Antara Samarinda dan Pekanbaru

16 August 2012

JANGAN terkecoh dengan judulnya. Tulisan ini bukan tentang cinta berbeda kota terhalang samudra, melainkan curahan kesan saat bertandang ke Pekanbaru untuk pertama kalinya.
Berawal dari pendaratan di Bandara Sultan Syarif Kasim II yang berlangsung aman, setelah seisi kabin pesawat bolak-balik alami guncangan, dan membuat pesawat dua kali gagal turun lantaran hujan deras dadakan.

Di bagian luar terminal bandara yang didominasi warna merah bata ini, terlihat ada bangunan baru yang tegak menjulang. Ternyata itu adalah bagian belakang gedung baru bandara, bakal menggantikan kompleks bangunan lama yang sudah berdiri sejak tahun 70-an. Memberi rasa iri pada warga Samarinda, yang kotanya tak berbandara.

Gedung Baru Bandara Sultan Syarif Kasim II

Meninggalkan kawasan bandara, ternyata suasana Pekanbaru terasa familiar. Ibu kota Riau ini memiliki tampilan rumah-rumah kayu serta susunannya, kondisi alam yang mengelilingi kota, serta aliran sungai terbelah jembatan yang tak banyak berbeda dengan Samarinda, kecuali isi kotanya.
Jalan yang terbentang relatif lebih lebar, namun hujan membuat munculnya genangan-genangan air serupa yang biasa terlihat di Jl Mulawarman. Titik-titik proyek perbaikan jalan pun membuat mobil yang kami tumpangi terasa seperti melintas di jalan dalam kota Samarinda. Wajar, mereka sedang mempersiapkan kondisi infrastruktur untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII yang akan berlangsung kurang dari dua bulan mendatang.

Memasuki kawasan jantung kota Pekanbaru, barulah kesan “mirip Samarinda-nya” memudar seketika. Bangunan tinggi bermunculan. Bahkan tidak hanya sekadar megah, banyak gedung yang memiliki desain futuristik, jauh dari tata ruang khas kota-kota luar pulau Jawa. Beberapa di antaranya seperti Kantor Gubernur Riau sembilan lantai, Perpustakaan Soeman HS yang berstatus sebagai perpustakaan provinsi, serta gedung Bank Riau.

“Di sini ada kebijakan khusus. Semua bangunan yang ingin didirikan harus disetujui oleh gubernur. Termasuk desain arsitekturnya. Bila dirasa kurang elok, mesti diubah dulu,” kata Gubernur Riau (Gubri), Rusli Zainal saat menjamu kami di lantai 9 kantor gubernur yang sudah disulap jadi lokasi tempat outdoor gala dinner.

Kantor Gubernur Riau

Kebijakan mengenai pendirian bangunan inipun bukan sekadar legitimasi kekuasaan kepala daerah saja. Ada beberapa bangunan yang menjadi bukti dari keunikan gaya rancang sang Gubri sendiri. Salah satunya adalah gedung Perpustakaan Soeman HS, berada tepat di timur laut kantor gubernur, dengan bentuk alas kitab Quran, serupa buku yang sedang terbuka.

Memiliki enam lantai, gedung perpustakaan yang diresmikan pada 2008 ini “mencaplok” bekas gedung DPRD Riau tanpa menghilangkannya. Keunikan, kemegahan bangunan, dan kelengkapan koleksi buku menjadikan gedung perpustakaan ini tidak sekadar menjadi gedung pustaka, melainkan menjadi objek wisata. Pastinya, ada banyak tujuan yang berhasil dicapai; meningkatkan budaya baca dan telaah literatur, menjaga dan merawat kumpulan naskah-naskah kuno Melayu (karena Riau menjadi pusat budaya Melayu dunia), menyediakan sarana wisata edukasi bagi warganya, serta menjadi salah satu ikon kota yang patut membuat warganya bangga.

Regulasi pendirian bangunan yang harus seizin Gubri ini juga berlaku untuk venue atau gedung-gedung tempat pertandingan PON diselenggarakan. Dua venue paling menarik perhatian adalah Stadion Utama Riau yang kini sedang dijadikan arena tanding kualifikasi AFC U-22 dengan kapasitas 40.000 penonton, dan Gedung Bela Diri dengan bentuk seperti Bird Nest Stadium di Beijing dengan ornamen belitan sabuk bela diri. Gubri menuturkan, Gedung Bela Diri ini dibangun sepenuhnya oleh salah satu perusahaan migas internasional yang beroperasi di Riau, dengan anggaran senilai Rp 65 miliar.

Perlakuan serupa juga diberlakukan untuk desain bangunan baru Bandara Sultan Syarif Kasim II, yang sudah rampung 80 persen.
“Bangunan bandara baru ini sudah siap, dan nantinya menjelang PON sudah akan diresmikan terminalnya, dan parkirnya. Sedangkan ‘belalai gajahnya’ (garbarata, Red) belum. Anggaran keseluruhannya sekitar Rp 200 miliar,” tutur Surya Maulana, Kepala Dishub Riau.

Sesaat setelah mendengarkan pernyataan ini dari Kadishub Riau, kami kaget dalam hati. Mencoba mencerna angka Rp 200 miliar yang mampu digunakan untuk membangun gedung baru bandara semegah itu. Lebih murah daripada biaya pembangunan Jembatan Mahulu yang mencapai lebih dari Rp 250 miliar (sumber: pustaka.pu.go.id), maupun dana yang sudah diserap dalam proyek pembangunan Jembatan Mahkota II yang hingga sekian lama tak kunjung rampung juga.

Dengan pemikiran sederhana yang buta teknis pembangunan dan segala macamnya, bila uang sebesar Rp 200 miliar bisa menghasilkan bangunan baru bandara, berarti hal serupa tak mustahil terjadi di Samarinda. Sampai itu bisa terjadi di Kota Tepian, let the experts do the math.

Pengamatan yang hanya sebentar ini, memang naif bila langsung dijadikan pembanding antara Samarinda dan Pekanbaru, dua ibu kota dari provinsi yang sama-sama terkenal kaya di Indonesia. Padahal kenyatannya, kedua provinsi ini memang dilimpahi sumber daya alam berupa minyak, dan gas bumi, serta sama-sama paten dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai wilayah penghasil, pengolah, dan penyalur kelapa sawit termasuk hasil olahannya.

Tapi tidak ada salahnya untuk iri dan berangan-angan. Karena setidaknya masih terbersit harapan agar kota Samarinda bisa dibawa jadi lebih maju setara Pekanbaru. Walaupun pada kenyataannya, untuk beberapa hal, Samarinda  juga masih kalah dibandingkan kota tetangga, Balikpapan.

[]