“Bodo Amat” demi Hidup Tenteram

A page of comic book.
18 October 2019

AKSI menghasilkan reaksi. Begitu juga akibat, muncul karena suatu sebab. Sikap bodo amat pun sesekali diperlukan demi ketenteraman dan ketenangan hati.

Bukan hanya dalam bidang-bidang ilmu pasti, mekanisme ini juga terjadi dalam kehidupan sosial kita sehari-hari. Apalagi jika sudah melibatkan perasaan, sesuatu yang berpotensi membuat segalanya lebih dramatis. Bisa dibayangkan, intensitas serta dampak reaksi atas sebuah aksi bisa jauh berkali-kali lipat, dan entah sudah berapa banyak artikel di lini masa yang pembahasannya berangkat dari sana.

Bila disederhanakan, urusan aksi-reaksi tindakan sosial ini hanya bermuara pada masalah; melakukan atau tidak melakukan sesuatu (sebab), ingin atau tidak ingin mendapatkan sesuatu (akibat), dan respons atau tanggapan atas sesuatu (akibat yang bisa menjadi sebab baru). Namun pada praktiknya, kita malah lebih sering terjebak ilusi idealisme. Ketika kita malah memberi panggung pada hal-hal yang sejatinya enggak penting, omong kosong, sengaja dimunculkan untuk mengusik, dan sia-sia bahkan sejak pertama kali muncul dalam benak pelakunya. Hal-hal yang semestinya tidak digubris untuk kemudian berlalu begitu saja, mendadak jadi besar dan penting atas nama konsep-konsep abstrak yang tidak jelas faedah langsungnya. Seperti harga diri lah, reputasi lah, martabat lah, dan sebagainya. Kemudian, tak sedikit yang akhirnya berlarut-larut, menjadi dendam berkepanjangan.

Setiap orang punya tiga saluran tindakan: pikiran, ucapan, dan perbuatan. Dari ketiganya, hanya pikiran yang tersembunyi dan cuma diketahui si pemiliknya sendiri. Dua lainnya melibatkan orang lain. Ucapan bisa didengar langsung maupun diteruskan, namun gampang menguap begitu saja kecuali direkam. Sedangkan perbuatan, proses terjadi serta dampak yang ditinggalkan kerap bisa dilihat dengan mata telanjang. Lagipula ucapan adalah tindakan yang paling luwes dan gaib alias ndak kelihatan. Saking luwesnya, juga menjadi yang paling susah dikendalikan.

Contoh gampangnya, kala seseorang menghina dan memperolok kita dengan sebuah kebohongan, apa yang akan terjadi? Lazimnya, muncul amarah, dan kita berusaha membela diri (baca: membalas hinaan), seringkali dibarengi dengan air mata dan perasaan terluka, membuat suasana sekeliling jadi mencekam. Akan tetapi, mengapa harus buang-buang tenaga untuk melancarkan perlawanan? Toh yang dia ucapkan hanyalah omong kosong. Saat kita meladeni bullshit itu atas nama harga diri dengan sepenuh hati, kayaknya ibarat ingin membuktikan bahwa seseorang sudah buang gas dengan cara mengumpulkan sisa-sisa kentutnya dalam sebuah kantung plastik. Capeknya dapat, konyolnya dapat, baunya juga dapat–ketambahan bau-bau busuk lainnya, waktu terbuang, manfaatnya nihil.

Bertindak tak mainstream itu memang tidak mudah, terlebih kalau menyangkut soal perasaan dan kebiasaan yang tertanam sejak kecil. Tapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan, dan bisa jadi makin dibutuhkan sebagai semacam life guide di dunia yang kian ndak karu-karuan. Dalam hal ini, beruntunglah orang-orang yang punya tabiat tidak acuh alias cuek, sebab mereka sudah punya basic yang cukup untuk jauh lebih bijaksana menyikapi riak-riak kehidupan. Dengan catatan cuek yang beralasan, cuek for the greater good.

Kembali ke contoh di atas. Pada saat berhadapan dengan omongan-omongan buruk orang lain, cuekers punya kuasa menggagalkan suasana. Memberikan respons di luar dugaan. Mereka bisa merampas “kegembiraan” (excitement) para pengolok dan penghina, membuat mereka merasa garing dan jayus sendiri, terus pergi. Drama pun gagal terjadi.

Ada beberapa respons yang biasanya dilakukan para cuekers dalam contoh kasus di atas. Beberapa di antaranya:

  • Oh…
  • Terus?
  • “Bodo amat sih.
  • *menatap wajah si pembicara dengan pandangan dingin tanpa ekspresi wajah dan diam selama beberapa detik, lalu beranjak pergi*
  • Kenapa memangnya?
  • Oke…

Efeknya mirip cerita si Chinmi The Kungfu Boy, yang berhasil membuat seekor burung batal terbang hanya dengan menurunkan telapak tangannya saat ingin menguasai Kungfu Satu Jari. Menghilangkan momentum.

Untuk contoh lainnya yang lebih konkret, terwakilkan dari video ini.

Menghentikan agar sebuah reaksi tak menjadi aksi baru.