Aren’t we all?
SUDAH tiga tahun lebih, saya dan enam teman lainnya menulis secara gotong royong di Linimasa.com, sebuah blog keroyokan… dan salah satu sumber kebahagiaan kami adalah komentar para pembaca.
Ucapan terima kasih atau apresiasi, cerita yang turut dibagi, pernyataan tidak setuju sampai luapan emosi, atau sekadar sapaan yang kemudian berubah menjadi percakapan. Semua itu menunjukkan perhatian, kedekatan, bahkan keakraban. Batas atau label penulis dan pembaca menjadi luluh. Aku dan kami berubah menjadi kita.
Itu sebabnya, kolom “Komentar Pembaca” di sisi kanan atas laman Linimasa.com selalu menjadi hal kedua yang saya cek setelah judul tulisan terbaru di sebelahnya.
Dalam tulisan sepekan lalu, ada satu komentar yang menarik perhatian saya.
“Am I?” Demikian saya membatin setelah membaca pertanyaan di atas.
Sayang, keduanya merupakan sikap yang cenderung negatif bagi yang bersangkutan. Sehingga apabila memang demikian, saya harus segera mengikisnya. Meskipun bakal membutuhkan waktu sangat lama untuk dapat berubah sepenuhnya.
Apakah saya seorang overthinker? Mungkin saja… dan sejujurnya, menjadi seorang overthinker atau seseorang yang selalu berpikir berlebihan itu sangat melelahkan. Namun sebagai sebuah kebiasaan, sebuah program mental yang seakan berjalan otomatis setelah sekian lama, akan sangat susah mengubahnya.
Apa tanda-tandanya? Ehm… entahlah, apakah sejumlah hal berikut ini juga terjadi pada Anda atau tidak.
-
- Khawatir
Kekhawatiran ini bukan sesuatu yang kosong, melainkan khawatir bakal menghadapi sesuatu yang tidak mengenakkan di masa mendatang. Sebagai respons atas kekhawatiran itu, pikiran pun mulai bekerja mempersiapkan segala skenario yang mungkin terjadi, sepaket dengan cara-cara menghadapinya. Termasuk khawatir mengulang kesalahan yang sama di masa depan, jadinya ekstra berhati-hati. Ini capek banget. - Ragu
Sikap ini berkaitan erat dengan kekhawatiran. Lantaran khawatir, lalu kebanyakan mikir, akhirnya bertemu banyak alternatif, ujung-ujungnya ragu. Lantaran ragu, lalu kebanyakan mikir, akhirnya tidak melakukan apa-apa. Waktu dan tenaga terbuang sia-sia. Masih mending kalau kekhawatiran dan keraguannya hanya untuk kehidupan pribadi, tetapi kalau juga terbawa dalam profesi dan pekerjaan, sudah tidak profesional namanya. Ada pihak yang dirugikan selain diri sendiri. - Baper (Duh!)
Ini bahaya banget sih! Ketika semuanya dimasukkan ke dalam hati secara diam-diam oleh pikiran bawah sadar kita. Kita tidak bisa menyadari hal ini, selain dengan ditunjukkan orang lain. Itu pun kalau kita mau terima. Agak kontradiktif dengan apa yang kita percayai dan kita anggap sedang terjadi saat ini.
- Khawatir
Komposisi ketiganya itu bikin stres dan susah tidur. Percayalah!
Mengapa saya menjadi seorang overthinker? Pasti selalu ada sebab dari sebuah akibat. Saya pun belum tahu pasti apa yang menyebabkannya.
Saya bisa hanyut dan tenggelam dalam sebuah pemikiran dengan mudahnya, terlebih untuk hal-hal yang dianggap penting dan berdampak besar dalam kehidupan saya, keluarga, maupun orang-orang tertentu. Hanyut dan tenggelam di sini berarti benar-benar terpisah dari apa pun, memikirkan semuanya dari A sampai seisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dari 1 sampai tak terhingga. Walaupun tentu saja hal yang tengah dipikirkan kala itu belum kejadian sama sekali. Hahahaha! Goblok sekali! 🤣
Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sangat saya pegang teguh, bahwa hidup ini tidak cuma tentang saya. Selalu ada orang lain dengan beragam kondisinya. Pemikiran ini yang seringkali berujung pada pertanyaan:
“Bagaimana jika apa yang kulakukan ini merugikan atau menyusahkan orang lain?” Ini juga termasuk kekhawatiran, lho…
To be fair, siapa sih yang mau dibikin susah? Ketika saya tidak suka dibuat susah, apakah adil bagi saya untuk menyusahkan orang lain? Terutama untuk hal-hal yang sekiranya bisa saya kerjakan, tangani, atau hadapi sendiri… and to be honest, setiap orang pasti punya batas kekuatannya masing-masing. Saat beban sudah sedemikian beratnya, pada akhirnya pasti akan minta bantuan juga. Hanya saja, ada yang benar-benar kesusahan sehingga perlu bantuan, tak sedikit pula yang barangkali cuma kaget dan panik, atau malas repot saja.
Nah, demi mengantisipasi hal-hal seperti inilah seseorang bisa menjadi begitu overthinking. Dari yang niat awalnya adalah memikirkan sesuatu secara menyeluruh supaya tidak kaget dan siap, malah berujung pada berpikir yang tidak-tidak.
Tidak ada yang mau jadi seorang overthinker secara sengaja kok, tetapi kejeblos saja. Lalu keterusan.
Sementara itu, akan sangat bodoh bagi saya yang sudah bisa mengidentifikasi dan menulis beberapa hal di atas tentang diri sendiri, namun tidak berusaha untuk menanganinya.
Ada beberapa hal yang tengah saya “latih” sampai sekarang. Misalnya belajar bersikap lebih nekat, mencoba lebih spontan, putuskan dulu pikir belakangan, dan sejenisnya. Saking bersemangatnya, hal ini yang saya tulis dalam profil singkat sebagai kontributor lepas salah satu majalah nasional beberapa waktu lalu, kendati membuat saya terlihat agak vulnerable. 😅
Belum berjalan lancar memang, karena akan selalu ada perang internal antara kubu overthinking dan kubu pemberontak dalam pikiran. Lelahnya dobel, dan makin bikin sadar bahwa ada banyak hal yang mustahil dikontrol. Bikin makin penasaran dengan orang-orang yang hidupnya terlihat effortlessly lancar jaya, dan bisa dengan mudahnya ngapain aja.
Tuh, kan… overthinking lagi. Mesti chill sedikit nih. 😂
Kepindahan ke Jakarta adalah salah satunya. Sudah kepengin dari lama, dan setelah ditimbang-timbang kurang lebih selama setahun, akhirnya terjadi juga. Bagaimana pun keadaannya.
Apakah saya sudah sukses dengan keputusan tersebut? Tampaknya belum. Apakah ada yang disesali? Untungnya tidak ada! Jangan sampai ada. Ya kalaupun ada, bring it on aja, deh!
Keputusan penting ini pasti akan disusul dengan keputusan-keputusan besar lainnya. Namanya juga hidup, pasti selalu bergerak lurus ke depan. Mustahil bisa dibiarkan stagnan begitu saja.
Apakah saya seorang deep loner? Masak sih? Apa kelihatannya seperti itu?
Saat mengetik ini, ada pesan WA yang masuk dari seorang teman. Kebetulan, atau memang betulan? Lagi-lagi, entahlah.
A loner? Basically, aren’t we all? 🙂
[]
Tulisan ini pertama kali muncul di… tentu saja, Linimasa.com.