Does (Cultural) Belief Evolve?

120
views

Tepar selama dua hari gara-gara sakit, akhirnya kebanyakan menghabiskan waktu di tempat tidur sambil nonton. Dari beberapa tayangan yang lumayan menarik perhatian, adalah serial “Mahabharata” dan “Mahadeva” (legenda Dewa Shiv/Siva). Keduanya bikin googling banyak hal tentang Hinduism Pantheon, kosmologinya, mitologinya, dan banyak hal lain termasuk kronologi perkembangan kepercayaan bangsa Indo-Eropa Ārya sejak masa awal Ṛgveda (pemujaan dewa-dewa perlambang kekuatan alam yang diyakini lebih tua dibanding dewa-dewa modern yang tersisa saat ini) lebih dari 3,5 milenium lalu, sampai pada masa New Hinduism Revival di dua abad terakhir.

source: shilpamm.blogspot.com

Kesimpulannya, ternyata perkembangan pola pikir manusia secara budaya, mampu merevisi tradisi masa lampau. Perubahan dilakukan dengan beragam landasan; benar-benar penolakan, sekadar alibi, alasan yang logis dan sangat sesuai dengan kondisi sosio-budaya pada masa berjalan, maupun lantaran ramalan yang juga telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci lainnya (misal: terlarang selama zaman Kali Yuga, era jelang kiamat).

Alkisah, Prajapati Dakhsa tewas dipenggal oleh manifestasi amarah Siva, menantunya. Alasannya, Satī, istri Siva, dipermalukan sang ayah lalu bunuh diri dengan masuk ke dalam tungku pembakaran api persembahyangan Aśvamedhá.

Cek sana sini, singkatnya Aśvamedhá adalah ritual pelepasan kuda kerajaan terbaik untuk berlari ke arah timur laut (lalu sesuka hatinya) selama setahun dalam penjagaan. Artinya, sejumlah bangsawan kerajaan menjaga agar kuda bisa terus berlari tanpa gangguan. Di mana kuda itu berhenti, maka sang raja harus menguasai daerah tersebut.

Ada banyak tahapan ritual yang rumit dan njlimet sebelum, saat, dan setelah kuda dilepaskan. Salah satu poin yang paling mengejutkan adalah, kuda tersebut dibunuh, lalu…

“The chief queen ritually calls on the king’s fellow wives for pity. The queens walk around the dead horse reciting mantras. The chief queen then has to mimic copulation with the dead horse, while the other queens ritually utter obscenities.” (Keith, Arthur Berridale. 1914)

Bagian ini merupakan salah satu bagian ter-bizzarre. Namun ternyata ada yang tak kalah bizzarre, yaitu dalam Purushamedha. Upacara serupa namun menggunakan manusia. Meskipun belum pernah ditemukan bukti arkeologis yang benar-benar menunjukkan sisa upacara tersebut.

“The human sacrifice, the Purushamedha, followed a similar format, but included a man with the animals to be sacrificed. The price of the man was set at one thousand cows and a hundred horses. Like the horse, the man chosen for sacrifice was allowed to wander for a year. Once he had been killed, the queen lay with his corpse.” (Renou, Louis & Filliozat, Jean. 1947)

Tercatat, sejumlah raja-raja besar di jazirah Jambudvipa alias Hindustan, baik figur mistis seperti Yudhiṣṭira (Mahābhāratam) dan Daśharatha (Rāmāyaṇam) maupun tokoh historis, melakukan upacara ini. Dikatakan, bahwa para resi atau brahmana fasilitator upacara menjalankan langkah-langkah ritual Aśvamedhá sesuai yang tertulis dalam Yajurveda, kata demi kata. Hal ini yang kemudian disebut para reformis Hindu sebagai kekeliruan. Entah karena kejamnya ritual–selain memerlukan langkah bizzarre, mesti ada puluhan hewan buas dan langka yang ikut dibunuh–atau karena mendorong munculnya ajaran-ajaran tandingan di luar Hinduisme, maupun karena alasan-alasan lain, akhirnya banyak yang menyebut bahwa deskripsi tentang kedua ritual tersebut bersifat alegoris. Tak seharusnya dipahami secara harfiah.

“In the Arya Samaj reform movement of Dayananda Sarasvati, the Ashvamedha is considered an allegory…”

“An empire is like a horse and the subjects like other inferior animals.” (Dayananda. 1981)

“Although animal killing in a sacrifice is recommended in the Vedic literature, the animal is not considered to be killed. The sacrifice is to give a new life to the animal. Sometimes the animal is given a new animal life after being killed in the sacrifice, and sometimes the animal is promoted immediately to the human form of life.” (Prabhupada)

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa akal pikiran yang dimiliki manusia “terbaik”–sebagai filsuf ataupun resi–sungguh berperan dalam melakukan penyesuaian atau bahkan pelurusan. Bukan hanya pada Aśvamedhá atau Purushamedha saja, karena hampir semua ideologi religius maupun sosial memiliki lelakunya masing-masing, namun kerap dilakukan begitu saja tanpa memahami makna hakikinya. Bahkan tidak sedikit yang awalnya dimunculkan sebagai tindakan praktis, akhirnya malah dikultuskan lalu haram untuk bersentuhan dengan proses penyesuaian.

Terlalu jelas, bahwa pemikiran manusia era ribuan tahun lalu jauh berbeda dengan manusia masa kini. Meskipun tidak sedikit pula pemikiran yang tercetus pada masa lampau, masih jauh lebih baik, suci, dan idealis ketimbang ide-ide oportunis yang sekadar jadi pemanis.

Tak salah apabila manusia disebut makhluk yang berbeda, karena memang diberi akal pikir untuk bisa mempertimbangkan segalanya.

[]

Disclaimer: Tulisan ini bukan dibuat untuk menyinggung siapapun. 🙂

2 COMMENTS

  1. Bizzare karena kita bacanya dengan kacamata modern kayaknya ya? Maksudku, kalau these people from the before time baca cerita tentang kita yang eksploitasi hasil bumi sedemikian rupa juga kayaknya mereka horor juga. Kebayangnya sih :)).

    Menarik ini postingannya, sama sekali gak random thoughts ini mah :)).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − eight =