Hoki: Rayakan Tahun Baru Imlek Sebagai Minoritas

Selamat Tahun Baru Imlek.
8 February 2016

Tulisan Iseng Semata

 

SEBAGAI bagian dari bangsa Indonesia, warga Tionghoa di negeri ini sangat bersyukur kala identitas dan eksistensinya kian diakui negara dalam hal kesetaraan dengan etnik lainnya. Dulunya, warga Tionghoa harus memiliki surat administrasi khusus, dianjurkan untuk tidak menggunakan nama Tionghoa, maupun mengganti nama toko dan merek dagang dengan bahasa Indonesia, termasuk soal menjalankan budaya leluhur.

Gara-gara perlakuan yang demikian, warga Tionghoa sempat dibuat merasa agak terasing. Menjadi minoritas, baik dalam hal jumlah maupun sikap sosial.

Untungnya, Tahun Baru Imlek sekarang sudah memberi markah merah pada kalender. Para pelajar pun tak perlu repot membuat surat izin tidak masuk sekolah untuk bisa merayakannya.

Perlahan tapi pasti, sebutan “minoritas” pun hanya cocok disematkan untuk urusan jumlah, dan tidak jadi masalah berarti. Justru dengan jumlah warga Tionghoa yang tidak terlalu banyak, ada sejumlah keuntungan yang bisa dirasakan. Terutama di kota-kota kecil macam Samarinda, yang tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, Medan dengan mayoritas warga Hokkien (福建), ataupun Pontianak dan Singkawang yang didominasi warga Khe (客家) serta Teochiu (潮州).

Dalam istilah bahasa Tionghoa, keuntungan-keuntungan tersebut adalah hoki (福氣). Berikut beberapa di antaranya.

1. Bebas antrean parah

Menjelang hari raya, tanpa terkecuali Tahun Baru Imlek, pasti banyak persiapan yang dilakukan. Termasuk juga cuci kendaraan baik motor atau mobil, cuci karpet maupun permadani, ketika para cowok harus potong rambut biar tampil keren, belanja keperluan dapur di supermarket, dan sebagainya.

Nah, berhubung Sin Cia atau Tahun Baru Imlek ini hanya dirayakan oleh warga Tionghoa yang minoritas dan jumlahnya sedikit, sehingga aktivitas-aktivitas di atas bisa dilakukan dalam waktu relatif normal. Alias tanpa antrean yang terlampau panjang.

Besoknya Sin Cia, hari ini masih bisa cuci motor atau mobil dengan durasi kurang dari 2 jam. Soalnya tidak berbeda dengan hari-hari biasanya. Enggak perlu tunggu lama-lama. Begitupun kalau potong rambut di gents’ barbershop atau tempat potong rambut kekinian khusus cowok, dan belanja di supermarket. Antreannya biasa saja. Berbeda dengan suasana menjelang hari raya mayoritas. Lebaran, misalnya. Ketika semua orang mau cuci kendaraan, semua orang mau cuci ambal permadani, semua cowok mau pangkas rambut, semua orang belanja bahan, dan lainnya. Antreannya perlu strategi.

Akan tetapi, kondisi bebas antrean di atas tidak berlaku untuk para cewek maupun ibu-ibu ketika nyalon. Soalnya, jumlah salon yang dianggap berkualitas tidak imbang dengan jumlah pelanggan. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk perawatan. Kalau cowok pangkas rambut, maksimal makan waktu 45 menit. Sedangkan cewek, bisa berjam-jam.

2. Bosen makan Chinese Food? Tenang aja

Ini juga merupakan salah satu keuntungan bagi para warga Tionghoa Indonesia yang minoritas, kala merayakan Sin Cia.

Pernah enggak sih, kamu merasa enek dengan sajian khas hari raya, karena dari satu rumah ke rumah lainnya pasti menyantap menu yang sama?

Lagi-lagi bila dibandingkan dengan Lebaran, kan santapan utamanya adalah ketupat yang disiram kuah bersantan dan sebagainya, kan? Tapi begitu pengin makan yang lain, enggak bisa. Sebab banyak restoran yang tutup karena Lebaran. Sehingga paling mentok ya makan Indomie atau KFC dan sebangsanya.

Beda dengan Sin Cia. Saat mblenger makan hidangan Tionghoa tipikal hari raya, termasuk yang kategori mewah sekalipun, seperti sate babi, babi panggang, dan sejenisnya, kamu tetap bisa cari warung nasi goreng, makan Coto Makassar, bakso, ayam bakar maupun lalapan, dan sebagainya. Nafsu makan aman sentosa.

3. Lebih Leluasa Incar Diskonan

Kalau yang satu ini, terjadinya di department store atau pusat perbelanjaan busana.

Biasanya, selalu ada momen diskon menjelang hari raya tertentu. Termasuk Tahun Baru Imlek. Akan tetapi, berhubung yang merayakan Sin Cia ini sedikit aja, jadi “persaingan” untuk mendapatkan baju yang diinginkan jauh lebih gampang. Hahaha!

Masih ada tambahannya lagi. Lantaran biasanya baju diskonan itu cenderung pasaran dan kurang keren, serta belum tentu cocok untuk badan cewek, peluang memilih yang benar-benar diinginkan pasti lebih besar. Tidak sedikit cewek-cewek warga Tionghoa sudah lebih dulu membeli baju baru buat Sin Cia, beberapa bulan sebelumnya. Pokoknya, terlihat ada yang bagus dan bernuansa merah cerah, pasti dibeli. Sebagai konsekuensi, si empunya baju harus mampu menjaga berat dan bentuk tubuh agar tetap bisa mengenakan baju tersebut saat Tahun Baru Imlek tiba.

4. Gampang Ngumpul, Gampang Akrab

Bagi kamu yang pernah merasakan, atau pernah mendengar tentang perayaan Tahun Baru Imlek sebelum tahun 2000-an, pasti tahu kalau suasana Sin Cia biasanya hanya terjadi dalam lingkup terbatas. Itu sebabnya, kemeriahan Tahun Baru Imlek hanya terjadi dalam rumah-rumah, maupun tempat-tempat umum khusus aktivitas warga Tionghoa seperti kelenteng maupun gedung yayasan warga Tionghoa.

Terbiasa berhari raya dalam suasana yang seperti ini, umumnya warga Tionghoa bisa berkumpul di satu lokasi. Kalau di Samarinda, tentu saja di Kelenteng Tian Yi Gong, depan Pelabuhan Samarinda pada malam Tahun Baru Imlek. Jika sudah berkumpul begini, kan interaksi dan komunikasinya bisa lebih enak. Enggak ketinggalan juga, bisa kenalan dengan temannya teman. Soalnya, jumlah yang minoritas mempermudah untuk saling mengenal. Siapa tahu cocok dijadikan gebetan. Lumayan banget, kan?

5. Tidak berisik

Sebenarnya, salah satu bentuk perayaan dalam suasana Sin Cia adalah menyalakan petasan atau mercon. Nyaring? Pastinya dong.

Hanya saja, lantaran perayaan Tahun Baru Imlek harus dilakukan secara tertutup dan terbatas selama masa Orde Baru, warga Tionghoa pun terbiasa untuk “lebih hening” dengan menghilangkan mercon dalam daftar perlengkapan perayaan Sin Cia.

Saat ini, Tahun Baru Imlek memang sudah diakui sebagai salah satu hari libur nasional. Untung saja, warga Tionghoa di Samarinda yang tidak terlalu banyak jumlahnya juga biasa-biasa saja menyikapi tentang mercon. Kalau tidak, dijamin pasti sangat berisik. Tetangga bakal terganggu, bayi-bayi jadi susah tidur, para orang tuanya pun ngedumel. Momen hari raya malah bikin orang lain sebal.

6. “Modal” Angpau Aman Terkendali

Ini khusus untuk warga Tionghoa yang sudah menikah, dan artinya harus menjadi pemberi angpau.

Informasinya, jumlah warga Tionghoa di Samarinda hanya berkisar antara 1 sampai 5 persen dari total penduduk kota ini (hampir 1 juta jiwa). Belum tentu semuanya saling terhubung atau berkerabat. Kecuali kalau bos besar, atau punya keluarga yang sangat gede, atau orang yang sangat terkenal, rasa-rasanya seseorang tidak perlu mempersiapkan sampai seratusan lembar angpau. Apalagi isi angpau juga tergantung pada inflasi. Hitung saja, kalau selembar angpau diisi Rp 50 ribu, berarti harus siapkan Rp 5 juta.

Dalam lingkup kota seperti Samarinda, bayangkan saja jika warga Tionghoa berjumlah 20 sampai 30 persen dari total penduduk. Logisnya, jumlah angpau yang perlu disiapkan pun lebih banyak.

Demikianlah enam hal yang seakan jadi blessing in disguise bagi para warga Tionghoa di Samarinda, yang sangat minoritas jumlahnya, dan selama ini (terutama saat rezim Orde Baru) kadung dibuat merasa terbatas.

Selamat Tahun Baru Imlek ya, semoga rezeki, kebahagiaan, dan kesehatan selalu berlimpah.

Gongxi, gongxi.

Fa da cai!

[]