Air Sungai Mahakam

672
views

“MAHAKAM itu keras, Bung!” Ungkapan ini populer di Jakarta, namun tidak di Samarinda, tempat Mahakam yang asli mengalir dan menjadi nadi kehidupan warga di sepanjang bantarannya.

Di mana ada air, di situ ada kehidupan. Bukan sekadar sungai, Mahakam memunculkan Samarinda (ibu kota Kaltim, bukan Balikpapan), Tenggarong (ibu kota Kesultanan Kutai Kertanegara yang kini sudah menjadi salah satu kabupaten terkaya dan terkorup di Indonesia), Sangasanga (eks kota minyak), dan banyak kota lainnya. Akses atas air mengumpulkan manusia serta menciptakan kultur lokal yang unik dan khas, meskipun beberapa di antaranya sudah usang dan tak mungkin dipertahankan.

Tidak hanya sebagai ikon kota maupun jalur transportasi vital, hingga kini Sungai Mahakam masih menjadi salah satu sumber air yang utama, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun MCK (mandi, cuci, dan kakus).

Melihat kondisi fisiknya, tidak ada satupun orang waras yang sudi meminum atau langsung memasak air Sungai Mahakam untuk dikonsumsi. Airnya berwarna kecokelatan karena lumpur, aneka sampah kasat mata mengalir syahdu dari hulu sungai (hingga akhirnya menumpuk di Delta Mahakam dan bikin dongkol para nelayan serta pemerhati lingkungan), ditambah beragam pencemaran limbah rumah tangga lainnya, membuat air Sungai Mahakam tidak layak pakai kecuali setelah melewati proses pengolahan.

Warga memiliki dua pilihan; mempercayakan pengolahan air Mahakam kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), atau mengolahnya sendiri dengan menggunakan kaporit dan mekanisme penyaringan sederhana.

Batang Sungai Mahakam
Jejeran Batang di Sengkotek, salah satu kelurahan pinggiran kota Samarinda. (17 November 2012)

Meskipun demikian, masih banyak warga yang menggunakan air Mahakam untuk keperluan MCK secara langsung. Ini membuat Sungai Mahakam seolah menjadi selokan, tempat sampah, sekaligus septic tank raksasa.

Mereka memanfaatkan sebuah wahana sosial berupa pemandian plus kakus terbuka yang disebut “Batang”, dengan konstruksi kayu ulin antirapuh dan didesain bertingkat khusus untuk menyesuaikan ketinggian air sungai.

Di Batang, semua orang mencuci, mandi sambil berenang, sikat gigi, bahkan memancing, dan berhajat, tentu sambil bercengkerama dan kerap diwarnai canda tawa. Berbeda dengan pemandian umum di pulau Jawa, tidak ada pancuran air di Batang. Air diciduk langsung dari sungai, lalu digunakan untuk kembali mengalir ke sungai yang sama. Aktivitas ini berlangsung secara siklus.

Batang ada hampir di tiap blok pemukiman, dan dipadati pria maupun wanita, anak-anak hingga orang tua. Para ibu terampil menyikat baju sambil memperbincangkan gosip-gosip lokal tetangga hingga tas supermahal milik Angel Lelga. Para bapak, mandi sambil membicarakan serunya pertandingan bola semalam. Sedangkan anak-anak, asyik sendiri melakukan manuver dan atraksi bak atlet loncat indah di “kolam” yang lebih luas dibandingkan kolam renang standar olimpiade manapun di dunia. Tak ketinggalan, ada satu atau dua orang yang asyik mengunci diri dalam bilik di ujung Batang, ditandai dengan asap rokok yang mengepul ke luar ventilasi (yang lebih tepat disebut sebagai celah) jamban.

Keriaan di salah satu Batang, 24 September 2012 siang, antara dua anak-anak dan ayah mereka.
Keriaan di salah satu Batang, 24 September 2012 siang, antara dua orang anak-anak dan ayah mereka.

Disadari atau tidak, mereka melakukan pencemaran, tapi sekaligus saling mempererat hubungan kekeluargaan.

Walaupun begitu, saat ini tingkat kontaminasinya dinilai belum sampai tahap mengkhawatirkan. Air Sungai Mahakam diklaim masih aman bila bersentuhan dengan kulit manusia. Itu sebabnya, Sungai Mahakam masih menjadi sumber utama pasokan air ke PDAM Tirta Kencana, Samarinda, sekaligus menjadi empang besar penghasil ikan serta udang air tawar yang terkenal kelezatannya.

Namun, sampai kapan status aman ini bakal bertahan?

Kebanyakan dari para pengguna Batang adalah warga pendatang yang tidak memiliki fasilitas kamar mandi pribadi di rumah (ataupun indekos) mereka. Ada beberapa alasan mengapa mereka terus memilih untuk menggunakan Batang, ketimbang meningkatkan taraf hidup sekaligus higienitas mereka. Jawaban-jawaban ini diperoleh lewat perbincangan secara acak kepada para “pengunjung setia”.

  1. “Soalnya saya kan ngekos.”
  2. “Lebih enak di Batang. Lebih rame.”
  3. “Kalau bikin kamar mandi sendiri, repot bawa air dari sungai.”
  4. “Kalau bikin kamar mandi sendiri, bayar PDAM mahal.”
  5. “Mau bikin kamar mandi sendiri, enggak ada jalur PDAM-nya.”

Dari lima alasan di atas, poin pertama hingga keempat menunjukkan alasan pribadi. Mereka tinggal di bantaran sungai maupun di daratan, yang memerlukan upaya khusus untuk membawa air dari sungai ke tempat mereka. Sedangkan poin kelima, menunjukkan ketidaksiapan infrastruktur untuk mendukung migrasi gaya hidup. Kebetulan, para pengguna Batang adalah warga Samarinda yang–menurut anggapan lokal–tinggal cukup jauh dari pusat kota Samarinda (meskipun jaraknya hanya 30-45 menit perjalanan dari pusat kota), dan pada kenyataannya belum semua kawasan siap untuk dialiri air bersih. Kalaupun perluasan jangkauan dan distribusi dilakukan PDAM dengan fokus, tidak bisa berjalan secara simultan, melainkan bertahap. Di sisi lain, PDAM pun seolah mafhum dengan gaya hidup warga pinggiran Samarinda yang masih gandrung dengan air sungai.

Lalu, apakah mesti menunggu sampai PDAM mampu mengkover semua wilayah kota Samarinda dulu?

Sejak lebih dari satu dekade lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda sudah menggencarkan program relokasi jalur hijau. Penduduk yang tinggal di kawasan bantaran sungai (sungai utama atau anak sungai), akan dipindah ke wilayah lain dan otomatis harus menggunakan air bersih untuk keperluan sehari-harinya. Celakanya, program relokasi itu juga tidak dibarengi dengan kemampuan PDAM yang maksimal, sehingga warga yang sudah telanjur direlokasi terpaksa harus membeli air bersih dari pihak selain PDAM. Kenyataan ini membuat warga seolah kangen untuk kembali merasakan keleluasaan di Batang.

Di sisi lain, program itu juga belum menyentuh banyak kawasan pinggiran Samarinda. Alasannya, lahan relokasi masih dipersiapkan. Ini membuat warga bantaran sungai masih bisa merasa tenang sekira sepuluh hingga 15 tahun mendatang. Bahkan Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang menolak jika program tersebut diklaim mandek (Samarinda Pos, 31 Desember 2012, hal. 9).

Meskipun demikian, apakah warga bantaran harus terus menggunakan air sungai untuk keperluan MCK-nya?

Sosialisasi air bersih kerap dilakukan oleh instansi terkait. Hanya saja, selama tak dibarengi dengan kemampuan PDAM sebagai produsen sekaligus distributor air bersih milik negara, Batang dan air Mahakam pun bakal tetap jadi satu-satunya perangkat pemenuh kebutuhan.

Hingga kini, tercatat belum pernah terjadi satupun kasus keracunan atau gangguan kesehatan kulit dan pencernaan atas penggunaan air Sungai Mahakam secara luar biasa atau massal. Namun dengan peningkatan jumlah penduduk pinggiran dan dibarengi lonjakan penggunaan barang kimiawi (sabun, deterjen, sampo, dan sebagainya), ditambah dengan makin meluasnya kegundulan hutan di hulu sungai, membuat pasokan sumber mata air Mahakam terancam. Batang-Batang pun bakal menjadi social-playground penuh kontaminasi yang tak bisa ditinggalkan.

Kebuntuan ini diperparah dengan minimnya alternatif solusi untuk akses air bersih. Terlepas dari ketergantungan terhadap PDAM yang terus membangun infrastrukturnya, hingga kini belum pernah ada jalan keluar paling efektif soal pengentasan dari Batang. Sejauh ini hanya ada dua kandidat utama solusi air bersih, namun belum bisa diterapkan dengan optimal. Dua wacana itu adalah: sumur air tanah, dan mekanisme penyaringan massal.

Berbeda dengan keadaan di pulau Jawa, Kalimantan minim gunung. Sumber air tanah sangat terbatas. Sehingga kalaupun dipaksa, dasar sumur malah berisi air kotor lantaran tanah yang kaya minyak serta batu bara. Meskipun sebenarnya wacana ini masih memerlukan eksplorasi lebih lanjut.

Sedangkan mekanisme penyaringan massal sebagai wacana kedua, merupakan rencana yang benar-benar asing untuk warga bantaran sungai. Pasalnya, memang belum pernah digaungkan sebelumnya, atau dianggap angin lalu belaka. Wacana ini memiliki pola kerja seperti sumur-sumur air tanah seperti yang banyak dimiliki di pulau Jawa, bedanya ada pada sumber air.

Mekanisme penyaringan massal mengisyaratkan agar di setiap padatan pemukiman, memiliki instalasi pengolahan air yang dikelola secara swadaya. Kelompok masyarakat diberdayakan sebagai penanggung jawabnya. Tercatat, sebelumnya program ini ini sebelumnya dilakukan sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan minyak yang beroperasi di pulau-pulau kecil utara Kaltim, seperti Bunyu, dan sekitarnya. Hanya saja, karena belum pernah dilaksanakan di daratan bersungai besar seperti Samarinda dan sekitarnya, keberadaan program inipun dikesampingkan. Pemkot sendiri hanya tahu bahwa air bersih adalah urusannya PDAM. Entah, apakah karena merasa pekerjaannya sudah terlalu banyak, atau problem tentang air bersih masih dianggap tak begitu penting.

Saya, yang juga tinggal di bantaran Sungai Mahakam (tapi bukan pengunjung Batang) hanya bisa berharap, jangan sampai hal ini baru disadari ketika semuanya sudah agak terlambat.

[]

3 COMMENTS

  1. Wah hampir sama dengan daerah tempat tinggal orang tua saya di Sampit. Pusat keramaian Sampit ada di pinggiran sungai Mentaya, dan meski saya gak tinggal di sana saya yakin kehidupannya sama seperti di atas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

seven − 6 =