Cinta tapi Beda

222
views

INDONESIA adalah bangsa yang penuh keragaman. Namun, masih banyak orang yang terlalu sensitif menanggapi simbol dan perbedaan. Keadaan ini diperparah dengan sempitnya ruang untuk berdiskusi tanpa melibatkan emosi. Sampai akhirnya membuat ketidaknyamanan dan keterbatasan terkesan dibiarkan.

CAHYO (Reza Nangin), seorang juru masak andal yang berasal dari keluarga Muslim Yogyakarta, jatuh cinta dengan Diana (Agni Pratistha), seorang penari kontemporer yang berasal dari keluarga Katolik di Padang.

source: cintatapibeda.com

Mereka adalah umat beragama yang moderat, namun tetap taat. Mereka digambarkan menjalani hubungan pacaran tanpa respons yang berlebihan maupun upaya penyeragaman. Lalu, berbekal keyakinan dan optimisme bahwa ia mampu mengelola pertentangan, Cahyo pun memberanikan diri untuk membawa hubungan mereka ke tingkat yang lebih serius. Hingga akhirnya, penolakan mulai bergejolak, terutama dari ayah Cahyo (Suharyoso) dan ibu Diana (Jajang C Noer). Kondisi sulit itu diperberat dengan kenyataan bahwa mereka tidak bisa menikah secara resmi, lantaran hukum yang berlaku di Indonesia tak memfasilitasi pernikahan beda agama.

source: cintatapibeda.com

Kisah Cahyo dan Diana dalam “Cinta tapi Beda” bisa dibilang mewakili ribuan kisah serupa dari seantero Indonesia. Agama (umumnya tiga agama mayoritas) masih kerap jadi ganjalan terbesar dalam sebuah hubungan asmara yang paling serius dan tulus sekalipun. Hingga pada akhirnya, pasangan beda agama pun kebingungan dan buntu arah. Pilihan mereka terbatas: sedikit lebih repot menikah di kota yang berbeda, menikah di luar negeri (dengan atau tanpa restu orangtua), putus hubungan, atau ada yang terpaksa mengalah. Walaupun di sisi lain, ada banyak kisah asmara lintas agama yang mampu berakhir dengan damai dalam bentuk keluarga “gado-gado” yang tetap tenteram hingga saat ini.

Berbeda dengan yang disajikannya dalam film ”?” (Tanda Tanya), Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra tak menyodorkan solusi untuk mengakhiri dilema dalam “Cinta tapi Beda”. Celah ini menjadi kekuatan khusus (atau malah sebuah kelemahan) karena berani tampil beda dibanding para pendahulunya, menjadi oleh-oleh pikiran yang harus dibawa pulang dan direnungkan.

Tayang sejak Kamis (27/12) lalu, film ini seolah menjadi pengingat untuk masalah sosial khas Indonesia yang belum jelas penawarnya Bahkan kemunculan pasangan beda agama yang lain dalam cerita; Thalib (Leroy Osmani) yang Kristen dan istrinya (Ayu Diah Pasha) yang muslim, tidak dibarengi dengan penjelasan bagaimana pernikahan mereka bisa dilangsungkan. Penonton hanya disodori dengan atribut cerita bahwa pasangan Thalib terus mendapat cemooh dari orang-orang di sekitar mereka, meskipun sudah menikah sekian lama.

Dengan mengangkat agama sebagai tema utama, “Cinta tapi Beda” pasti menuai tanggapan yang bervariasi. Kelompok penonton yang menolak pernikahan beda agama pasti akan sangat setuju dengan argumen yang disampaikan oleh ayah Cahyo dan mama Diana. Hanung berhasil menampilkan sosok yang tipikal orang Indonesia pada umumnya (atau mungkin karena saking banyaknya orang yang seperti itu). Seseorang yang berpegang teguh pada prinsip bahwa agama adalah sesuatu yang baku nan pantang di-utak-atik-gathuk.

Sedangkan penonton yang cenderung melankolis dan hanyut dalam perasaan, akan turut mengharu biru saat melihat kegetiran Diana yang berlutut memohon di kaki ibunya. Maupun ketika ibu Cahyo (Sitoresmi Prabuningrat) memberikan “perlawanan” dengan tenang, santun, dan bijaksana kepada ayah Cahyo.

Selain dua kelompok penonton tersebut, percayalah, ada kelompok penonton lain yang pernah menghadapi masalah serupa dalam kehidupan mereka, namun berakhir dengan ujung yang jelas tapi bahagia. Mereka cukup menanggapi beberapa bagian dalam film berdurasi kurang dari dua jam itu, dengan senyum penuh makna. 🙂

Dengan penyajian cerita yang apik, serta adu akting Reza dan Agni yang wajar, “Cinta tapi Beda” mengajak para penontonnya untuk ikut terlibat secara emosional. Penonton dibuat bersemu-semu karena interaksi manis kedua bintang utamanya, lalu dibuat gusar ketika hubungan mereka tak jelas mengarah ke mana. Padahal, ini adalah debut pertama Reza di layar lebar.

Terlepas dari itu semua, memang tak bisa dipungkiri bahwa ada banyak hal yang terasa mubazir dalam “Cinta tapi Beda”. Mulai dari hadirnya tokoh-tokoh tambahan tak signifikan seperti mantan pacar Cahyo (Ratu Felisha), dan Executive Chef tempat Cahyo bekerja (Agus Melast). Disusul dengan ekspose berlebihan atas ikon-ikon keagamaan yang kurang tepat, maupun ikon-ikon lawannya (potongan Siobak, misalnya. Nyam…). Pada bagian awal film, ekspose berlebihan ini memang sukses memberikan penekanan pada perbedaan latar belakang yang dimiliki tokoh-tokoh utamanya. Namun setelah konflik memuncak, berlimpahnya ikon-ikon tersebut malah terasa mengganggu fokus.

Secara khusus bagi saya, kemunculan dr Oka (Choky Sitohang) menjelang akhir film memberikan keunikan tersendiri. Choky seolah tampil menjadi dirinya sendiri. Tergambar dari gaya bicara, bahasa tubuh, hingga dialog yang membuatnya terlihat sangat cocok sebagai seorang preacher.

Terakhir, mungkin ada banyak orang yang terkejut dengan lagu penutup pengiring credits title-nya. Kurang pas dan terkesan dipaksakan. Namun jangan buru-buru beranjak dari tempat duduk Anda, karena ada selipan rekaman suara Gus Dur tentang kemanusiaan versus kotak-kotak perbedaan. Sebuah kejujuran.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.

5 COMMENTS

  1. Apakah anda sudah tau jodoh anda siapa perbedaan agama memang menjadi masalah utama, tapi dari setiap manusia punya kepercayaan masing2 baik itu agama islam,katholik,protestan hindhu,ataupun budha mungkin maksut dari film ini adalah kita boleh menikah dengan siapa saja asalkan kita harus yakin bahwa langkah kita berada di jalan yang benar. Selagi hal itu bisa membuat kita nyaman ataupun bahagia kenapa tidak kita lakukan.

  2. Sebuah film yang telah melanggar dan membentur arti toleransi beragama, mentah ilmu dan dangkal pengetahuan, tak lebih dari sebuah karya kacangan mencari sensasi agar terkenal. kebebasan itu bukan. Berarti bebas berekspresi dan melakukan apa saja, kita ini ada pedoman dan tuntunan, diberi kebebasan namun ada keterbatasan, dalam film ini jelas jelas melecehkan agama,,, Tuhan hendak diletak kan dimaaa?
    Bukan hanya dalam film ini, tapi semua film garapan hanung, sarat dengan liberalisme.
    Jadi menurut saya dan kebanyak muslim didunia, film ini HARAM!!!

    • Ehm, setiap orang berhak untuk menginterpretasi dan meresponsnya sih. Bahkan terhadap detail-detail kecil sekalipun.

      Mungkin dari film itu ada banyak hal yg menyinggung saudara (dan entitas komunal yang saudara jalani saat ini). Tapi, sepengalaman saya menonton film tersebut, tidak digambarkan adanya upaya untuk mengangkangi keterbatasan dua umat beragama. Jadi, mungkin ada sedikit ketidakcocokan. 🙂

      • Sepengalaman anda!!!
        Berarti pengalaman anda dangkal dan jahil, sama seperti sihanung yang tak punya iman, saya yakin anda juga seorang liberalis yang haus sensasi..
        Lebih baik anda menulis artikel tentang masakan aja deh, dari pada anda menggadaikan iman serta harga diri anda hanya demi sebuah film laknat nya si hanung kafir harbi itu…
        Atau memang anda sudah tidak punya harga diri!!!

        • Mbok ya kalimatnya dibaca dengan lengkap: “sepengalaman saya MENONTON film tersebut.” Bukan sepengalaman saya menjalani hidup. Konteksnya beda.

          Tapi bagaimanapun juga, kalau Anda sudah bicara soal label kafir dan sebagainya, di sini bukan tempatnya. Karena saya bukan seorang muslim maupun nasrani. Sehingga di pikiran Anda, saya pasti lebih kafir daripada Hanung sendiri. Hahaha.

          Ya setidaknya, sekafir-kafirnya saya, masih bisa nonton film dengan dibawa santai. 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two + 14 =