Apa Nama Tionghoa untuk Anakku?

8184
views

NAMA Tionghoa merupakan salah satu identitas etnik dan budaya yang tak tergantikan, terlebih jika sedang berada di negeri orang.

Setelah ada perintah dan tekanan Orde Baru (Orba) untuk mengganti/memiliki nama dalam bahasa Indonesia, aktivitas kebudayaan ini tetap dipertahankan meskipun terkesan diam-diam. Para pendatang dari Tiongkok dan orang-orang yang terlahir dengan nama Tionghoa, harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) yang menerakan nama baru. Sedangkan generasi yang lahir sesudahnya mendapat dua nama. Satu nama resmi yang tercantum di semua dokumen administrasi kependudukan dan digunakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, serta nama berbahasa Tionghoa yang hanya valid dalam lingkungan keluarga dan urusan-urusan budaya.

Selain larangan penggunaan nama berbahasa Tionghoa, pemerintah kala itu juga melakukan pemberedelan budaya. Akses dan transfer wawasan sangat terbatas, sehingga pemberian nama Tionghoa dilakukan sekadarnya. Memunculkan tidak sedikit warga Tionghoa yang kurang akrab dengan nama Tionghoanya sendiri; tidak mampu menulis, melafalkan, serta menjelaskan arti namanya. Termasuk para orang tua yang memutuskan untuk tidak memberi nama Tionghoa kepada anak-anaknya, entah lantaran tidak mengerti atau tak ingin putra putri mereka mengalami kesusahan akibat ketionghoaannya. Karena itu, jangan heran bila banyak ditemui warga Tionghoa di beberapa kota pulau Jawa dengan satu nama saja.

Mengapa ihwal pemberian nama Tionghoa ini terkesan begitu penting dan agak dramatis? Tentu saja karena sentimen etnologis komunal. Ada ikatan imajiner yang menghubungkan kita di masa kini, dengan akar masa lalu: suku nenek moyang, dan daerah asal.

Di sisi lain, memang tak bisa dibantah bahwa proses pemberian nama Tionghoa kian dianggap kuno, obsolete, dan merepotkan. Pasalnya, praktik ini tidak sesederhana memilih kata-kata dalam bahasa Tionghoa untuk disusun menjadi sebuah nama dengan bunyi dan makna yang indah. Ada sejumlah ketentuan budaya (bukan klenik) yang harus diperhatikan, walaupun akhirnya terasa makin ditinggalkan.

Nama Tionghoa terdiri dari tiga bagian:

1. Marga

Nama keluarga yang terus diturunkan secara patrilineal. Tidak akan pernah berubah, dan selalu menjadi aksara pertama. Marga juga diselipkan warga Tionghoa dalam nama Indonesianya, menjadi sesuatu yang khas. Beberapa di antaranya: Halim (Lim/Lin: 林), Lauwono (Lauw/Liu: 劉), Gotama (Go/Wu: 吳), Limantara (Lim/Lin: 林), Oentu (Oen/Bun/Wen: 文), Tjandra (Zhan: 詹), Hartanto (Tan/Chen: 陳), Goeyana (Goey/Wei: 魏), Tandi (Tan/Chen: 陳), Susanto (Su: 蘇), Wongso (黃), dan lainnya.

2. Nama Generasi

Nama yang digunakan sebagai penanda tingkat generasi (kakek, ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya). Untuk saudara kandung dengan jenis kelamin yang sama (misal: saya dan saudara laki-laki), dan segaris patrilineal (misal: saya dan anak laki-laki abang ayah saya), aksara yang digunakan sama. Ditempatkan menjadi aksara kedua atau ketiga sesuai tradisi keluarga maupun kesesuaian bunyi maupun arti.

Contoh:

Saya: 李
Adik laki-laki saya: 李

Apabila saya memiliki abang atau adik laki-laki lain, nama generasinya akan tetap sama: .

3. Nama Pribadi

Nama individual yang benar-benar personal dan berbeda, sehingga selalu digunakan sebagai panggilan internal (misal: Ahok, Aling, Aseng, Along, Ling-ling, Zhen-zhen, San-san, dan sebagainya). Ditempatkan sebagai aksara terakhir, atau menyesuaikan dengan posisi nama generasi.

Secara umum, masing-masing terdiri atas satu kata. Kecuali untuk marga-marga langka dengan dua aksara atau lebih, seperti Ouyang (歐陽), Situ (司徒), Sikong (司空), Guliang (榖梁), dan beberapa yang lain.

Dari ketiga bagian tersebut, nama generasi boleh dibilang merupakan komponen yang paling merepotkan. Lantaran kelompok marga/keluarga di setiap sub suku/kampung di Tiongkok memiliki urutan nama generasinya masing-masing, tersusun menjadi sepasang syair dengan total 24 sampai 40 aksara, which means… bisa untuk 24 sampai 40 keturunan!

Syair tersebut lazimnya dipajang di altar leluhur, atau dicatat khusus dalam semacam kitab keluarga (strata tinggi) untuk kembali ditilik sewaktu-waktu. Namun tradisi ini menjadi semacam kebutuhan tersier ketika di perantauan, dan terlupakan. Terlebih bagi para IBC-Indonesian born Chinese, macam saya.

Syair urutan nama generasi milik keluarga pakde luar (suami adik perempuan papa). Dibaca dari kanan atas sampai kiri bawah dan saat ini baru menginjak aksara kedua! Lokasi: Samarinda.
Syair urutan nama generasi milik keluarga pakde luar (suami adik perempuan papa). Dibaca dari kanan atas sampai kiri bawah dan saat ini baru menginjak aksara kedua! Lokasi: Samarinda.

Sebagai orang Tionghoa generasi ketiga di Indonesia, satu-satunya cara bagi saya untuk mengetahui urutan lengkap nama generasi adalah dengan datang ke kampung halaman mendiang kakek di Tiongkok tenggara. Sebab kakek meninggal saat saya masih kecil, 2001 lalu. Pun tanpa sempat menjelaskan dan meneruskan perihal urutan tersebut kepada anak-anaknya; papa dan sembilan saudaranya, yang bahkan kurang paham benar di mana kampung halaman dimaksud.

Salah satu catatan urutan nama generasi untuk marga Kwok/Guo dari sebuah wilayah di Provinsi Fujian.
Salah satu catatan urutan nama generasi untuk marga Kwok/Guo/Kwee dari sebuah wilayah di Provinsi Fujian. Source: A Singaporean in Facebook.

Sejak saat itu, saya penasaran: apa nama generasi untuk anak saya nanti? :p Kendati tidak ada jaminan jika nama tengah papa dan saya masih mengikuti urutan yang semestinya.

Nama generasi kakek: 國
Nama generasi papa: 成
Nama generasi saya: 正
Nama generasi anak: ?

Rasa penasaran itu baru terjawab awal Maret lalu, justru dalam suasana dukacita ketika Apak (pakde) meninggal dunia. Ketika itu, papa dan delapan saudaranya berkumpul. Termasuk yang paling tua, dan sudah memiliki cucu dalam laki-laki.

Katanya, nama generasi untuk putra saya nanti adalah: 熙

YAY! FINALLY!

Padahal, mereka sendiri tidak menggunakan aksara tersebut untuk cucu dalam laki-laki mereka. Memilih nama lain.

Kayaknya memang wajar bila makin lama makin banyak yang enggak peduli soal ini. Ribet! Tapi seru. 🙂

[]

6 COMMENTS

    • Malah berbeda ya? Kalau koko kandung, atau koko sepupu dari saudara cowok papa, nama generasinya sama. Pokoknya selain marga, setidaknya ada satu kata yg sama. Tapi ya kembali lagi, tradisi ini kan memang sudah jarang dijalankan. Hehehe…

      Thank you juga.

  1. emang ribet gon, tapi seperti yang kamu bilang, seru.
    buatku sendiri ini menarik dan terus terang bikin ngiri…. karena kalau kamu tau kamu dari mana, aku cukup sadar kalau aku udah ada, wes… ga usah neko neko haaaah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × 3 =