Batu Bara vs Batu Bata

10 September 2012

HINGGA saat ini, kita dan banyak orang Kaltim lainnya mungkin beranggapan bahwa batu bara masih menjadi “emas hitam”. Sumber uang yang jumlahnya masih berlimpah, dan menunggu dikeruk dari dalam tanah untuk kemudian dijual ke buyer (pembeli) dari antah berantah.

Tak dapat kita pungkiri, Kaltim tumbuh dan berkembang karena didorong oleh dominasi sektor ini. Banyak perusahaan tambang yang berdiri; menyerap tenaga kerja, membayar mahal untuk tiap petak tanah yang letaknya jauh dari kota, meningkatkan geliat bisnis pelayaran serta operasional alat berat, dan sebagainya.

Lantaran iming-iming keuntungan dari batu bara ini pula, banyak orang yang aji mumpung ingin menyedot keuntungan lewat celah yang ada. Menghasilkan sengketa tanah, praktik penipuan, dan sebagainya. Belum lagi efek buruk yang ditinggalkannya: alam rusak, jalan rusak, kecelakaan di lokasi bekas tambang, dan tarik ulur politis di tingkat atas.

Namun sayangnya, tidak banyak yang sadar bahwa semanis-manisnya keuntungan bisnis batu bara, pasti tetap bergantung pada tingkat permintaan juga. Segiat apapun batu bara dikeruk dari perut bumi, bila tidak ada pembeli, juga berujung sia-sia. Parahnya, kita sendiri juga belum banyak mengerti cara untuk memanfaatkan batu bara secara maksimal demi aneka kebutuhan dalam negeri. Sampai akhirnya jadi begini.

Berawal pada Ramadan kemarin, puluhan karyawan sebuah perusahaan tambang mengadu ke Posko THR milik Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda. Mereka mengaku belum mendapatkan pembayaran THR Lebaran dari perusahaan tambang tempat mereka bekerja. Lucu, pikir saya waktu itu. Perusahaan sektor unggulan kok bisa bermasalah soal biaya mutlak operasional? Ternyata lantaran perusahaan itu sedang dalam proses ambil alih manajemen, sehingga karyawannya pun digantung.

Proses penumpukan batu bara dari lokasi stockpile, untuk kemudian dikapalkan ke negara pembeli.

Kondisi seperti itu kembali berlanjut. Awal September ini, mencuat kabar tentang empat perusahaan tambang lokal Samarinda yang terlihat tak sehat. Ada yang sudah memecat puluhan karyawannya, ada yang berencana memecat 59 karyawannya, serta ada yang mengurangi jam kerja sebagai bentuk pengencangan ikat pinggang. Tumben.

Eddy Heriadi, ketua Tim Pemantau Tenaga Kerja Tambang Disnaker Samarinda, mengatakan bahwa kondisi ini terjadi lantaran krisis yang terjadi di Tiongkok, Eropa, India dan negara lainnya. Sehingga permintaan terhadap batu bara Indonesia menurun, dan berimbas pada operasional ratusan perusahaan tambang batu bara seantero Nusantara. Benarkah demikian? Mari kita pisahkan antara fakta dan asumsi.

Fakta pertama. Sampai beberapa bulan terakhir, batu bara Indonesia selalu lebih banyak dijual ke luar negeri, diekspor ke negara para buyer.

Tiongkok menjadi negara tujuan yang paling dominan untuk batu bara asal Kaltim, disusul India dan Vietnam. Padahal kita tahu bahwa Tiongkok merupakan negara yang juga memiliki cadangan batu bara yang tak kalah banyaknya ketimbang Indonesia. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan bahwa ekspor batu bara Indonesia ke Tiongkok dan India tahun ini, tak kurang dari 60 juta ton. Batu bara asal Indonesia dimanfaatkan oleh kedua negara besar tersebut untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik.

Fakta kedua. Terjadi penurunan harga beli batu bara sejak November 2011. Tercatat tahun lalu harga jual tertinggi batu bara adalah USD 120 perton, dan kini terjun bebas di bawah USD 100 perton. Terjadi juga untuk harga batu bara referensi yang khusus untuk pembangkit listrik di Indonesia (kualitas 6.322 kcal per-Kg), yang kini dihargai USD 102 perton. Sesuai hukum ekonomi, penurunan harga ini terjadi karena penurunan permintaan (pembelian).

Untuk menghadapi hal ini, ada perusahaan tambang yang rela melepas batu baranya dengan harga yang anjlok, daripada menumpuk dan tidak ada pemasukan untuk membayar operasional karyawan. Namun ada juga yang memilih untuk menahan batu baranya sebelum harga merangkak naik. Strategi ini biasanya dilakukan oleh perusahaan tambang yang memang sudah bermodal besar.

Setiap hari, selalu ada belasan bahkan puluhan ponton batu bara melintas di Sungai Mahakam

Fakta ketiga. Terjadi produksi tambang (yang lebih cocok disebut pengerukan) batu bara berlebihan.

Dari data APBI, pada Januari hingga Maret 2012 sudah ada 102 juta ton batu bara yang dilepas. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya “hanya” 90 juta ton. Bahkan diprediksi, proyeksi produksi batu bara nasional untuk 2012 (di atas 300 juta ton) bisa terlampaui sebelum masuk triwulan akhir 2012.

Kenapa bisa produksi berlebihan? Ternyata karena memang ingin kejar target. “Pengusaha itu yang penting profit. Tidak peduli harga naik atau turun, asal masih ada untung produksi tetap jalan,” kata Supriatna Sahala, saya kutip dari majalah ekonomi nasional.

Fakta keempat. Hanya sedikit batu bara Indonesia yang dijual untuk kebutuhan dalam negeri. Yakni sebesar 25 persen dari total produksi. Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Thamrin Sihite. Padahal masih banyak sektor yang butuh suplai batu bara, termasuk pembangkit listrik dan sektor konveksi.

Karena empat fakta di atas, ada baiknya para perusahaan tambang batu bara meninjau kembali mekanisme manajemen yang dijalankan. Apakah perusahaan tersebut sudah dijalankan dengan cara yang efisien, atau dengan cara yang “petantang-petenteng” dan akhirnya mengorbankan karyawan yang sebelumnya sudah merasa sangat aman (financially secure) karena bekerja di sektor unggulan.

Selain empat fakta tadi, jangan lupa bahwa belakangan ini sudah banyak berdiri perusahaan tambang baru milik asing dengan performa yang baik. Di Samarinda sendiri, ada beberapa perusahaan tambang baru yang dimiliki dan dijalankan oleh warga Tiongkok. Ini menunjukkan batu bara Kaltim, diproduksi oleh perusahaan Tiongkok untuk dijual ke Tiongkok. Itu salah satu contohnya.

“Ada juga kabarnya, orang Australia bikin perusahaan tambang. Kantor pusat di Jakarta. Jadi mulai banyak perusahaan tambang asing. Mungkin mereka dulunya juga pembeli, tapi ternyata kalau produksi sendiri bisa lebih murah,” kata seorang teman yang bekerja di level manajemen sebuah perusahaan tambang, di Samarinda.

Teman tadi melanjutkan celetukannya. Ia menceritakan bahwa kini banyak buyer asal Tiongkok yang mengurangi permintaan. Hanya buyer India saja yang terus mempertahankan tingkat permintaan. Katanya, banyak buyer asal Tiongkok yang mulai mencari alternatif suplai batu bara dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. “Lebih percaya sama orang sendiri lah, pastinya,” ujar teman saya.

Muncul dua asumsi dari penuturan di atas. Yakni, mudahnya pengurusan berdirinya perusahaan tambang di Indonesia, dan goyahnya kepercayaan pada perusahaan asal Indonesia. Kalau sudah begini, ada baiknya citra sektor pertambangan batu bara sebagai sektor primadona ditinjau kembali. Pun, sampai kapan sih bidang usaha yang bergantung pada isi perut bumi bisa dianggap jadi pegangan yang mantap? Toh, masih banyak juga lini-lini pembangunan dalam negeri yang juga membutuhkan pasokan batu bara secara memadai, tidak selalu dinomorduakan ketimbang ekspor. Jangan melulu haus keuntungan secara berlebihan.

Lalu, apa hubungannya antara batu bara dan batu bata? Tidak ada. Yang jelas, batu bata bisa dibuat oleh manusia. Coba bayangkan, apa yang akan terjadi setelah batu bara habis tergali?

[]

Referensi:

  1. Harga Batu Bara Acuan Terus Menurun
  2. Produksi Meluber, Harga Batu Bara Anjlok
  3. Tahun Depan, Batu Bara Masih Lesu