Fant4stic (Fantastic Four)
JADI semacam satu kesepakatan tidak tertulis di antara sesama penikmat film, mulai yang sekelas kritikus andal sampai penonton suka-suka seperti Yours truly, sama-sama merasa perlu bahkan harus mem-bully “Fant4stic” yang dirilis pekan ini. Saking seriusnya, sampai muncul gerakan petisi yang menginginkan agar hak produksi cerita Fantastic Four dikembalikan dari “Rubah Abad 20” ke Marvel.
Bukan tanpa alasan, dorongan itu muncul sebagai bentuk kekecewaan atas hasil adaptasi ulang figur komik Marvel oleh Josh Trank, bentuk interpretasi yang terasa lancung, entah sesuai atau tidak sesuai keinginan sang sutradara “Chronicle” (2012) tersebut. Ada banyak hal meleset dari ekspektasi publik bahwa “Fant4stic” bisa lebih baik, atau setidaknya menyamai aftertaste “Fantastic Four” garapan Tim Story satu dekade silam. Selain itu, ada terlalu banyak sumber daya dan potensi yang tersia-siakan.
On the slightest view, sungguh bukan sebuah masalah jika Josh Trank–atau tim produksinya–menganggap beginilah seharusnya empat sekawan super Fantastic Four ditampilkan. Sebab tidak sedikit penonton menilai bahwa cerita yang disuguhkan dalam “Fant4stic” merupakan sebuah prolog, jembatan menuju kiprah Fantastic Four–versi dia–ke depannya. Ketika Reed sudah menjadi doktor, dan tiga figur lainnya sudah nyaman dengan identitas baru mereka. Akan tetapi, lagi-lagi blunder para penyusun plot, setting awalnya saja tertera berlangsung pada tahun 2007 dan beranjak ke tujuh tahun kemudian. Sehingga memosisikan penonton berada dalam situasi semasa. Sepele memang, tapi lumayan mengganggu.
Berbeda dengan “Fantastic Four” yang dibintangi Ioan Gruffudd, Jessica Alba, Chris Evans, Michael Chiklis, dan Julian McMahon, “Fant4stic” memang menampilkan pemain-pemain muda. Yakni Miles Teller (Reed Richards), Kate Mara (Susan Storm), Michael B Jordan (Johnny Storm), Jamie Bell (Ben Grimm), dan Toby Kebbell (Victor Von Doom). Anehnya, film berbujet USD 120 jutaan ini malah terkesan suram, pretentiously upsetting, diberat-beratkan namun jatuhnya hambar, dengan konklusi yang terasa seperti kudapan anak SD: garing, angin doang, banyak MSG. Saking suramnya, sampai-sampai tidak ada satu bagian pun yang cocok bagi para lakon untuk mencetuskan sebutan Mr. Fantastic bagi tokoh Reed Richards, karena bakal terdengar konyol dan merusak suasana.
Mengapa lebih tepat sebagai prolog saja? Pasalnya, Josh Trank terlampau fokus menjelaskan informasi-informasi awal soal Fantastic Four, kemudian sibuk membuat agar penjelasan-penjelasan itu terasa lebih serius. Ketika penonton digiring untuk mengetahui riwayat tokoh Reed, Ben, Victor, Johnny, dan Sue. Ya, demikianlah urutannya. Menjadi semacam elongated introductions, which is lame. Begitupun dalam peningkatan klimaks cerita hingga selesainya masalah, saat Victor menjadi musuh mereka dan dunia, untuk alasan yang kurang jelas dan lebay. Ada lagi, ketika sebutan Central City baru diperkenalkan sebagai sebuah julukan.
Selajur dengan itu, action sequences yang ditampilkan di sepanjang film relatif seret. Dalam hal ini, kesempatan pertama untuk mengekspose kekuatan diberikan pada Ben (The Thing, dengan tampilan yang untungnya lebih realistis, tanpa perlu bercelana, dan lebih keren dibandingkan versi sebelumnya), lalu ekskalasi intensitas terjadi mengikuti irama cerita. Adegan-adegan laga dengan CGI sebagai “nyawa” pun ditampilkan sekadarnya. Padahal, apa sih yang diharapkan kebanyakan penonton “Fant4stic” selain atraksi para bintangnya?
Terlepas dari apa pun politik, intrik, pertikaian, dan ketidakcocokan yang terjadi di belakang layar produksi, demikianlah “Fant4stic”, yang lumayan gagal. Kendati tetap tidak “diharamkan” untuk ditonton, on Your consent.
[]
Artikel ini juga dimuat di Undas.Co, situs andalan Samarinda. 🙂