Cek Toko Sebelah

31 December 2016
2

BARU banget kelar menonton film ini, dan masih kagum dengan betapa subtle-nya cara Ernest Prakasa mengangkat salah satu drama paling mendasar, paling klise, sekaligus paling basi dalam kehidupan keluarga Tionghoa Indonesia menjadi tontonan yang pas dan proporsional, mudah dipahami secara inklusif.

Menyusul “Ngenest: The Movie” yang berangkat dari topik sejenis, gaya dan sudut pandang yang disuguhkan Ernest–sebagai sutradara, penulis cerita, sekaligus pemeran utama–dalam “Cek Toko Sebelah” betul-betul konsisten. Ia berhasil memadukan ide dan konsep dari dua perspektif berbeda saat memproduksi film ini: sebagai Tionghoa Indonesia dan non-Tionghoa Indonesia.

Kenapa sih harus banget ada kata “Indonesia” dalam pernyataan di atas? Soalnya, drama yang disajikan dalam “Cek Toko Sebelah” sangat Indonesia.

Tidak ada masyarakat Tionghoa mana pun di Asia Tenggara yang paham benar tentang tahun 1998, selain di Indonesia; termasuk kaitan khusus antara tahun 1998 dan toko, bukan sebagai alat untuk bermata pencarian, melainkan sebagai bagian dari identitas.

Detail-detail seperti itu memang terlampau sederhana, atau bahkan sah-sah saja jika sekadar disebut sebagai gimmick pelengkap cerita. Akan tetapi, justru menjadi simpul-simpul cerita yang membuat “Cek Toko Sebelah” relevan bagi siapa saja.

Berbeda dengan “Ngenest: The Movie” yang bercerita tentang seorang Tionghoa muda memandang ketionghoaannya (walaupun ujung ceritanya, ehm, agak non-mainstream dari perspektif Tionghoa Indonesia luar pulau Jawa), “Cek Toko Sebelah” lebih spesifik pada isu-isu internal keluarga, terlebih yang ada di luar Jakarta.

Gambaran singkatnya seperti ini. Ketika para orang tua Tionghoa mengelola toko dengan susah payah dan tekun sedemikian rupa, lalu menyekolahkan anak-anaknya ke luar daerah bahkan luar negeri dengan harta dan status ekonomi yang berhasil dibangun, kemudian beberapa di antaranya berharap agar anak-anak mereka bisa kembali ke kota asal dan meneruskan usaha. Ekspektasi versus realitas hidup.

Ragam drama yang diangkat Ernest dalam “Cek Toko Sebelah”, bisa dibilang adalah salah satu varian paling aman dari konflik di atas. Aman, lantaran happy ending. Konflik keluarga berakhir dengan kebahagiaan dan penerimaan, yang sebenarnya identik dengan film-film Hong Kong khusus suasana Tahun Baru Imlek. Hehehe… dan Ernest seolah kembali menyampaikan positive subliminal message tentang pernikahan lintas etnik kepada seluruh Tionghoa Indonesia. Hal netral yang masih agak janggal bagi Tionghoa Indonesia, dibanding di negara-negara Asia Tenggara lainnya. 😀

Untuk itu, saya rekomendasikan film ini sebagai tontonan keluarga Tionghoa Indonesia. Bukan untuk memengaruhi atau mengubah pendapat, tapi lebih untuk membuka paradigma sosiokultural yang berlangsung hingga sekarang.

Foto: gadis.co.id
Foto: gadis.co.id

Oke, kini melangkah ke komponen-komponen lainnya.

“Cek Toko Sebelah” merupakan film komedi dengan kadar yang pas. Penampilan para komedian tunggal tidak overwhelm, pun dengan kelakar-kelakar yang membumi dan tidak eksklusif. Begitu pun dengan cameocameo yang dilibatkan, yang mampu mengekskalasikan lelucon dengan sangat segar dan efektif. Salah satunya pada bagian “Emang jalan ini punya bapak loe?!”

Seperti biasanya, penampilan Adinia Wirasti bikin makin tambah nge-fans. Ayu, sosok yang diperankannya, boleh jadi adalah lakon paling bijaksana dalam film ini. Baik ketika berinteraksi dengan Yohan (Dion Wiyoko), maupun tokoh lainnya. Outshining!

Di sisi lain–thanks to Ernest’sChineseness” –ada humor-humor tertentu yang ngena banget pada para penonton Tionghoa. Seperti pada sosok Ko Afu/Afuk (Chew Kin Wah, yang kelihatan banget berusaha menyamarkan ciri khas Chinese Malaysian-nya). Termasuk juga judul “Cek Toko Sebelah” itu sendiri, yang pada dasarnya enggak punya hubungan langsung dengan fondasi plot.

Intinya, dengan menonton “Cek Toko Sebelah”, 31 Desember 2016 saya terasa menyenangkan.

Selamat tahun baru! 🙂

[]