Hello Goodbye

2 December 2012
4
source: viva.co.id
source: viva.co.id

DUA orang, sama-sama tenggelam dalam rutinitas.

Indah (Atiqah Hasiholan) berusaha melawan kebosanan dalam kehidupannya sebagai seorang staf KBRI cabang Busan, Korea Selatan. Sedangkan Abi (Rio Dewanto), berusaha sebisa mungkin menghindari daratan sebagai seorang penjelajah lautan.

Mereka dipertemukan keadaan lewat cara yang tidak terlalu menyenangkan; Abi sakit, Indah bertugas mengurusnya. Indah memang kerap ditugasi untuk mengurus orang-orang Indonesia yang berkunjung atau terpaksa bertahan di sana. Tak ubahnya seorang pengasuh, dan seringkali mirip seorang pembantu. Itu penyebab kebosanannya.

Dengan sikap yang datar dan cenderung judes, Indah harus berinteraksi dengan Abi yang tak kalah impulsif dan gampang marah. Indah hanya ingin tugasnya cepat selesai dan Abi pun bisa dipulangkan ke Indonesia. Sementara Abi hanya ingin segera kembali ke kapalnya.

Indah menganggap tugas ini tak jauh berbeda dengan tugas-tugas sebelumnya. Hingga entah sejak kapan dan bagaimana, interaksi di antara mereka mulai terasa berbeda. Pertemuan dianggap menjadi titik awal sebuah cinta. Waktu perpisahan yang dinanti-nantikan, malah berubah menjadi perhitungan mundur menuju patah hati yang seharusnya dihindari.

Indah: “Kamu jangan marah sama perpisahan. Memaki perpisahan, sama aja kamu mengutuk pertemuan.”

Sesederhana itulah “Hello Goodbye” menyuguhkan ceritanya. Halus, ringan dan bebas tekanan. Tanpa atribut berlebih, film yang seluruh adegannya diambil di Korea ini menjadi hiburan yang pas bagi banyak orang, baik mereka yang sedang kasmaran, mereka yang suka berada dalam keheningan, atau mereka yang suka diam dan cenderung hanya mengamati keadaan.

Satu jam pertama, “Hello Goodbye” hanya menyajikan pengantar. Kemarahan dan lecutan emosi yang ditunjukkan salah satu peran, ditanggapi oleh lawan mainnya untuk kemudian menguap dan hilang. Juga penggambaran kehidupan Indah sebagai seorang staf KBRI, yang dikelilingi orang-orang tanpa minat berlebih atas kehidupan orang lain. Menariknya, durasi yang relatif panjang untuk sekadar penegasan cerita ini, tetap bisa dinikmati dengan santai dan tak perlu ditanggapi dengan keluhan. Kecuali jika Anda adalah orang yang gampang bosan.

Setelah konflik mulai menanjak, penonton kembali diajak untuk menikmati gejolak emosi yang ditunjukkan dalam suasana yang tak sama. Persepsi penonton ikut bertumbuh seiring perubahan emosi dari lakon-lakon di dalamnya, memberikan kesan berbeda untuk menikmati sisa film. Kalimat serta mimik dari Abi dan Indah, terasa jauh lebih hidup. Penonton pun dengan mudahnya dibuat tergelak, tersentuh, mengaduh, dan mengasihani.

Selain itu, ada banyak adegan jarak dekat yang menawan hati. Titien Wattimena, sang sutradara, mampu mengekspose kegundahan Indah dengan lugas, bahkan tanpa menggunakan line sekalipun. Bisa dibilang, gambar-gambar close-up dalam film ini merupakan aset berdaya tarik tersendiri. Seperti biasa, Atiqah tetap terlihat cantik, walau tanpa riasan yang… seperti biasanya. Chemistry Atiqah dan Rio yang terasa tak biasa, konsisten intens. Meskipun dalam beberapa bagian, kemampuan Atiqah jelas-jelas mengungguli kekasihnya.

Meskipun demikian, tetap ada yang terasa mubazir: penampilan Eru. Kemunculan Eru memang mampu membuat penonton kaum hawa seisi ruangan bioskop terkesima, hanya karena wajah, line yang tak lebih dari tiga kalimat, dan suaranya. Kemunculan Eru, secepat kepergiannya. Muncul, bicara, menyanyi (yang bahkan tak utuh satu lagu). Begitu saja, dan tak banyak berkontribusi dalam cerita.

Kekuatan lain dari film ini adalah puncak konflik pada bagian akhir cerita. Ketika Abi menceritakan sebuah analogi yang menyentuh kepada Indah. Adegan ini ditutup dengan animasi cantik yang memberikan kesan menyenangkan.

Sebagai catatan, jangan beranjak dari tempat duduk sebelum animasi credits title (sayang, saya lupa nama ilustratornya) berakhir. Ada kejutan manis sesudahnya.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.