Balap Liar itu Menyenangkan (Katanya)

16 August 2012
9

MINGGU sore, 22 Juli lalu, masuk mention yang mengabarkan terjadinya insiden kecelakaan di kawasan sekitar Jembatan Mahkota II. Korbannya, seorang anak kecil, dengan cedera cukup parah di bagian kepala serta harus dioperasi. Penyebabnya, aktivitas balap liar oleh seorang remaja. Namun sayang, orangtua korban menolak keras bila ini diberitakan (agar menjadi peringatan bagi orang lain). Kini, entah seperti apa kelanjutan kisahnya.

Bagi kita, orang-orang yang mungkin hanya bisa ngebut di jalan namun tidak bakal sok-sokan bergaya pembalap, hanya perlu sepasang telinga yang sehat, dan pikiran yang sedang terjaga, untuk merasa sangat terganggu dengan berisiknya aktivitas balap liar. Sedangkan bagi mereka, para “penguasa jalan raya”, perlu satu atau dua unit motor yang mesin dan knalpotnya sudah dimodifikasi sedemikian rupa, jalan mulus yang relatif lebih sepi (siapa yang berani balap liar di Jl Sentosa?), teman beradu kecepatan, serta penonton. Dengan empat hal itu, mereka sudah bisa beraksi bak Valentino Rossi, dan seakan lupa kalau motor yang mereka tunggangi itu mungkin masih dicicil, atau didapat dari merengek pada orangtua. Paling parah, motor balap mereka adalah hasil curian, seperti yang pernah diberitakan Sapos beberapa minggu lalu.

Aksi para pebalap liar yang beradu kecepatan di jalanan Samarinda.

Menariknya, aktivitas balap liar kerap berlangsung secara bersamaan di lokasi yang berbeda (sporadis dan simultan). Mulai dari jalan di sekitar kompleks Stadion Utama Kaltim, Palaran, dengan hasil tangkapan yang fantastis, Jl Awang Long – Jl Gadjah Mada, Jl Basuki Rahmat – Jl Agus Salim – Jl Kesuma Bangsa, Jl Pangeran Antasari – Jl Ir H Juanda, Jl S Parman – Jl DR Soetomo, Jl PM Noor, jalur Jembatan Mahkota II, sampai jalur Jembatan Mahulu.

Mereka biasanya beraksi pada malam hari (terutama malam Minggu) hingga menjelang subuh, juga pada hari libur. Pada bulan puasa kali ini, frekuensinya kian meningkat. Bahkan, Minggu lalu (12/8), saat olahraga pagi, saya melihat sekelompok remaja dengan wajah sok kerennya (karena tidak mengenakan helm) masih memacu kecepatan di jalur menuju Jembatan Mahulu pada pukul 06.00 Wita. Hingga akhirnya dibubarkan oleh seorang warga sekitar.

Selama ini, langkah kepolisian dengan menggelar patroli secara rutin dan berkala memang sudah tepat. Karena bisa membatasi ruang gerak para Amor (anak motor), dan membuat mereka batal beraksi. Untuk efek jera, tilang diberikan. Bahkan ada yang bisa dipenjara lantaran dianggap melanggar Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Akan tetapi, dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, setelah polisi pergi, Amor pun kembali beraksi.

Gambaran seperti ini memunculkan segudang pertanyaan; mengapa mereka sedemikian mencintai balap liar? Apa yang mereka peroleh dari balap liar?

Para Amor (Anak Motor) berkumpul di lokasi sirkuit dadakan. Entah sebagai penonton, atau partisipan.

Selama ini saya hanya bisa penasaran dan menduga-duga: Jangan-jangan mereka rajin balap liar karena merasa senang. Jangan-jangan karena mereka merasa keren. Jangan-jangan karena mereka merasa menjadi pusat perhatian bak selebriti. Jangan-jangan karena mereka menikmati aliran Adrenalin saat beraksi. Jangan-jangan karena mereka terlibat dalam taruhan. Atau jangan-jangan karena mereka merasa ingin membuktikan diri menjadi yang terbaik di antara yang lain.

Setelah kejadian 22 Juli lalu, dugaan-dugaan ini mendadak kembali menari dalam pikiran, dan menghasilkan beberapa kesimpulan.
Melakukan balap liar karena merasa senang. Ini menjadi alasan yang paling masuk akal. Sebagai hobi, seseorang akan sangat susah dijauhkan dari sebuah aktivitas, tak peduli seberapa membahayakannya aktivitas itu. Amor yang begini, hanya bisa berhenti setelah bosan, atau kecelakaan. Selebihnya, balap liar hanya bisa dibuat tidak menyenangkan dengan patroli, dan pengawasan orangtua lewat tindakan paling keras sekalipun, termasuk pemberian jam malam, sampai mencopot ban. Meskipun kecenderungannya, Amor adalah orang-orang yang suka melanggar peraturan.

Melakukan balap liar karena merasa keren. Alasan ini mungkin benar, kalau suasana balap liarnya seperti di film-film “The Fast and the Furious”; kendaraan yang digunakan adalah mobil mengilap, pembalapnya juga memiliki tampang fotomodel, serta dikelilingi cewek-cewek cantik nan seksi. Setelah menang, si pembalap pun bisa menggandeng seseorang sebagai pacar. Sedangkan di Samarinda, apakah ada cewek yang berhasil terpesona dan dibuat jatuh cinta oleh sang pembalap liar? Amor yang lakukan balap liar karena tujuan ini, dipastikan memiliki wajah yang tidak rupawan. Karena kalau mereka sudah tampan sejak awal, tidak perlu repot-repot mencari pasangan lewat balapan.

Melakukan balap liar karena merasa menjadi pusat perhatian. Alasan ini mungkin sama seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow sebagai “Esteem” (harga diri). Seseorang baru merasa benar-benar menjadi “seseorang” setelah melakukan atau mencapai sesuatu, dalam hal ini Amor merasa benar-benar menjadi “seseorang” setelah mampu berbalapan liar dan disaksikan oleh banyak orang. Kata Maslow, pada tahapan “Esteem”, para Amor mencintai balap liar karena bisa mendapatkan tambahan kepercayaan diri, merasa berhasil melakukan dan mencapai sesuatu (kecepatan), merasa dihormati oleh orang lain. Jika memang benar demikian adanya, maka yang menjadi inti dari maraknya balap liar di Samarinda adalah sensasi psikologi yang mereka rasakan, serta tidak bisa dihilangkan lewat tilang dan larangan semata.

Untuk alasan ini, saya dan teman-teman pernah mencoba untuk menjadi penonton. Mencari tahu apa yang sebenarnya bisa dinikmati dari menyaksikan aksi balap liar. Dalam kondisi yang gelap, hanya diterangi lampu jalan yang tidak semuanya menyala, kami hanya bisa mendengar bisingnya knalpot, bunyi gesekan Foot Step (pijakan kaki) dengan aspal ketika mereka melakukan tikungan dengan kemiringan yang ekstrem. Penonton pun hening, menyaksikan motor yang melaju di depan mata dengan diam.

Apabila terjadi tabrakan, atau pebalap yang jatuh, bunyi kaca dan sepatbor (penutup ban) pecah mendominasi udara. Tidak sedikit penonton yang malah mengumpat “MAMPUS!” saat itu terjadi. Agak aneh rasanya, penonton yang lazimnya memberikan sorakan dan elu-eluan pembangkit semangat, malah lebih suka apabila objek tontonan mereka alami kecelakaan. Pada poin ini, kami berasumsi bahwa menjadi penonton balap liar itu tidak menyenangkan.

Melakukan balap liar karena menikmati aliran Adrenalin. Apabila alasannya seperti ini, maka sudah tepat jika disikapi dengan pengalihan ke sirkuit yang resmi. Karena, setahu saya, Amor pecandu Andrenalin hanya mencari sensasi hormon yang mereka rasakan dalam kecepatan, ditandai detak jantung yang meningkat, serta perasaan senang. Cuma kebetulan, jika balapan di jalan raya, sensasi ngebut menghindari kejaran polisi akan memberikan tambahan rasa saat beraksi.

Melakukan balap liar karena adanya taruhan. Ini sudah menyerempet ranah kriminal, karena tindak perjudian. Dengan adanya taruhan, balap liar tak berbeda dengan judi dadu, togel, atau sabung ayam. Amor yang terlibat ini, berarti memang mencari uang tambahan.

Melakukan balap liar karena ingin membuktikan diri sebagai yang terbaik. Kondisi ini serupa dengan alasan berbalapan liar lantaran menjadi pusat perhatian. Karena Amor melakukan persaingan dengan Amor lain, untuk mendapatkan kesan dan pengakuan bahwa dia adalah pebalap yang bisa mengalahkan pebalap lain. Apabila tidak ada musuh berbalapan liar, dipastikan Amor tak akan repot-repot begadang tengah malam untuk beradu kecepatan di jalanan. Belum lagi risiko kecelakaan hingga menyebabkan kerugian material, cacat, bahkan meninggal dunia. Walaupun begitu, coba dipikirkan, setelah berhasil menjadi Amor yang tercepat, terus memangnya kenapa? Apakah langsung jadi selebriti? Sepertinya tidak.

Apabila di luar negeri ada pengincar bakat, yang bisa menyaksikan aksi balap liar untuk melihat orang-orang muda yang berbakat, lain halnya dengan yang terjadi di Samarinda. Di sini, pembalap liar pun harus menunjukkan aksinya secara resmi, dalam turnamen balap resmi sebagai peserta Privateer, alias peserta individual. Jadi, biarpun melakukan balap liar dengan tekun luar biasa, tetap tidak akan bisa menjadi pebalap resmi seperti Fitriansyah “Kethe”, pembalap nasional yang asalnya juga dari jalan raya.

Lain cerita dengan para Amor ABG, atau remaja berusia tanggung. Mereka mungkin merasa bahwa jati diri mereka terbukti dan teruji lewat balapan. Di sisi lain, mereka merasa bahwa kakak-kakak mereka yang sudah lebih dulu terjun dalam dunia balap liar, adalah contoh keren dari kehidupan usia jelang dewasa. Mereka muncul sebagai penggemar balap liar, yang berpikir “pokoknya aku harus kayak begitu,” tanpa paham apa maksud dan tujuannya.

Semua alasan di atas muncul hanya sebagai kesimpulan atas pengamatan. Pasalnya, saya belum pernah berkecimpung dalam dunia balap liar. Apapun alasan yang sebenarnya terjadi, mungkin hanya Tuhan dan para Amor saja yang bisa menjawabnya.

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.