Dewi Guanyin "Keliling" Blok

6 August 2012

ENTAH karena enggan, takut dianggap menonjol, atau memang malas, (maafkan prasangka saya) warga Tionghoa Samarinda memiliki pembawaan yang jauh berbeda dibanding warga Tionghoa di pulau Jawa, yang saban tahun kerap menggelar kirab budaya berkaitan dengan hari-hari besar paganisme a la kepercayaan tradisional Tionghoa.

Para umat Kelenteng Thien Ie Kong bersiap memberi penghormatan kepada patung Dewi Guanyin yang sudah ditempatkan di tandu, sebelum dibawa kirab.

Bila tak salah ingat, mungkin Senin (6/8) pagi kemarin menjadi momen kirab pertama kali di Samarinda. Memanfaatkan peringatan hari kebesaran Dewi Guanyin. Salah satu figur spiritual yang populer di seantero dunia sebagai ikon kebudayaan spiritual Tionghoa.

Dewi Guanyin, memiliki sebutan lengkap Guanshiyin Pusha (觀世音菩薩), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Kwan Im (Kwan Im Po Sat) dalam dialek Hokkian. Dari pendekatan lain, dewi welas asih ini juga dikenal dengan sebutan Bodhisatva Avalokitesvara dalam tradisi Buddhisme aliran Mahayana maupun Tantrayana. Ia memiliki tiga kali peringatan hari kebesaran setiap tahunnya. Salah satunya jatuh pada tanggal 19 (Cap Kau, Shijiu) bulan 6 (Lak Gwee, Liu Yue)

Dalam kepercayaan Tri Dharma (paduan Buddhisme Mahayana, Khonghucu, dan Taoisme), sosok Dewi Guanyin yang dikenal saat ini merupakan sinkretisme atau peleburan dari figur Bodhisatva (calon Buddha) Avalokitesvara, serta figur Putri Miao Shan yang ada di Tiongkok. Itu sebabnya, dalam peringatan hari kebesaran Dewi Guanyin pada tanggal 19 bulan 6 Imlek (jatuh pada 6 Agustus kemarin), diceritakan bahwa Dewi Guanyin menolak untuk menjadi Buddha sepenuhnya dan meninggalkan semesta fana, selama manusia dan makhluk lainnya masih tenggelam dalam penderitaan.

Kirab diselenggarakan oleh pengurus Kelenteng Thien Ie Kong (天儀宮), salah satu dari dua kelenteng yang ada di Samarinda. Melibatkan ratusan warga Tionghoa Samarinda, tentu saja warga seniornya.

Tandu Dewi Guanyin saat dibawa berkeliling blok.

Ada dua tandu yang digunakan. Keduanya dibuat berwarna merah dan penuh dengan ornamen khas Tionghoa. Tandu pertama yang lebih kecil digunakan untuk mengangkut patung Shan Cai dan Long Nü, dua pendamping Dewi Guanyin yang masing-masing memiliki kisah mitosnya sendiri, terkait “rekrutmen” mereka sebagai pendamping sang dewi. Sedangkan tandu kedua yang lebih besar dan dilengkapi dengan jendela dan tirai di tiga sisi, serupa dengan tandu pengantin adat Tionghoa seperti di film-film kungfu, mengangkut patung dewi yang berusia lebih dari seratus tahun itu. Masing-masing tandu diangkat oleh lebih dari delapan orang.

Kirab diawali dengan persembahyangan bersama khusus di depan patung Dewi Guanyin yang sudah dipindahkan ke atas tandu dan ditempatkan di depan kelenteng. Awalnya, patung berada di altar sebelah kanan ruangan kelenteng, di sebelah altar utama tempat persemayaman patung Dewi Tian Shang Shen Mu (天上聖母) atau Dewi Mazu (媽祖). Menjelang pengangkatan patung, seluruh umat sudah bersiap dengan masing-masing memegang sebatang hio berukuran sedang, kemudian dilanjutkan dengan masuknya sepasang Barongsai binaan Kelenteng Thien Ie Kong. Setelah tandu diangkat, kemudian di depan gerbang pagar kelenteng, kembali disambut dengan penyalaan petasan gantung.

Setelah itu, kedua tandu dibawa berkeliling blok mulai dari kelenteng di Jl Yos Sudarso, berlanjut ke Jl Nahkoda, Jl Mulawarman, Jl Pangeran Suriansyah kembali ke kelenteng di Jl Yos Sudarso. Kirab berlangsung dengan kawalan motor polisi dan sempat menarik perhatian dari warga sekitar

[]