Banda: The Dark Forgotten Trail
SUDAH lumayan lama enggak menulis tentang film setelah beberapa bulan terakhir. Bukannya malas menonton di bioskop, melainkan tiba-tiba nyadar aja kalau belum punya kapasitas yang cukup untuk menyampaikan review. Apalagi beberapa waktu lalu sempat baca rangkaian twit dari tokoh perfilman Indonesia berikut.
Kebanyakan penulisan ttg film sebenarnya lebih mendekat gosip/impresi film drpd sebuah resensi bermutu #FilmReview
— Richard Oh (@Richard0h) July 6, 2017
Sampai akhirnya kepengin menulis tentang film lagi malam ini, yang barangkali lebih cocok disebut aftertaste atas pengalaman menonton, beserta tentang hal-hal terkait lainnya. Sesuai dengan judul rubriknya.
Saya tidak pernah menonton dokumenter di bioskop sebelumnya.
Sebagai film nonfiksi, “Banda: The Dark Forgotten Trail” sebenarnya terasa cukup menyenangkan disaksikan lewat layar lebar, karena memberikan suasana dan ekspektasi berbeda. Penayangannya sendiri jelas memerlukan keberanian dan idealisme yang besar, mengingat dokumenter bukan genre favorit sebagian besar penonton Indonesia.
Secara garis besar dokumenter ini menyajikan informasi sejarah dan sosiokultural mengenai kepulauan Banda, orang-orang yang pernah menghuninya, dan penghuninya saat ini.
Dengan Reza Rahadian sebagai narator, film langsung diawali dengan penuturan tentang buah pala sebagai penentu pentingnya kedudukan kepulauan Banda dalam perjalanan sejarah dunia. Setelah itu, durasi langsung bergulir menjelaskan fase-fase waktu secara runut.
- Dari masa pra penjelajahan samudera oleh Spanyol dan Portugis,
- Ekspansi bisnis VOC ke Nusantara untuk memonopoli rempah dan persaingannya melawan Inggris dalam menguasai seluruh area kepulauan Banda,
- Era penjajahan Belanda dan pemanfaatan pulau-pulau di Banda sebagai tempat pengasingan para tokoh nasional,
- Merosotnya popularitas pala,
- Gagalnya mekanisme perdagangan pala yang dicanangkan pemerintah, lalu
- Fokus kepada kemajemukan masyarakat yang menghuni pulau-pulau besar kepulauan Banda,
- Imbas konflik SARA yang menyebar sampai ke kepulauan Banda,
- Generasi muda Banda yang enggan pulang dan membangun kampung halamannya,
- Harapan dari para pakar sejarah dan ilmu sosial terhadap masa depan Banda.
Dengan tema sespesifik ini, “Banda: The Dark Forgotten Trail” menjadi salah satu materi yang informatif. Membuka wawasan para penontonnya dengan kadar kedalaman memadai supaya cocok ditayangkan di bioskop… dan mungkin lantaran alasan “supaya cocok ditayangkan di bioskop” itu pula, ada beberapa komponen dalam film yang kehadirannya membuat “Banda: The Dark Forgotten Trail” lebih pas disebut semi-dokumenter mengarah ke Art Movie. Lebih niche dan tersegmentasi sih jadinya.
Banyak potongan adegan pendukung narasi yang terkesan ilustratif, tidak terkoneksi langsung dengan yang disampaikan oleh narator maupun narasumber. Namun indah, bahkan ada yang cukup emosional. Yakni ketika memadukan Tari Cakalele sebagai peninggalan budaya, para manusianya dari rentang usia yang lebar, berlatar belakang saksi bisu sejarah.
Termasuk juga cuplikan-cuplikan gambar tanpa manusia yang Instagrammable banget maupun hasil tangkapan drone, atau setidaknya layak menjadi materi penyusun video presentasi seni. Lengkap dengan serangkaian suara latar di sepanjang film, yang membuat saya merasa sengaja dihasilkan dan disusun seperti itu demi mencapai koneksi dengan kata “dark” dari judul.
Dengan demikian, menonton “Banda: The Dark Forgotten Trail” memang menjadi pengalaman baru yang unik, mampu tercerap dan mencerap, serta memberikan sekumpulan gambaran berbeda ketika memaknai nama Banda dari timur Indonesia.
[]