12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya
SEBAGAI warga Samarinda, kota yang berjarak sekitar dua atau tiga jam perjalanan dari Bontang, saya sudah berulang kali dibuat takjub dan merinding kagum saat menyaksikan penampilan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT). Selebihnya, nama MBBPKT sendiri memang sudah terkenal sebagai juara dalam banyak kompetisi di level nasional maupun dunia. Sehingga tak salah apabila kelompok MB yang memiliki moto “vincero!” (aku akan menang) ini, masuk dalam daftar aset membanggakan kota gas itu. Mungkin karena alasan tersebut–dan dukungan finansial pendana, tentunya–film “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” pun dihasilkan.
Secara khusus, “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” boleh dibilang merupakan film Indonesia pertama dan satu-satunya yang bercerita tentang kelompok MB. Dengan tema baru yang menyegarkan, pelibatan personel MB sebagai para pelakon, apalagi terinspirasi pada kejadian nyata, film yang tayang perdana 29 Januari lalu ini memang menjadi tontonan yang menarik. Terlebih bagi warga Bontang sendiri, meskipun di kota itu belum ada bioskop sampai saat ini. Namun lewat tiga faktor itu juga, Hanny R Saputra dan timnya menghadapi sejumlah tantangan yang mungkin belum pernah ditemui sineas lainnya.
Pada sisi cerita, plot utama “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” memiliki ujung yang jelas: tim MB memenangkan pertandingan. Selesai, dan agak berlebihan jika kalimat sebelum ini dianggap spoilers. Meskipun demikian, penonton tetap akan menyaksikan beberapa subplot yang berbeda dari sejumlah peran. Dimulai dari konflik Elaine (Amanda Sutanto) dengan ayahnya; Lahang (Hudri) dengan ayahnya pula; konflik batin Tara (Arum Sekarwangi); dan pertentangan antara Rene (Titi Rajobintang) dengan Bimo (Verdi Solaiman). Semua konflik subplot ini pada akhirnya juga akan terselesaikan dengan baik, sehingga mendukung pencapaian happy ending kisah utama. Sayangnya (menurut saya), konflik yang tersaji dalam subplot dibuat jauh lebih menyita perhatian ketimbang plot utama. Sehingga penonton diajak lebih hanyut pada drama di luar timeline menuju kompetisi, sebagai ikon finale dari film ini. Karena itu juga, sejumlah label peran agak meleset dari yang seharusnya. Tapi bisa dimaklumi, barangkali karena cerita diangkat dari novel karya Djaumil Aurora (Oka) dengan judul yang sama. Apalagi Djaumil Aurora juga menjadi penata skrip dan cerita.
Apabila fokus cerita sedikit digeser dan rentang waktu dalam plot utama disajikan lebih panjang, sang sutradara bisa saja berkesempatan untuk lebih menonjolkan fitur-fitur utama dari MBB PKT sendiri. Misalnya, penonton akan lebih mengerti tentang peran Rene sebagai pelatih. Bagaimana ia melatih Elaine maupun Tara yang notabene merupakan figur baru dalam MBB PKT saat itu, hingga akhirnya dua tokoh tersebut mampu memainkan fungsinya dengan baik. Sementara dalam film, Rene lebih sering “melatih” dengan mengawasi, memarahi, dan memberi quotes ala motivator.
Lalu, bila dibandingkan dengan film-film bertema teamwork sebelumnya, penonton bakal bisa dibuat lebih geregetan jika digiring lebih jauh dalam penyiapan tim sebelum kelompok MBB PKT menghadapi 12 minggu menuju pertandingan di Jakarta. Sensasi ini memang sempat ditampilkan kepada penonton, tapi hanya di menit-menit awal cerita saja, yakni ketika seorang pemain terompet bertabrakan bahu dalam latihan, disusul bagian ketika Rene melakukan audisi untuk mencari empat pemain baru. Respons penonton pada bagian tersebut terasa tepat.
Tantangan berikutnya yang dihadapi sang sutradara adalah eksekusi peran. Dalam hal ini, pesona peran utama jutsru dikalahkan oleh aura tokoh-tokoh lain. Entah karena kemampuan berakting atau pemahaman peran, apresiasi tinggi pantas diberikan kepada Verdi Solaiman, Niniek L Karim, Nobuyuki Suzuki. Di sisi lain, kita juga dapat memaklumi penampilan Amanda Sutanto, Arum Sekarwangi, maupun Hudri dalam film pertama mereka ini.
Awal kemunculan Verdi Solaiman, penonton menduga Bimo adalah tokoh yang tidak bakal memberikan kontribusi penting dalam film. Entah karena ekspresi wajah yang cenderung konyol dalam scene itu atau hal lain, untuk kemudian dibuat kagum dengan pembawaan lakon Bimo yang mampu mencengkeram arogansi Rene. Semua kalimat tegas mampu disampaikan dengan baik oleh Bimo, membuatnya berubah menjadi tokoh yang berwibawa. Sedangkan peran Niniek L Karim sebagai nenek Tara, benar-benar memberikan kehangatan kepada penonton. Peran tersebut disuguhkan dengan baik oleh aktris senior ini.
Di balik bahasa Indonesia beraksen Jepang yang kerap terdengar lucu, Nobuyuki Suzuki mampu menjadi tokoh yang berkarakter kuat sebagai ayah Elaine. Kekuatan peran Suzuki bahkan terasa berkali-kali lipat lebih besar ketika ia memberikan penolakan kepada Elaine maupun Rene, apalagi dengan kesantunan khas Jepangnya.
Lalu bagaimana dengan Titi Rajobintang? Entah mengapa, yang lekat dalam pikiran saya adalah sikap Rene yang sok galak. Rene terkesan telah berupaya dengan susah payah untuk menjadi seorang pelatih yang tegas, memiliki keyakinan, dan berdedikasi, namun jatuhnya malah tetap terlihat berusaha galak. Tidak sedikit bagian yang menunjukkan perubahan emosional Rene dari kasar menjadi lembut, misalnya ketika Rene hampir menangis mengetahui masalah Tara, maupun ketika ia melemparkan senyum pertama kepada Bimo. Pada saat-saat seperti itu, penampilan Titi Rajobintang malah terasa lebih pas di hati. Mungkin saja Titi Rajobintang dipilih menjadi pemeran Rene lantaran kemampuannya menggebuk drum, tapi sayangnya kemampuan itupun hanya didemonstrasikan secuplik pada awal cerita. Terlepas dari itu semua, Titi Rajobintang terlihat cantik, as always. Walaupun lagi-lagi, upayanya untuk menjadi Rene yang sok galak, agak mengganggu nature-nya.
Berakting dalam film pertamanya, Amanda Sutanto mampu tampil seperti remaja pada umumnya. Akting menangis, atau ketika menghadapi masalah baik terhadap ayahnya maupun dengan koleganya memang patut dipuji. Meskipun diakui, her most “celebrated” performance was the one on the Field Commander’s deck.
Sebagai cewek tomboi, bahasa tubuh Tara kala meluapkan emosinya kerap meleset. Sepertinya Arum Sekarwangi agak susah untuk menyembunyikan kecuekannya, berusaha tidak bebas, atau saat diminta terlihat put too much concern atas kondisi lakon yang dia perani. Salah satu adegan terkuat Tara adalah ketika ia cekcok mulut dengan neneknya. Ia berhasil melontarkan semua bantahan dan celetukan, meskipun–bagi saya–masih sedikit kurang berhasil bikin sakit hati.
Pada tokoh Lahang yang diperankan Hudri, sepertinya divisi casting kurang preferensi. Dalam banyak bagian, Hudri kerap menyampaikan line-nya dengan logat yang bocor (dan saya penasaran, apakah tim produksi menyadari itu?). Padahal seharusnya Lahang adalah seorang keturunan Dayak dengan logat yang khusus pula. Selebihnya, emosi yang ingin ditunjukkan Lahang juga tidak pas pada banyak bagian. Lahang menjadi tokoh yang benar-benar terlihat sedang berakting untuk pertama kalinya, dan dilakukan dengan kontraproduktif. Saat Lahang seharusnya membuat iba, penonton malah tertawa.
Sementara itu, meskipun “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” tayang perdana 29 Januari lalu, namun saya baru nonton Kamis (6/2) lalu. Dalam waktu sepekan, ternyata film yang seharusnya menarik gelombang antusiasme warga Samarinda, Bontang, maupun Kaltim secara umum ini, mesti terdepak dari studio utama ke Studio 4 dengan ruang paling kecil (sepertiga ukuran studio utama, namun hampir penuh saat penayangan) dan kualitas suara yang biasa-biasa saja. Padahal sebagai film yang ceritanya terpusat pada permainan musik secara massal, kualitas suara benar-benar memegang peranan penting.
Berlatar belakang Kota Bontang, sinematografi “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” memang tidak terlalu banyak mengambil tempat. Namun dengan pengambilan yang tepat, Hanny R Saputra mampu menampilkan rawa, anjungan kayu yang cukup panjang di pesisir Bontang, sebuah Upacara Belian dalam adat Dayak di Lamin, areal pabrik PKT, dan lansekap jalan raya Kota Bontang menjadi pemandangan yang movie-wise. Saya yakin, banyak warga Bontang atau orang Kaltim yang pernah ke Kota Taman tersebut bakal bergumam: “wah, Bontangnya jadi bagus ya.” Di sisi lain, dengan menggunakan filter tertentu, teriknya matahari Bontang bisa diredam, lebih bersahabat dengan mata.
Secara teknis ada hal yang cukup mengganggu saat saya menonton “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” di Studio 4. Saat MBB PKT beraksi dalam perlombaan, suara yang keluar kurang megah. Saya malah merinding ketika layar menampilkan penampilan salah satu kelompok MB yang lain, karena suara yang muncul jauh lebih crisp dan bersih. Hal ini mungkin bisa dimaklumi, lantaran adegan tersebut memang diambil dalam suasana kompetisi Grand Prix MB 2013 sungguhan. Sehingga keinginan tim produksi pasti akan berbenturan dengan ketentuan dari panitia GPMB. Tapi, dengan Amanda Sutanto sebagai Field Commander-nya, otomatis bisa dipastikan bahwa penampilan MBB PKT di penghujung film adalah setting-an, dan seharusnya bisa dibuat sedemikian rupa agar penonton (terutama warga luar Kaltim) bergidik takjub dan mengiyakan bahwa MBB PKT memang pantas menang secara kualitas artikulasi dan permainan musik. Syukur-syukur bisa mendapatkan sensasi serupa, seperti yang dirasakan saat menonton penampilan MBB PKT secara langsung.
Keanehan lain yang terkait dengan suara adalah perbedaan kualitas musik ilustrasi dan musik pada saat MBB PKT tampil, baik pada bagian pelepasan kontingen maupun saat berlomba. Dalam adegan-adegan ketika anggota MBB PKT tengah berlatih, musik latar sangat kuat dengan keindahan aransemen yang tegas. Jauh lebih indah. Barangkali hal ini terjadi karena musik ilustrasi dibuat di dalam studio yang bersih, sehingga suara yang dihasilkan pun lebih jernih.
Terakhir, selain cameo Rene Conway yang asli, cameo-cameo–atau lebih pantas disebut penampilan numpang lewat–lainnya were totally POINTLESS. Termasuk wajah-wajah para istri (so-called) orang penting di Bontang yang sempat di-zoom, juga adegan dialog Wali Kota Adi Darma. Untuk penggambaran di lingkungan Pemkot Bontang sendiri, akan lebih masuk akal apabila adegan wali kota menelepon berlatar belakang interior kantor, bukan rumah dinasnya. But, I was just beeyothcing, anyway. Karena bagaimanapun juga, adegan-adegan ini mungkin perlu dihadirkan demi “menjaga” hubungan baik dengan petinggi maupun penyokong produksi.
Terlepas dari itu semua, saya tetap akui bahwa “12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya” adalah film tentang kebanggaan, yang patut dibanggakan. Apalagi dengan tema yang merupakan pionir di Indonesia. Apabila film ini masih tayang di kota Anda, silakan.
[]