penerimaan para penontonnya hingga menghasilkan peringkat favorit yang disusun di dalam hati.

Cerita berjudul “Orang Lain” memikat lewat interaksi antartokoh, sinematografi, dialog, dan musik latarnya. Serupa tapi tak sama dengan cerita berjudul “Dalam Gelap”, menunjukkan emosi yang intens tanpa perlu pengambilan gambar dari kamera kedua, ketiga dan seterusnya. Lain lagi dengan cerita berjudul “Darling Fatimah”, menyuguhkan penampilan Shahnaz Haque yang cemerlang sebagai seorang janda bermulut pedas tapi lugas.

Meskipun demikian, tidak semua cerita (terasa) dieksekusi dengan sempurna, terutama pada alur ceritanya. Seperti dalam judul “Masih Ada” yang menyisakan sejumlah tanda tanya: apakah ujung ceritanya memang dibuat tanpa kejelasan dan dibiarkan berakhir dengan beragam tafsir? Atau memang ada kepincangan yang tak sengaja sengaja.

source: indonesianfilmcenter.com
source: indonesianfilmcenter.com

Tanpa label judul yang dimunculkan di awal film, “Jakarta Hati” dibuka dengan cerita “Orang Lain”. Surya Saputra sebagai pria yang entah siapa namanya, duduk di meja pojok sebuah kafe, menikmati tegukan demi tegukan minuman keras sambil memain-mainkan sebuah cincin.

Di meja sebelahnya, ada Asmirandah yang juga menjadi tokoh tanpa nama, dengan segelas milkshake vanila, kemudian membuka cerita dengan dialog: “istri Anda berselingkuh dengan pacar saya.” Dialog berlanjut, cerita berkembang, sepenuhnya milik mereka berdua.

Cerita “Masih Ada”, dibuka dengan sosok Marzuni (Slamet Rahardjo), seorang anggota DPR-RI yang mendadak kelimpungan mencari kendaraan untuk pergi ke Senayan. Lewat arogansinya, ia bermasalah dengan seorang sopir taksi. Lewat arogansinya pula, ia merasa perlu memberikan penyuluhan singkat tentang mekanisme kerja DPR-RI kepada sekumpulan tukang ojek. Cerita ini berlanjut dengan dilema antara tas berisi uang korupsi dan nasib seorang bocah penyemir sepatu yang tertangkap ingin mencopet lantaran lapar. Sayangnya, cerita tidak berujung pada kejelasan. Marzuni mendadak menjadi tokoh utama yang tumpul.

Cerita “Hadiah” memberikan gambaran lain soal nasib segelintir warga Jakarta yang memilih berprofesi sebagai penulis freelance. Dengan uang pas-pasan, Firman (Dwi Sasono) harus menghadapi kenyataan bahwa idealisme profesionalnya tidak bisa membantu meramaikan isi dompet. Selembar di antara sisa yang ada habis dipakai membeli pulsa elektrik yang tak kunjung masuk, selembar lainnya habis dipakai membeli hadiah murahan (mau tak mau) untuk ulang tahun teman anaknya, yang ternyata adalah seorang anak orang kaya.

Cerita “Kabar Baik” melibatkan tokoh bernama Bana (Andhika Pratama), seorang polisi yang sangat jujur (terkesan imajiner, saking jujurnya), dan seorang penipu bernama Burhan (Roy Marten) dengan modus arisan berantai. Proses pengisian Berita Acara Pemeriksaan (BAP) berulangkali tersendat, lantaran sikap Bana sebagai seorang polisi ditanggapi dengan tindakan Burhan yang sok akrab seolah seperti seorang ayah yang baru pulang bertugas. Maklum, Bana dan ibunya sudah lima tahun mencari Burhan dengan penuh pengharapan. Kisah ini berakhir dengan… opor ayam yang dimasak agak banyakan.

Cerita “Dalam Gelap” menampilkan banyak ikon kekinian: pemadaman bergilir, BlackBerry yang baterainya sekarat, Twitter dan keluh kesah semu di dalamnya, hashtag #KelasMenengahNgehe, pembicaraan antara suami-istri yang tak bisa dihindari, serta kenyataan bahwa manusia masa kini rentan mati gaya tanpa gadget di tangannya.

Penonton diajak untuk menjadi hantu, atau cicak yang menempel di dinding sudut kamar, melihat dan mendengar aktivitas penghuninya dari satu angle saja. Di atas ranjang, ada sang suami (Dion Wiyoko) yang gelisah dengan tindakan berulang dan cenderung berlebihan, serta mengomel karena mati lampu. Di sisinya, sang istri (Agni Pratistha) pun mulai menimpali dengan celetukan sinis.

Interaksi penuh kalimat sewot dan sindiran itu berbuntut pada diskusi tentang kondisi rumah tangga. Mereka sama-sama terlibat perselingkuhan, bahkan saling mengetahuinya. Dalam kegelapan, baru mereka berani dan terpaksa membahasnya.

Cerita terakhir, “Darling Fatimah”, dengan mudahnya menjadi kisah yang paling memikat. Kapan sih Shahnaz Haque terakhir kali tampil di layar lebar? Tapi begitu hadir sebagai Fatimah, janda cantik penjual kue basah di Pasar Senen dengan tutur bahasa vulgar tanpa saringan, Shahnaz langsung tampil gemilang.

Sebagai janda cantik paruh baya namun dikucilkan keluarga besarnya, Fatimah terlibat hubungan penuh tarik ulur dengan Ayun (Framly Nainggolan), pemuda Tionghoa Indonesia yang sangat tunduk pada keluarga. Lewat kerangka hubungan yang mereka tunjukkan, dengan mudahnya cerita bermuara pada tuntutan Fatimah untuk memperoleh kejelasan. Di balik tutur bahasanya yang terdengar kasar, jelas tergambar kegusaran, sensitivitas, hati yang rapuh, rasa takut, dan kebutuhan emosional untuk diperlakukan layaknya seorang kekasih.

Interaksi antara jejaka keturunan Tionghoa yang kerap diteriaki “Shin-kek!” dan janda berdarah Pakistan yang ahli membuat Dadar Guling ini, sangat tepat dijadikan cerita penutup. Manis dan penuh senyuman.

Omnibus garapan Salman Aristo ini mulai tayang di Samarinda sejak Kamis (8/11) lalu. Dari jajaran pemain utama dan pemain tambahannya, pantas jika film ini disebut bukan film sembarangan. Beberapa nama tenar yang muncul sebagai peran pembantu maupun cameo seperti  Didi Petet, Agus Kuncoro, Herdin Hidayat, maupun Jajang C Noer. Namun sayang, ruang bioskop di Samarinda tak terisi sampai separuhnya. Padahal “Jakarta Hati” begitu menawan untuk disaksikan.

[]