Fangsheng dan Kesalahannya

29 August 2014
7
Fangsheng di Vihara Muladharma, Samarinda. 20 Juli 2014
Fangsheng di Vihara Muladharma, Samarinda. (20 Juli 2014)

AKTIVITAS itu disebut Fangsheng (放生), yang secara harfiah berarti melepas makhluk hidup. Yakni ketika kita menebus atau membeli hewan, untuk kemudian membebaskannya kembali ke alam.

Kita kerap melihat aktivitas ini dilakukan pada beberapa kesempatan, populernya berupa pelepasan burung di lingkungan vihara maupun kelenteng, atau pusat-pusat kegiatan warga Tionghoa.

Fangsheng bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Baik secara religius, maupun sosial budaya. Lengkap dengan sejumlah kesalahkaprahannya selama ini.

Dalam perspektif Buddhisme, Fangsheng juga dikenal dengan sebutan Abhaya Dāna. Maknanya pun lebih dalam; “memberikan kebebasan dari rasa takut”. Abhaya Dāna bukan merupakan sebuah ritual, lelaku, upacara, maupun ibadah. Tidak ada kewajiban bagi umat Buddha untuk menjalankan Abhaya Dāna, karena aktivitas ini memang sepatutnya dilakukan tanpa perintah siapapun. Melainkan sebagai kebajikan berupa empati dan iba dari dalam diri sendiri, kala melihat penderitaan makhluk lain–hewan–yang terperangkap, terluka, lemah tak berdaya, bahkan menjelang kematiannya. Kita membantu hewan tersebut bebas dari bahaya, membuat mereka bisa hidup lebih lama.

Abhaya Dāna juga merupakan wujud pelaksanaan dua dari sifat empat luhur yang harus dimiliki manusia, yakni Metta (welas asih) dan Karuna (kasih sayang) kepada semua makhluk, dimulai dari hewan, makhluk metafisik, dan sesama manusia. Dengan demikian, Abhaya Dāna tidak didasari niat-niat lain, seperti memohon sesuatu atau nazar agar terbebas dari masalah. Tidak pula hanya untuk menimbun kamma baik. Termasuk untuk dijadikan pelarian psikis atas rasa bersalah dan perasaan negatif lainnya. Meskipun memang bisa memberi dampak baik secara terapeutik. Coba saja bandingkan semua niatan-niatan tersebut dengan aktivitas kelompok penyayang satwa, yang menemukan hewan yang terluka, merawat, lalu melepaskan kembali ke habitatnya dengan perasaan bahagia tanpa berharap apa-apa. Dengan alasan yang sama, perbuatan sederhana menolong hewan kecil yang tak berdaya juga bisa disebut Abhaya Dāna, semisal menolong seekor semut yang terjatuh ke dalam gelas dan berusaha tidak tenggelam.

Sedangkan bila ditinjau dari sudut pandang sosial budaya, Fangsheng menjadi tradisi transaksional dengan pola pikir khas paganisme Tionghoa. Bahwa melepaskan makhluk, sama seperti memberikan persembahan di altar dewata; Fangsheng bakal mendapat ganjaran.

Logika inipun akhirnya menjadikan Fangsheng sebagai seremoni. Titik beratnya ada pada kelancaran pelaksanaan, dan jumlah sumber daya yang dihabiskan untuk menyelenggarakannya. Seolah kekurangan sekecil apapun, bisa berdampak pada upacara yang tak sempurna dan keinginan yang tak bakal terlaksana. Sehingga niat pelaksanaan berbeda dengan Abhaya Dāna, yang benar-benar bertujuan untuk kebahagiaan makhluk lain.

Beberapa aspek penting dalam kelancaran pelaksanaan Fangsheng adalah jumlah hewan yang akan dilepaskan, dan harga yang dibayarkan. Dan untuk memastikan agar hewan yang bakal dilepas berjumlah cukup, penyelenggara pun tak sungkan-sungkan memesan kepada penjual, pemburu, atau siapapun yang siap menyediakannya. Padahal, memesan berarti meminta hewan untuk dikumpulkan, yang ironisnya ditangkap untuk kemudian kembali dilepaskan. Sebuah kebohongan yang konyol.

Realitasnya, banyak pelaku Fangsheng yang sebenarnya Buddhis, namun berpikiran dengan logika tradisional Tionghoa. Akhirnya, serba overlap. Kesalahan terus terjadi tanpa disadari. Membuat niat tulus berujung sia-sia.

Terungkap saat mendatangi salah satu kios penjual hewan. Beragam jenis burung “terpenjara” rapi dalam kandangnya masing-masing. Mereka memiliki daya tarik tersendiri. Ada yang bersuara nyaring dan merdu, ada pula yang memiliki keindahan warna bulu. Anehnya, salah satu kandang diisi hampir seratusan ekor burung yang terlihat biasa-biasa saja.

Oh kalau itu namanya burung Karuang sama Croco,” kata–sebut saja–Ln, perempuan pemilik salah satu kios tersebut.

Kandang burung Karuang dan Croco di kios hewan.

Sekilas diamati, Karuang (Alophoixus bres) dan Croco (Pycnonotus goiavier) atau yang juga kerap dikenal sebagai Troco, Trucuk, Trucukan, maupun Cerukcuk ini memiliki bulu bagian atas berwarna cokelat. Sedangkan bulu bagian bawahnya abu-abu, dengan sedikit area bulu kekuningan di belakang kaki. Di dalam kandang berukuran sekira 110 x 50 x 50 cm, bulu mereka tampak tidak mengilap. Selain itu banyak yang susunan bulu sayapnya tidak rapi, terkesan berhamburan, serta kotor. Berbeda penampilan dengan Gelatik yang berada di kandang atasnya. Suara burung-burung itupun tak terdengar menonjol, hanya kicau biasa.

Biasanya orang-orang Cina suka beli burung ini kalau sembahyangan. Buat dilepas lagi,” jelasnya.

Ln mengisyaratkan permintaan terhadap kedua jenis burung tersebut relatif tinggi di kota ini. Pembelian bisa dilakukan secara perseorangan maupun kolektif, dengan jumlah sedikit atau banyak. Apabila Anda tidak tahu harga, maka seekor burung dijual Rp 10 ribu. Namun bila sudah menjadi pelanggan tetap atau membeli dalam jumlah banyak, harga bisa dipangkas sampai separuhnya.

Biasa sebulan itu minimal seratus (ekor). Paling tinggi ya 200. Tapi kadang bisa lebih, tergantung bulannya,” beber Ln.

Karena itu pula, para pemburu pun selalu rajin menyetor hasil tangkapan mereka.

Selalu ada yang antar ke sini kok,” cetus Ln singkat.

Ln memastikan kiosnya sanggup memenuhi permintaan.

Kalau mau belinya banyak, bisa pesan dulu sehari sebelumnya. Nanti disiapkan kardus atau pinjam sangkar besar dari sini, untuk dibawa ke lokasi kegiatan. Biasanya juga setelah dilepas sangkarnya dibawa kembali,” kata Ln sebelum menutup pembicaraan.

Selain Ln, ada beberapa kios lainnya di sana yang juga menyediakan burung untuk tujuan sama. Bahkan kandang untuk burung-burung tersebut dibuat khusus lebih besar dibanding burung jenis lain.

Dari pernyataan ibu tersebut, berarti masih banyak orang yang memesan burung untuk di-Fangsheng. Biasanya untuk dilepas pada hari dan tanggal tertentu, seperti ulang tahun, hari jadi, dan sebagainya.

Fangsheng ikan lele ke Sungai Mahakam secara massal dalam rangka Vesak 2014. (15 Mei 2014)

Secara pribadi, karena kondisi seperti ini, saya lebih memilih untuk Fangsheng ikan air tawar. Lantaran ikan-ikan tersebut ditangkap untuk tujuan konsumsi, bukan maksud lainnya. Selebihnya, karena bagaimanapun juga para pedagang ikan akan menyetok, sehingga tersedia dalam jumlah yang relatif cukup. Ikan pun cenderung lebih mudah didapatkan tanpa permintaan sebelumnya, dan bisa dibeli dengan spontan. Hanya datang ke pasar, lihat, beli, ambil, bawa pergi. Sudah. Meskipun pada dasarnya, Fangsheng bisa dilakukan untuk semua jenis hewan, termasuk yang tergolong berbahaya sekalipun. Tentu dengan mempertimbangkan keamanan dan lokasi pelepasannya, agar tidak berbahaya bagi orang lain.


Agar tidak terjadi salah kaprah, ada beberapa yang harus diperhatikan. Secara teknis, diperlukan pemahaman pada sejumlah hal, agar niat baik ber-Fangsheng tetap terjaga kemurniannya … dan tentu saja berorientasi kepada kesejahteraan makhluk yang dilepas, bukan malah mengejar keinginan (serta egoisme) si manusia pelepas.

  1. Jangan memesan.
  2. Sebaiknya menawar harga, agar makin banyak jumlah hewan yang bisa dibeli dan dibebaskan.
  3. Dalam Fangsheng bersama, apabila jumlah hewan tertentu tidak banyak, maka uang yang telah terkumpul bisa digunakan untuk membeli spesies lainnya. Sehingga semua uang digunakan sebagaimana mestinya.
  4. Perhatikan lokasi pelepasan hewan. Aman untuk orang lain, dan aman untuk hewan yang dilepaskan.
  5. Perhatian cara membawa hewan ke lokasi pelepasan. Apabila salah penanganan, bisa saja hewan mengalami stres guncangan, atau bahkan mati karena tempat penampungan yang sempit.
  6. Awali dengan niat yang benar dan batin yang berbahagia, laksanakan dengan pikiran yang tenang, dan akhiri dengan kesan kebahagiaan.

[]

Baca juga: Why Buddhist ritual of ‘saving lives’ is a death sentence for animals