Dredd
KETIKA bumi sudah tak lagi menjadi hunian yang ideal bagi manusia dan kemanusiaan, kejahatan merajalela di kota-kota yang tersisa. Sistem peradilan pun tak mampu menjadi penegak hukum lantaran bekerja terlalu lamban. Saat itulah peran polisi, juri penilai, hakim, dan algojo digabung menjadi satu dalam sosok Judge.
Mega-City One, salah satu kota di utara Amerika dengan tak kurang dari 17.000 aksi kejahatan terjadi setiap hari. Di sana, Dredd (Karl Urban) menjadi salah satu Judge dengan ciri khas suara yang berat, sikap yang ultra kaku (he has no girlfriend, I bet) dan bibir yang entah kenapa dibuat terkesan selalu cemberut. Selebihnya, ia tak berbeda dengan Judge lain, mengenakan seragam khusus dan helm berpenutup hampir seluruh wajah, mengendarai motor besar dengan cat pelindung depan yang sudah terlihat kusam, serta memiliki sepucuk senjata beragam proyektil dengan pemindai DNA.
Cassandra Anderson (Olivia Thirlby), seorang anak magang yang menjalani tes menjadi Judge dengan nilai tiga persen lebih rendah dari standar, diserahkan kepada Judge Dredd untuk penilaian lapangan. Atasan Judge Dredd menganggap Anderson memiliki kualitas khusus yang manfaatnya hanya bisa dibuktikan dalam tugas. Tak menggubris hal ini, Judge Dredd yang dingin, tegas, dan tidak pernah mempedulikan perasaan pun hanya menjalankan tugasnya sebagai penguji.
Dihadapkan dengan dua laporan kejahatan, Judge Dredd meminta Anderson memilih ground zero mana yang akan didatangi. Meskipun terkesan seperti sebuah celetukan tanpa alasan, Judge Dredd tetap menuruti “komando” Anderson untuk mendatangi sebuah permukiman vertikal di gedung bernama Peach Trees. Tanpa tahu bahwa gedung tersebut dikuasai geng “Ma-Ma”, dengan Madeline Madrigal (Lena Headey) sebagai pemimpinnya.
Setelah seluruh Peach Trees diblokade tanpa satupun tempat tersedia untuk dijadikan “barak perlindungan”, Judge Dredd dan Anderson baru sadar bahwa apa yang mereka tangani bukanlah kasus pembunuhan biasa. Mereka dijebak. Ini berarti, hanya ada mereka berdua melawan seisi markas geng “Ma-Ma”.
Meskipun dirilis dengan label 3D, sayangnya “Dredd” yang ditayangkan di Samarinda sejak Selasa (16/10) lalu hanya tersedia dalam format 2D. Padahal, lewat semua efek visual yang ditampilkan di film karya Pete Travis ini, “Dredd” bisa meninggalkan kesan yang lebih kuat.
Penonton “Dredd” versi 2D dibuat terkesima dengan penggambaran efek penggunaan narkoba bernama Slo-mo, salah satu ornamen penting dalam film ini. Begitupun dengan efek sadis penuh darah untuk menggambarkan kekejaman Ma-Ma dan gengnya, versus Judge Dredd yang tidak tedeng aling-aling saat beraksi. Ditutup dengan adegan kematian dalam frame berkecepatan rendah. Dengan tampilan 3D, kedua bagian tersebut bakal lebih mencengangkan seisi studio lantaran tersaji kian dramatis.
Meskipun sulit untuk tidak membandingkan antara “Dredd” dan “Judge Dredd” (1995) yang dibintangi Sylvester Stallone, kedua film ini memiliki fondasinya masing-masing. Dengan figur yang sama, interpretasi setting yang berbeda (antara 1995 dan 2006), serta jalan cerita yang saling bertolak belakang.
Judge Dredd versi Stallone kerap menampilkan wajahnya dengan membuka helm. Ini membuat “Judge Dredd” dikecam para penggemar komik “2000 AD”, asal cerita si Judge Dredd. Di samping itu, suara berat Stallone plus ekspresi bibirnya yang cemberut (dari sananya) jauh lebih “megang” ketimbang Urban. Tak ketinggalan, kostum Judge Dredd versi Stallone jauh lebih spekakuler. 😀
Sedangkan Judge Dredd versi Urban tidak pernah sekalipun menanggalkan helmnya, dan berbicara dengan nada datar. Hanya saja, Judge Dredd versi Urban yang nyaris bertindak seperti robot (meskipun agak kehilangan konsistensi karakter pada detik-detik terakhir film) lebih dipuji dibanding Stallone, lantaran memiliki penggambaran persis seperti tokoh komiknya.
Terlepas dari itu semua, ada yang menarik dari beberapa unsur penyusun cerita “Dredd”; dua orang tokoh protagonis, gedung bertingkat yang dipenuhi anggota geng, akses keluar-masuk yang diblokade, serta pertarungan lintas setting antara tokoh protagonis melawan pasukan musuh. Semuanya mengingatkan penonton pada “The Raid” (2011) garapan Gareth Evans.
Kenyataannya, skenario “Dredd” yang menggambarkan hal-hal tersebut sudah mulai disusun sejak 2006 oleh Alex Garland. Sedangkan Evans sendiri dikabarkan adalah salah satu penikmat komik “2000 AD”. Klop jadinya. Baik “Dredd” dan “The Raid” menyajikan outline yang kebetulan mirip tanpa disengaja.
[]