Berkesan Tanpa Paksaan

15 August 2012

SAYA sih ga berhak untuk menghakimi orang lain, toh saya juga masih hidup sebagai seseorang yang mungkin kondisinya ga lebih baik daripada yang saya ingin hakimi. Tapi belakangan ini (entah mulai beberapa tahun terakhir), saya mulai merasa jemu dengan sikap orang di sekitar saya yang (entah karena kurang berpengetahuan atau memang pembawaan), berusaha untuk bisa diperhatikan dan bisa memberikan kesan terhadap orang lain dengan cara yang sama sekali tidak berkesan.

Maslow’s Triangle
Teringat dengan teori Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan atas esteem-nya sebagai kebutuhan tertinggi kedua, setelah self-actualization. Singkatnya, seseorang itu pasti ingin dihormati, dianggap ada, dianggap penting dan dianggap sebagai dirinya sendiri. Oke, sampai di situ, saya rasa semua setuju.
Masalahnya ada pada cara untuk bisa mewujudkan itu, cara untuk bisa merasa dihormati oleh orang lain, untuk bisa dianggap eksis, untuk bisa dianggap penting dan untuk bisa dianggap sebagai “seseorang”.
Entah saya yang sial, selalu bertemu dengan orang yang sikapnya songong, angkuh atau sok, atau memang lingkungan sekitar saya dipenuhi oleh orang-orang yang seperti itu, belakangan ini saya lebih sering ketemu orang yang –
(1) memaksa pelayan kafe untuk sesegera mungkin membersihkan mejanya dengan celetukan yang kasar, dan cenderung membentak, ya kebetulan mungkin sudah didukung dengan mukanya yang mirip preman pasar. Padahal setelah meja dibersihkan, makanan dan minuman sudah datang, dia malah dengan kampretnya kembali memporak-porandakan meja, jauh lebih kotor dari sebelumnya;
(2) ketika ditegur karena sikapnya yang cenderung kampungan, dengan angkuhnya dijawab dengan: “Memangnya kenapa? Aku bayar juga di sini!”

Well, hello there.
Kalaupun kamu membayar, bukan berarti uang yang kamu keluarkan itu bisa membuatmu berhak bersikap layaknya simpanse liar. Selebihnya, dijamin, orang yang melakukan tindakan angkuh bin songong itu bakal bisa dianggap ada, dianggap penting, serta dianggap sebagai dirinya sendiri.
Dianggap ada, karena kalau datang suka bikin dongkol.
Dianggap penting, karena kalau datang biasanya bikin repot, jadi mesti dijinakan duluan.
Dianggap sebagai dirinya sendiri, karena belum tentu orang lain bisa bersikap se-kampret itu.

Pertanyaan-tanpa-jawaban dari kondisi ini adalah: “Mengapa mereka tahan untuk terus bersikap begitu?”

Pertanyaan yang tersisa untuk kita: “Mengapa kita ga bisa bersikap baik, supaya bisa berkesan bagi orang lain?”
Setidaknya, bagi saya, mendapatkan senyuman itu jauh lebih menyenangkan dan ga ada seberapa capeknya dengan mengangkat sampah gelas plastik minuman dari kafe berikut sampah-sampah lainnya untuk membuang sendiri ke tempat sampah, plus, meminta tisu untuk mengelap bersih meja bekas saya duduk, termasuk merapikan kembali kursi yang sudah saya pakai.

Sebagai manusia yang punya perasaan, semuanya memang ingin dianggap penting dan berharga, jadi kayaknya bakal bagus, kalau kita memperlakukan orang lain (yang pantas) sepenting dan seberharga diri kita, supaya tanpa dipaksa pun, mereka bisa menganggap bahwa kita adalah seseorang yang penting dan berharga.
[]