Dead Mine

6 January 2013
1
source: indonesianfilmcenter.com

JUJUR, satu-satunya alasan mengapa saya menonton “Dead Mine” dalam penayangan perdananya Kamis (3/1) lalu adalah rasa penasaran atas kebanggaan. Well, at the first place, siapa sih yang enggak penasaran setelah berminggu-minggu dihujani pemberitaan positif tentang sebuah film baru? Apalagi ditambah dengan embel-embel bahwa film tersebut adalah made in Indonesia for international distribution, melibatkan tim aneka urusan lintas negara. Untungnya, kebanggaan itu bisa tersisa sampai akhir cerita.

Berkisah tentang prajurit bayaran asal Indonesia beranggotakan Kapten Tino (Ario Bayu), Djoko (Joe Taslim), Ario (Mike Lewis), dan Sersan Papa Ular (Djaitov “Bang Tigor” Yanda). Mereka bertugas untuk mengawal sekelompok peneliti jejak Jepang dalam Perang Dunia (PD) II, di sebuah hutan Sulawesi.

Penelusuran mengantarkan mereka ke sebuah tambang bawah tanah yang sudah ditinggalkan lebih dari 70 tahun. Namun serangan perampok hutan (yang terkesan agak janggal, buat saya) membuat mereka terjebak di dalamnya.

Makin masuk ke perut bumi, makin banyak hal terkuak. Kelompok peneliti yang disponsori Price (Les Loveday), dan dipimpin Rie (Miki Mizuno) itu ternyata memiliki tujuan khusus selain eksplorasi sejarah. Lantaran tambang memiliki hubungan dengan legenda emas Jenderal Yamashita, harta yang dikumpulkan Jepang selama PD II. Setelah itu, horor bermula. Ada kengerian yang telah menunggu mereka di sana, dari dalam bungker-bungker rahasia.

Bergenre fantasi dan horor dengan ide cerita yang “barat banget”, “Dead Mine” benar-benar mengambungkan hati orang Indonesia. Dimulai ketika penonton membaca sebuah notifikasi bahwa lokasi cerita berlangsung di “Una-una, Sulawesi” (nama itu kemungkinan diambil dari Kabupaten Tojo Una-una, Sulteng). Bandingkan dengan “Anaconda 2” (2004), yang kisahnya seolah terjadi di Kalimantan, bahkan melibatkan sebuah kota fiksi bernama Padrang plus aksen bahasa Banjar sebagai pelengkapnya.

Tidak hanya itu, film karya sutradara Steven Sheil yang diproduksi bareng oleh HBO Asia dan Infinite Frameworks Studio ini juga menyuguhkan efek dan pengkondisian gambar yang tidak tanggung-tanggung. Detail riasan, kostum, properti-properti kecil yang diatur secara cermat dan teliti (kecuali tiga aksara kanji besar di penghujung film dengan typeface yang terasa mengganggu, serta pemasangan syair berpasangan yang lebih tepat disebut sebagai budaya Tionghoa ketimbang Jepang), penggambaran ruang bungker dan gua yang luar biasa nyata, berpadu apik dengan tata cahaya. Semua menjadi kekuatan film, sehingga mampu menyerap penonton dalam kekaguman atas adegan-adegan yang mind-blowing maupun yang sepatutnya direspons dengan ketegangan. Padahal, pengambilan gambar indoor dilakukan dalam studio luas yang berlokasi di Batam. Sedangkan syuting outdoor berlokasi di kawasan hutan sekitar studio.

Meskipun demikian, tetap ada sejumlah ketimpangan dalam “Dead Mine”. Terutama dalam cerita yang terkesan terburu-buru, serta proporsi antartokoh yang terasa tidak imbang.

Sejak awal, penonton diajak untuk membangun ketegangan. Mulai dari penelusuran hutan, aksi tembak-tembakan, terjebak dalam pintu masuk tambang, dan seterusnya. Namun setelah ketegangan memuncak, banyak hal yang terasa disia-siakan. Ketegangan yang dibangun sempat dipertahankan dalam beberapa bagian, hingga akhirnya mesti menukik dan ditutup lewat teriakan “止めて!!!”. Ending yang cukup disayangkan.

Sedangkan untuk ketokohannya, Ario Bayu sebagai pimpinan tim memang sempat muncul sebagai fokus utama. Tapi seiring berjalannya cerita, keempat tokoh asal Indonesia kalah peran dibandingkan Stanley (Sam Hazeldine) dan Rie yang terus bertahan hingga akhir cerita. Bahkan, kekuatan emosi Rie begitu terasa di beberapa bagian penting.

Di balik semua kekuatan dan kelemahannya, “Dead Mine” tetap patut dibanggakan. Selain berhasil laku di delapan negara, film ini juga menjadi media promosi bintang film Indonesia di kancah internasional. Itu sebabnya, film ini sepenuhnya dengan dialog berbahasa Inggris.

Terakhir, jangan lupa, “Dead Mine” bukan untuk anak-anak.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.