Berwisata di Kota Sendiri

258
views

TIDAK lazim, jika tujuan liburan adalah mendatangi pameran seni, museum, tempat ibadah, maupun tempat-tempat publik sejenis yang memiliki tujuan edukasi maupun apresiasi. Terutama dalam aktivitas liburan murni, bukan yang memiliki embel-embel Study Tour, studi banding maupun perjalanan dengan tujuan serupa lainnya. Tidak lazim, bukan aneh, bagi orang-orang yang berasal dari luar Jakarta atau kota-kota besar di pulau Jawa. Karena memang masih sangat jarang ada yang melakukannya (atau sayanya yang tidak tahu… My bad). Sekali lagi, sangat jarang, bukan berarti tidak ada.

Pada umumnya, orang-orang dari luar kota-kota besar pulau Jawa yang berkunjung ke Jakarta, Bandung, atau Surabaya, lebih memilih untuk berbelanja, baik pakaian maupun makanan; atau sekadar keluyuran di mal-mal besar dengan tenant merk ternama yang tidak ada di kota asalnya. Dengan maksud, agar sepulangnya dari Jakarta nanti, mereka bisa tampil dengan busana model akhir atau membawa penganan yang tengah happening, yang belum ada di kota asalnya. Atau ke taman bermain komersial. Atau ke pantai maupun gunung yang penuh turis (sebagai konsekuensi logis sebuah objek wisata populer). Atau ke candi-candi hanya untuk sekadar datang dan berfoto dengan latar belakang bangunan purbakala tersebut, maupun hal-hal mainstream lainnya. Sedangkan orang-orang dari Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di pulau Jawa, cenderung mencari segala sesuatu yang pantas dilabeli dengan sebutan “eksotis”. Lantaran jarang, atau tak pernah ditemui maupun dirasakan sebelumnya, karena tidak terlalu santer dikenal. Bonusnya adalah pengalaman wisata yang lebih ekstrem, dengan “keramahan” yang berbeda dibanding dalam kunjungan ke destinasi-destinasi wisata populer pada umumnya.

Di sisi lain, apa yang dimiliki kota kita untuk bisa menarik perhatian publik? Saat kita menjawab pertanyaan ini dengan “tidak tahu”, apakah memang sebegitu tidak menariknya kota kita. Sampai-sampai membuat kita, penghuni aslinya, tidak tahu apa-apa untuk membuatnya menjadi lebih menarik. Misalnya, Samarinda, kota tempat saya tinggal saat ini.

Khusus untuk Samarinda, sayangnya kami selalu bingung harus mempromosikan apa. Areal hutan di pinggiran kota sudah banyak yang bopeng dikorek aktivitas tambang batu bara, pun tidak jelas mau ngapain di sana. Atraksi wisata hanya sebatas Kampung Dayak Pampang yang disebut-sebut terkomersialkan secara kasar; atau Kampung Tenun Sarung Samarinda di Kecamatan Samarinda Seberang yang belum dibina dengan baik. Lebih afdal jika didatangi dengan menaiki Kapal Tambangan, yang tarifnya juga kerap kali didongkrak secara berlebihan (lantaran Jembatan Mahakam juga sering macet). Selain dua nama objek wisata di Kota Samarinda yang paling gampang terbersit di pikiran orang Samarinda tersebut, sebenarnya masih ada beberapa tempat yang bisa disinggahi.

Kunjungan ke Kampung Tenun juga bisa dilanjutkan ke Masjid Shiratal Mustaqiem, masjid tertua di wilayah Samarinda secara umum. Tapi, eksistensi bangunan ini hanya sebagai masjid saja. Sehingga pengunjung tanpa pemandu hanya bisa berkeliling pekarangan masjid, dan memotret. Terlebih bagi pengunjung nonmuslim yang kikuk, takut melanggar etiket kesopanan di areal tempat ibadah.

Masjid Islamic Centre
(Foto: koleksi pribadi)

Kondisi serupa juga terjadi jika mengunjungi Masjid Islamic Centre, yang disebut-sebut sebagai masjid terbesar kedua di Asia Tenggara. Pada tahun-tahun awal dibukanya masjid ini, pengunjung bebas datang. Bahkan dengan izin pengurus masjid, bisa naik ke atas Menara Asmaul Husna setinggi 99 meter menggunakan elevator. Sejak beberapa tahun terakhir, pengunjung wanita diwajibkan berkerudung (disediakan kerudung oleh pengurus masjid), dan pengunjung pria dilarang masuk jika bercelana pendek. Etiket ini akhirnya membuat bus-bus pariwisata yang singgah, hanya menepi di luar pagar masjid. Pengunjung pun hanya memotret dari depan pagar.

Di sisi lain, kondisi agak berbeda bisa dirasakan para wisatawan ketika mendatangi objek wisata berupa tempat ibadah lainnya. Kelenteng Tian Yi Gong/Thien Ie Kong/dahulu Thian Gie Kiong (天義宮), misalnya. Bangunan tempat ibadah ajaran Tri Dharma tertua di Samarinda ini cenderung lebih longgar dalam menerima pengunjung bukan umat. Sejumlah objek atraktif yang bisa dipotret seperti diorama Kisah Perjalanan ke Barat, atau kolam naga yang ada di belakang bangunan utama kelenteng. Begitupun jika mengunjungi bangunan Buddhist Centre Kaltim yang sebenarnya merupakan Maha Vihara Sejahtera Maitreya (salah satu subsekte Buddhisme Mahayana) di utara Samarinda, maupun saat mendatangi Vihara Eka Dharma Manggala yang memiliki tampilan arsitektur identik di seluruh dunia. Di kedua tempat tersebut, pengunjung dipersilakan datang asal berkelakuan sopan dan tidak ada pembatasan secara spesifik.

Sementara itu, ada yang menyebut bahwa Penangkaran Buaya masih beroperasi di salah satu kecamatan Samarinda. Namun tidak jelas apakah aktivitas peternakan buaya tersebut memang masih berlangsung atau tidak. Pastinya, selama ini areal tersebut memang tidak pernah dibuka untuk umum, apalagi dengan tujuan wisata. Padahal lewat perbincangan menyenangkan dan mencerahkan dengan Erza, seorang kawan, peternakan buaya tersebut bisa menjadi salah satu potensi dalam dunia fashion. Mengingat pengolahan kulit buaya sebagai produk mode, akan mendapat sambutan luar biasa dari konsumennya. Apalagi jika diserap produsen berkualitas kelas dunia.

Ada pula Kebun Raya Samarinda yang saya rasa dikelola sekadarnya, hingga kini. Meskipun pada dasarnya, di lokasi tersebut pengunjung bisa melihat Orang Utan, sejumlah satwa khas lainnya, serta beragam fitur tambahan termasuk pemancingan.

Selain beberapa nama tempat wisata yang telah disebutkan sebelumnya, Kota Samarinda kemungkinan besar masih memiliki sejumlah tempat menarik lainnya. Hanya saja keberadaannya yang terlampau terpencil, dan aksesnya yang cenderung terbatas. Sebut saja seperti bungalo-bungalo unik di utara kota. Maupun kawasan-kawasan publik yang masih perlu pembenahan, seperti areal taman di Tepian Mahakam maupun Tepian Sungai Karang Mumus. Sebaliknya, mal maupun pusat perbelanjaan menjadi alternatif terakhir untuk berwisata di Samarinda.

Selebihnya, ada apa lagi? Museum Mulawarman ada di Tenggarong, bersama dengan puing-puing Jembatan Kartanegara yang ambruk November 2011 lalu dan selalu membuat warga pendatang penasaran ingin melihat sisanya. Berikut Museum Kayu tempat menyimpan jasad buaya “monster” Sangatta, maupun Pulau Kumala yang bolak-balik ditinggalkan pengelolanya. Sedangkan Taman Hutan Bukit Bengkirai ada di perbatasan antara Samarinda dan Balikpapan, serta masuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Lagi-lagi, bukan milik Kota Samarinda sendiri. Lain cerita kalau Samarinda, Tenggarong, maupun Balikpapan saling berkolaborasi untuk memberikan semacam combo wisata. Karena lebih baik saling urun potensi, ketimbang saling bersaing tapi dengan kekuatan yang ala kadarnya.

Terlepas dari itu semua, mungkin ungkapan “kota yang tidak punya banyak destinasi wisata, kulinernya enak-enak” ada benarnya. Setiap tamu luar kota yang datang ke Samarinda, pasti akan dibawa mencicipi Nasi Kuning Samarinda, baik yang disajikan sebagai sarapan, maupun sebagai sajian lepas tengah malam. Atau dibawa menyantap Kepiting Asap, maupun Kepiting Saus Asam Manis “Kenari”, yang oleh sejumlah orang disebut lebih lezat ketimbang restoran kepiting di Balikpapan. Termasuk kedai kopi turun temurun dan jajanannya yang digadang-gadang memiliki karakteristik khusus. Salah satunya seperti Warung Kopi Pelabuhan (dahulu Warung Kopi Nahkoda), atau yang kini dikenal dengan Warung Kopi Ko Abun sebagai generasi kedua si empunya warung. Belum lagi dengan sajian nonhalal yang menjadi ciri khas kota ini. Dengan demikian, Samarinda masih punya harapan untuk menjadi kota wisata kuliner.

Sajian di Warung Kopi Pelabuhan/Warung Kopi Ko Abun.
(Foto: koleksi pribadi)

Sementara itu, sejumlah event wisata yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Komunikasi dan Informasi (Disbudparkominfo) Samarinda, memang cukup mampu mengundang kehebohan. Tapi pelaksanaannya hanya setahun sekali, tidak insidental. Hanya cocok untuk kunjungan terjadwal. Bahkan gaung kegiatan tersebut, jauh lebih masyhur ketimbang gelaran seni budaya yang digarap oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kaltim, dengan periode penyelenggaraan yang lebih tua.

Festival musik Jazz, sebagai rangkaian kegiatan tahunan festival budaya Disbudparkominfo Kota Samarinda.
(Foto: koleksi pribadi)

Mencintai kota sendiri, tentu bukan dengan mati-matian membawa apa yang sedang menjadi tren di luar kota untuk ikut booming (dan menarik keuntungan darinya) di kampung halaman. Apalagi kebanyakan dalam bentuk franchise. Melainkan mengembangkan apa yang dimiliki, agar mampu menarik perhatian banyak orang luar, dari beragam latar belakang.

Tren yang dibawa dari luar, belum tentu cocok dan mampu bertahan lama. Pada umumnya, hanya muncul untuk kemudian terasa membosankan (apabila sang empunya tidak kreatif pula), lalu ditinggalkan. Sedangkan apa yang telah ada, bakal selalu ada kecuali jika dihilangkan keberadaannya.

Salah satu instalasi dalam Biennale Desain dan Kriya 2013.
(Foto: koleksi pribadi)

Sebagai perbandingan, akhir Desember lalu, saya diajak ke Biennale Desain dan Kriya di Galeri Nasional Indonesia (thanks to David Irianto). Sebuah pameran karya seni yang fungsional yang diselenggarakan secara swadaya. Momen ini merupakan salah satu pengalaman liburan pertama saya, berkonfrontasi dengan karya-karya sederhana pemilik makna maupun tujuan pembuatan yang jelas dan tidak mengawang-awang. Tempat itu cenderung lengang, meskipun memang lebih menyenangkan dalam kondisi demikian. Tidak hiruk pikuk, santai, nyaman. Apalagi ada rekan diskusi di sela-sela menikmati karya.

Lalu, mungkinkah pameran-pameran serupa juga berlangsung di Samarinda? Jelas TIDAK MUSTAHIL. Salah satu contoh teranyarnya, seperti pameran foto Samarinda tempo dulu di lantai 2 Plaza Mulia Samarinda. Dari posisi papan platform foto, memang lebih tepat disebut sebagai pajangan ketimbang pameran profesional. Tapi pada kenyataannya, tetap mampu menarik perhatian pengunjung secara khusus. Bisa terbayang, bagaimana jika pameran sungguhan yang diselenggarakan. Tentu dampaknya akan jauh lebih besar. Bukan hanya menjadi atraksi pengunjung mal, namun juga bisa menjadi sumber inspirasi, bahan tutur lintas generasi, penumbuh semangat untuk belajar fotografi, untuk mendalami sejarah masa lalu kota serta warga Samarinda, dan sebagainya. Hanya saja pertanyaannya, siapa yang memodali, siapa yang membuat dan memamerkan karyanya, siapa yang mendatangani pamerannya, lalu apa respons yang ingin diperoleh? Keuntungan kah? Ketenaran kah? Proses pembukaan pikiran dan wawasan kah? Atau lagi-lagi cuma mengejar predikat booming? Happening?

Pameran foto Samarinda tempo dulu di Plaza Mulia, Samarinda.
(Foto: koleksi pribadi)

Setidaknya, dengan penyelenggaraan pameran-pameran keren seperti itu di Samarinda, ibu kota provinsi Kaltim ini mungkin akan lebih semarak. Baik sebagai kota dengan warga yang berbudaya dan bersedia menghargai karya, maupun sebagai destinasi wisata “eksotis”. Selanjutnya, orang tidak sekadar menghabiskan akhir pekannya di mal dengan kegiatan yang itu-itu saja; nongkrong di kafe untuk ngobrol enggak jelas, ke bioskop untuk sekadar nonton film yang sedang tayang, atau window shopping di gerai-gerai departement store yang ada.

[]

P.S. Melalui tulisan ini, tindakan saya mungkin terasa pasaran: hanya sekadar kritik, mengemukakan masalah, namun tidak dibarengi dengan solusi yang konkret. Di satu sisi, saya tetap geregetan untuk menciptakan inovasi. Namun sebelum saya mampu melakukannya, dengan sangat senang hati saya bersedia memberikan bantuan jika ada ide yang ingin diwujudkan. 🙂

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

six + twenty =