Apa Kabar Samarinda Setelah Era Tambang?

214
views

KONON kata orang, lebih mudah membangun dan mendapatkan, ketimbang menjaga dan mempertahankan. Begitu pula sebaliknya. Lebih mudah kebingungan dan menyerah, ketimbang berupaya apa saja. Minimal dengan berpikir lebih keras, mencari ide serta alternatif solusi untuk menghadapi masalah yang ada. Bukan menyerah, atau malah pindah.

Barangkali situasi itu yang sedang terjadi di Samarinda. Terutama sejak sektor pertambangan batu bara melesu dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Seperti makan langsat. Segarnya rasa daging buah terlampau cepat hilang dalam mulut, kemudian malah kegigit bijinya yang pahit. Belum lagi berlepotan kena getah. Seperti itulah kondisinya, seakan mendadak yang tersisa dari bisnis “emas hitam” tersebut cuma segudang masalah.

Penurunan permintaan ekspor yang signifikan dari sejumlah negara, disusul anjloknya harga batu bara di pasar internasional menjadi pukulan ganda bagi sub sektor pertambangan ini. Yang mampu bertahan hanyalah perusahaan-perusahaan besar, itu pun mulai ada yang menawarkan pensiun dini kepada para pekerjanya. Sedangkan perusahaan tambang kelas mediocre, termasuk yang mengumpulkan batu bara karungan terpaksa putar arah. Rugi banyak.

Dampaknya tidak sekadar dirasakan pelaku bisnis dan struktur korporasinya semata. Perubahan signifikan itu juga berpengaruh pada perilaku dan gaya hidup kebanyakan orang Samarinda. Termasuk para pelaku bisnis sektor lain. Dimulai dari titik pertama: kaum muda.

Tidak sedikit orang tua yang memproyeksikan anak-anaknya bekerja sebagai pekerja tambang, baik yang bertugas di lapangan maupun di kantor manajemen. Tujuannya lumayan standar, yakni agar sang anak bisa mendapat penghasilan relatif besar dibanding pekerjaan-pekerjaan lain di kota ini. Lalu, asumsikan saja cita-cita itu tercapai, dan sang anak sudah terbiasa dengan hidupnya yangfinancially secured. Kemapanan itu membuatnya agak royal, dan selalu optimistis bahwa masa depannya bakal aman. Perputaran uang berlangsung cepat. Sampai akhirnya resesi menghantam lini bisnis pertambangan batu bara, dan sang anak tadi harus kembali menyesuaikan gaya hidupnya dengan penghasilan yang diterima. Terlebih kalau dia sudah menikah, dengan perempuan yang juga kadung terbiasa dalam gaya hidup warga kelas menengah. Dari mampu berbelanja busana empat kali sebulan, harus dikurangi separuhnya. Angka daya beli di mal dan pusat perbelanjaan lainnya pun terpengaruh. Berbeda ceritanya kalau sang anak doyan menabung atau berinvestasi lewat instrumen yang lain, atau sudah terbiasa bergaya hidup sederhana. Penghasilannya selama menjadi bagian dari perusahaan tambang akan lebih terjaga. Hanya saja, lebih banyak orang yang kaget saat terima uang dalam jumlah yang belum pernah diperoleh sebelumnya.

Perubahan pola konsumsi tentu juga berimbas pada pergerakan ekonomi di kota ini. Coba saja masuk ke kelab malam saat weekdays, terkesan lebih sepi dibanding sebelumnya. Bukan lantaran ditinggal pelanggannya, namun karena banyak konsumen dengan isi kantong yang berkurang dari biasanya. Ladies Night? Memangnya masih ngefek? Kalau begini, investasi yang sudah digelontorkan si empunya bisnis pun lebih lamban menuju BEP.

Toh, tipikal orang-orang daerah yang kaya karena produk ekstraksi, mereka memang punya sumber daya yang cukup banyak untuk dibelanjakan, sayangnya kerap tidak dibarengi persepsi yang pas (baca: selera) dalam pemakaiannya. Terkesan kaget begitu memperoleh uang yang cukup banyak, dengan cara yang relatif lebih “santai” dibanding penghasilan profesi-profesi lainnya. Namun ini hanya asumsi, bukan konklusi kok. Sebab barangkali gara-gara lesunya pasar batu bara, banyak yang mulai “nyadar“.

Itu baru dari sisi manusia dan perilaku konsumsinya. Sementara pada aspek lingkungan, sisa-sisa pertambangan batu bara menyisakan lubang raksasa bermalih rupa menjadi danau dan telaga. Lahan-lahan pertambangan telanjur gundul, dan makin tandus gara-gara janji reboisasi atau revegetasi yang ndak jelas efektivitasnya. Belum lagi hilangnya daerah resapan air, yang menyebabkan dan memperparah banjir di banyak titik Kota Samarinda. Bukan hanya itu, aliran air hujan juga mengerosi tanah lahan, menyebabkan sedimentasi yang selalu jadi musuh bersama setiap kerja bakti. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang kian lama kian tidak diminati warga untuk berpartisipasi. Paling parahnya, lubang tambang yang tidak direklamasi maupun diberi pengaman, menelan korban jiwa.

Salah satu kolam bekas tambang. Source: tribunnews.com

Sekarang apa yang terjadi? Saling menyalahkan, lempar-lemparan argumentasi dan tuntutan, sok prihatin, desakan untuk membuat peraturan baru (yang boleh dibilang agak telat), serta hal-hal tak berfaedah lainnya. Bisa dibaca di koran-koran lokal Samarinda. Mahasiswa dan kelompok LSM berunjuk rasa, menyalahkan pihak perusahaan tambang yang dianggap serampangan mengelola bekas lahan konsesinya; juga mencaci pemerintah yang mereka sebut mengeluarkan izin, tidak becus melakukan pengawasan saat pertambangan berlangsung, dituding kongkalikong dengan pihak perusahaan, tidak tanggap bencana korban tenggelam di kolam tambang, tidak becus bersikap menghadapi pengusaha yang lalai, serta beragam argumentasi lainnya.

Di posisi pemerintah, tentu menyampaikan pembelaan. Isinya kurang lebih bisa ditebak; belasungkawa dan juga merasa marah atas insiden yang terjadi; pemerintah sudah berupaya maksimal namun tidak didukung dengan personel dan anggaran, pemerintah berjanji akan menindak tegas dan menyikapi kondisi yang terjadi dengan seksama demi menghindari korban berikutnya, pemerintah juga berjanji berupaya maksimal ke pemerintah provinsi maupun kementerian agar membatasi bahkan menghentikan sektor bisnis ini; dan seterusnya. Tidak ketinggalan, anggota dewan pun ikut menyalahkan pemerintah atas kinerja instansi terkait yang diklaim berantakan. Padahal publik tidak tahu, apakah amarah itu disampaikan dengan tulus dan apa adanya, atau sebenarnya sudah ada apa-apa di baliknya.

Di posisi perusahaan, jawaban yang diberikan normatif. Paling banter adalah beri santunan dan janji pemberian tali asih lainnya. Itu pun kalau wakil manajemen perusahaannya masih ada, atau masih bisa ditemui/dihubungi.

Sehebat apa pun perdebatan yang terjadi, para korban jiwa tak bisa dihidupkan kembali.

and then, what should we do?

Banyak dari Kamu pasti pernah mendengar analogi nasi dan bubur, dalam tausiah seorang ustaz kondang di negeri ini. Kurang lebih disampaikannya, “bila nasi sudah menjadi bubur, meratap, menangis, marah, mengumpat, dan sebagainya pasti tidak akan bisa membuatnya kembali menjadi nasi. Namun sekarang yang bisa kita lakukan adalah menambahkan kacang, suwir ayam, dan kerupuk, supaya buburnya jadi lebih enak,” begitu, kan?

Tanpa bermaksud membela pihak mana pun, atau supaya terdengar terlampau positif, namun prinsip serupa setidaknya bisa dilakukan terhadap sisa-sisa geliat sub sektor ekonomi ini.

Ada beberapa sudut pandang yang bisa diambil mengenai ini.

Sumber Daya

Sebagai kekayaan alam, batu bara adalah sumber energi yang tidak terbarukan. Karena sifatnya yang sangat terbatas, maka pemerintah wajib memprioritaskan penggunaannya.

Salah satu contohnya, mekanisme pembangkit daya listrik di Kaltim secara umum, mengalami pergeseran tren yang niscaya akhir-akhir ini. Dari yang menggunakan mesin diesel peminum solar, sekarang ditopang dengan perangkat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara. Bila masih masuk perhitungan, maka manfaat batu bara masih lebih terasa bagi masyarakat dalam bentuk aliran listrik yang lancar. Anehnya, Kaltim yang kaya batu bara sejak dulu, namun baru kurang dari sewindu ini mulai memanfaatkannya untuk setrum.

Lingkungan

Moratorium atau penghentian pergerakan sub sektor pertambangan batu bara untuk tujuan komersial domestik dan internasional adalah langkah yang wajar dan sudah semestinya. Pengerukan yang membabi-buta hanya akan menyebabkan kerusakan alam. Sudah saatnya Samarinda, dan Indonesia secara luas lebih memerhatikan sumber-sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Sudah saatnya perut Ibu Pertiwi berhenti digaruk-garuk, karena bukan hanya menyisakan stretch mark, tapi bolong.

Ekonomi

Teorinya, bisnis berbasis eksploitasi hasil alam dan ekstraksi pasti akan menghasilkan banyak uang. Jauh lebih banyak ketimbang buka hotel, mal, supermarket, bahkan kafe dan restoran paling keren sekalipun. Saat ini, saatnya untuk mulai lebih memeras otak, dan bekerja lebih keras. Uang yang didapatkan memang tidak semelimpah bos batu bara, tapi setidaknya cukup untuk dipakai menjalani hidup kelas menengah yang aman. Mau berangkat ke mancanegara, bisa. Mau belanja, ada uangnya. Mau ngajak kencan, penampilan dan isi kantong lumayan cukup. Mencobalah untuk lebih bersyukurlah.

Sejauh ini, fakta ekonomi memang masih menempatkan sektor pertambangan dan energi sebagai penyumbang Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) tertinggi untuk Kaltim, seperti dalam paparan angka inflasi yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulan. Meskipun begitu, para analis di BPS maupun Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Samarinda, serta para akademisi dalam beberapa kesempatan, sudah mewanti-wanti sejak beberapa tahun lalu bahwa sektor pertambangan tidak bisa jadi satu-satunya tempat menggantungkan harapan hidup. Harus segera bergeser ke sektor ekonomi lain, termasuk jasa dan industri.

Kolam dengan air kebiruan, di ceruk bekas lahan tambang. Source: dhebunciet.blogspot.com

Penanganan Sisa-sisa “Kejayaan”

Tentu sangat sulit untuk menambal kembali lubang-lubang galian di permukaan bumi Samarinda. Kendati begitu, keberadaannya tak bisa dianggurin begitu saja. Berpikirlah kreatif, lihat apa yang ada dan apa yang bisa dilakukan terhadapnya. Jangan biarkan tetap jadi danau berbahaya. Bahkan tidak mustahil untuk menggandeng investor lainnya. Namun yang paling utama adalah gerakan pemerintah, selaku pemegang kuasa untuk menginisiasinya.

Sebagai pemegang data, pemerintah harus mengecek mana lubang bekas tambang yang masih ditangani perusahaan dan yang sudah ditinggal kabur begitu saja. Apabila memungkinkan, minta perusahaan yang masih bertahan untuk melakukan tanggung jawab lingkungannya, yang telah ditetapkan sejak pertama kali izin dikeluarkan. Tongkrongi, biar sampai selesai. Ya kecuali kalau petugasnya pengoleran.

Berikutnya, lubang-lubang bekas tambang lain yang ditinggalkan, mau tidak mau harus ditangani sendiri. Cuma bukan sebagai beban, tapi sebagai “bubur yang enak tadi”. Setidaknya ada beberapa bentuk pemberdayaan yang dapat dilakukan. Seperti yang telah sukses dijalankan sebelumnya, di beberapa wilayah lain. Pertama, coba diteliti apakah air kolam lubang tambang itu layak produksi jadi air bersih atau tidak? Jika iya, bisa dibayangkan ada berapa banyak titik-titik intake atau pengambilan air baku di Samarinda? Ndak perlu lagi kerepotan bangun tengah malam menunggui keran. Tapi, itu kalau perusahaan air dan pemerintah mau repot.

Kedua. Tersebutlah nama taman bermain yang sangat luas di Subang Jaya, Selangor, tak jauh dari Kuala Lumpur, Malaysia. Taman bermain itu bernama Sunway Lagoon, dan diresmikan pertama kali pada 1993. Silakan Google sendiri seberapa luas arealnya, namun yang jelas ada miniatur pantai di dalamnya, dan empat areal utama yang lain. Secara total ada 80 wahana permainan, dan kawasannya terus diperluas.

Keren ya? Emang. Tapi tahukah Kamu kalau lokasi Sunway Lagoon itu sebelumnya adalah lubang besar bekas pertambangan timah? Kalau Malaysia boleh, kenapa Indonesia tak bisa? Apalagi lubang-lubang tambang ada di pinggiran kota. Coba dibayangkan, misalnya ada tempat yang bernama “Palaran Magic Adventure”, atau “Batu Besaung Fun Ride” dengan roller coaster, bianglala raksasa, kolam renang, dan hotel-hotel untuk warga Bontang, Sangatta dan sekitarnya yang sengaja berlibur di Samarinda. Ini adalah mimpi, tapi mestinya bisa ditindaklanjuti.

Semua tergantung niat, ide dan konsep, kesungguhan rencana bisnis, dan dukungan pemerintah dan anggota dewan. Kalau belum apa-apa sudah ribut berebut komisi dan fee, ya jangan gigit jari kalau investor pergi.

Susah sih, kalau yang paling dulu dipikirkan adalah uang. Menambang batu bara, karena uang. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya izin, ya juga demi penghasilan daerah (uang) dan pertumbuhan ekonomi (dilihat dari produksi dan belanja, uang juga). Setelah uangnya berhenti beredar, langsung behinip. Dan tidak mustahil yang protes dan berkoar-koar, kadang juga gara-gara ndak dapat bagian (uang lagi). Susah.

[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four + six =